Lembaga Survey Bukan Tuhan

ADA dua perusak pikiran. Ia sangat berpotensi menghancurkan tatanan dan kenyaman sosial. Bila dua hal ihwal  itu dibiarkan berlarut-larut, kerusakan tersebut akan merembes pada ketahanan negara. Sungguh, dia bisa mengerat pikiran yang berlipat-lipat. Dua hal itu adalah; ketika politik bersenggama dengan hukum dan ketika keilmiahan bersetubuh dengan politik.

Persenggamaan politik dengan hukum melahirkan ketidakadilan. Karena, palu ‘keadilan’ itu jatuh bukan berdasar kepentingan kebenaran, melainkan pada kepentingan ‘keadaan’ semata. Keadaan yang memaksa seringkali menjadi kambing hitam untuk menciptakan atau mencari pembenaran-pembenaran yang dipaksa-paksakankan. Ia bagaikan fenomena fatamorgana. Tampak dalam pandangan, namun lenyap dalam kenyataan!

Pada dasarnya, politik adalah salah satu cara atau jalan untuk mencapai segala tujuan. Guna mencapai tujuan, ia tak segan-segan menempuh jalan yang tidak-tidak. Dialah jalan yang kadang tak terpetakan. Ia mirip cuaca. Kadang mengalami perubahan ekstrim,liar,jinak dan bahkan terkadang gampang pula untuk dibaca. Ia petarung dari  pertaruhan liar. Kedunguan politik dari kemetahan strategi menciptakan pecundang-pecundang baru, kelihaian dan kecerdasan politik melahirkan para pemenang!

Banyak cara mencapai kemenangan, namun demikian tak ada kemenangan yang diraih dengan tiba-tiba atau dengan mudah. Bilapun ada kemenangan yang mudah, maka dengan mudah pula ruang dan waktu merobohkannya. Ia runtuh.

Politik itu ibarat rimba yang belum terancah. Hutannya lebat oleh pohon-pohon kepentingan, daunnya rimbun oleh harapan-harapan yang meneduhkan. Dan ia penuh dengan aroma mistik (ketersembunyian). Bila rimba politik berhulu ketaksiapan, maka sebelum sampai muara, langkah akan terhenti di ruang yang salah. Tapi sebaliknya, siapa yang siap berpolitik, ia akan jadi sutradara di atas panggung politik yang berkilau oleh cahaya kekuasaan!
***

Negara mapan, negara maju, negara stabil ekonomi, dan  sejarah mencatat, keadaan yang belum stabil akan menciptakan ‘politisi’ atau pejuang-pejuang yang kuat. Riwayat menulis, banyak politisi atau tokoh pejuang yang lahir akibat ketertindasan massal yang  berlebihan.

Baiklah, tulisan ini tak membahas para politisi yang lahir karena ketertindasan-ketertindasan yang menyesakkan, namun kita memaparkan berbagai strategi yang dilakukan atau dipertontonkan oleh para ‘aktor politik’ yang tampak oleh mata dan terbaca dalam pikiran; terutama dalam menyambut ‘ pesta’ demokrasi di tahun politik 2014 ini. Selama tahun 2014, banyak peristiwa politik yang telah dan akan kita lalui.

Secara nasional, kita akan segera mengahadapi 2 peristiwa politik penting, pertama pemilihan umum untuk calon legislativ memilih wakil kita di DPR RI, DPRD I, DPRD II dan DPD dan kedua memilih calon presiden.

Sekarang, gong ‘pertempuran’ politik itu sudah ditabuh KPU dengan telah ‘diberlakukannya’ masa kampanye resmi. Namun begitu, karena politik adalah permainan dunia, cara mainnya pun cendrung cara keduniaan. Usah heran, bila dia juga edan. Ia seperti enggan ‘sujud’ pada peraturan.

Terkadang, ada pelanggaran-pelanggaran seakan tak mampu tersentuh aturan. Pada akhirnya institusi Panwaslu seakan-akan dipaksa ‘memicing-micingkan mata-mengempis-ngempiskan perut’ bila menyaksikan adanya aroma pelanggaran itu.

Sebelum ditetapkannnya jadual kampanye resmi, sudah ada yang terendus mencuri-curi start dengan berbagai ‘bungkusan’ atau ‘kemasan’ yang seolah-olah bukan sebentuk kampanye. Permainannya sepantun dengan menyuruk di ilalang sehelai, sepantun dengan menutup mata dengan tangan, di sela jari tampak juga.

Ada dua siasat politik terkini yang terbaca dan terasa oleh kita. Pertama, siasat menggiring pikiran massa untuk menciptakan atau merebut atau menghimpun opini massa. Ke-2, siasat politik uang yang menjajah orang-orang susah dalam pemanfaatan kebodohan massa.

Jangankan politik, terkadang tak jarang ‘pendapat’ atau opini menjadi nakhoda ‘cita rasa’ dunia. Adatnya opini adalah memaksa ‘pengakuan-pengakuan’. Alat kedaulatan yang abstrak adalah pengakuan. Berlapis-lapis pengakuan yang dihimpun akan menciptakan ‘kekuatan’.

Pengakuan adalah sakral. Adatnya mengapa sesuatu ada dan menjadi ada  adalah juga lantaran pengakuan. Kekuatan eksistensi itu karena pengakuan. Adanya ‘kita’ dan segala isi alam raya serta mengapa ‘semua’ diciptakan Tuhan, karena Tuhan ingin diakui. Seorang muslim mengaplikasikan pengakuan itu dalam 2 kalimat atau Syahadat sering disebut dengan Syahadatain karena terdiri dari 2 kalimat (dalam bahasa arab Syahadatain berarti 2 kalimat Syahadat). Kalimat pertama adalah : ʾašhadu ʾal lā ilāha illa l-Lāh. Kalimat ke-2 : wa ʾašhadu ʾanna muḥammadar rasūlu l-Lāh. 2 kalimat syahadat bermakna pengakuan ketauhidan dan ke-2 pengakuan kerasulan. Kalimat ketauhidan la illaha illallah juga mengandung 2 makna. Pertama makna penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah dan makna menetapkan bahwa satu-satunya sesembahan yang benar hanya Allah semata.

Begitu dahsyatnya kekuatan pengakuan. Bahkan, adanya kedaulatan sebuah negara juga karena adanya pengakuan dari negara lain. Sebuah pengakuan adalah ‘energi’ yang memberi ‘kekuatan’. Bila kita akui suatu benda, tempat (ruang) memiliki kekuatan, maka sebenarnya kekuatan pengakuan kita itulah yang membuat benda itu menjadi kuat. Misal, keris yang diakui sakti oleh satu manusia, 22 manusia, seratus manusia, beribu-ribu manusia akan benar-benar membuat keris itu menjelma menjadi ‘sakti’. Kekuatannya berasal dari pengakuan manusia.

Kekuatan tersembunyi sebuah opini itu memang luar biasa. Kata orang bijak, 22 orang saja mengakui kita ‘gila’ maka kita akan benar-benar menjelma jadi orang gila.

Gila, sebegitu dahsyatnya sebuah opini.

Makanya, para pemain politik, para penguasa akan berupaya membentuk dan menghimpun opini.

Lihatlah percaturan politik kita terkini, banyak menciptakan para kreator ilmiah untuk kepentingan politik. Maka berjibun lahir institusi survey atau lembaga penelitian. Barangkali ada partai-partai yang lihai memelihara dan mendirikan berbagai lembaga survey. Tujuannya untuk kepentingan politik. Harapannya, survey atau penelitian yang dibungkus dengan cara-cara ilmiah diharapkan akan menggiring pikiran massa untuk menentukan pilihan.

Ketika opini diciptakan dengan gagah, selera massa gampang digiring kemana suka. Bila opini sudah tergenggam bulat dan erat, maka massa tak ubahnya seperti tanah liat yang gampang dibentuk sesuka hati.

Benar adanya, pikiran yang kuat bisa diciptakan untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Kejahatan pikiran itu bagaikan si bisu ‘barasian’; ia terasa tapi tak terkatakan. Tajam itu, kawan!

Bahwa memang benar,  lembaga penelitian sangat penting. Bahkan negara-negara maju menyediakan anggaran yang luar biasa besarnya untuk penelitian tekhnologi, bukan penelitian ‘berkepentingan’ muatan politik. Lembaga penelitian politik sulit melepaskan diri dari apa yang kita sebut sebagai ‘ada udang di balik batu’.

Kebenaran penelitian ilmiah untuk kepentingan ilmiah, teruji; sulit menolaknya. Ia nyaris tanpa ‘marginal error’nya. Ujungnya, bermuara pada pengetahuan, lalu diakui sebagai ‘disiplin’ sebuah ilmu. Namun kebenaran penelitian ‘sosial’ untuk kepentingan politik; marginal errornya sampai 10 % segala.

Terkadang, kita memandang dan merasakan bahwa sebuah survey atau penelitian yang bertarget ‘politik’ seringkali  berpotensi bikin ‘keruh’ keadaan. Gaya mendahului pilihan massa, atau  fait accompli itu bagian dari stil berpolitik terkini. Penelitian politik, tidak mengambil sampel secara total atau keseluruhan. Sampel yang diambil terkadang secara acak dan mewakili strata tertentu atau latar belakang social masyarakat.

Begitu pula , misalnya dengan adanya kemunculan hasil survey tentang hasil perolehan kursi DPR, DPRD, dan DPD bahkan survey presiden, gubernur,bupati atau walikota pilihan rakyat. Acap benar kita merasa ‘terkentutin’….ia terbau,terdengar, tapi tak tampak.

Tapi lain cerita bila hasil survey itu hanya untuk kepentingan pribadi atau internal saja. Itu bahkan bermuatan baik. Seseorang akan dapat melihat, apakah daya keterpilihan dan tingkat kepercayaan massa kepadanya cukup kuat atau lemah. Di saat itu, survey dapat ia jadikan sebagai bayang-bayang. Keinginannya untuk merebut dan meraih kekuasaan tidak semata berdasarkan keserakahan tahta, tapi terukur oleh bayang-bayang hasil survey.

Lembaga penelitian politik bukan Tuhan. Kebenaran penelitian politik tujuannya untuk kepentingan politik. Kepentingan politik tidak semuanya bermuatan kebenaran, tak jarang ia bermuatan ‘gelap’ untuk memperterang tujuan!

Sepercaya-percayanya hasil survey, tetap saja ia menjadi keniscayaan yang nisbi. Terkadang ia bagaikan barang dalam etalase, boleh dipandang; tapi dipegang jangan!

Kebenaran survey politik bukan kebenaran ilaihiyah. Survey politik itu hanyalah sebuah ramalan, ia prediksi yang diilmiahkan. Dalam aqidah Islam, mempercayai ramalan adalah sebuah perbuatan dosa, dan itu syirik!

Masa yang akan datang adalah ‘urusan’ Tuhan Allah. Tugas manusia hanya berupaya, bukan meramal melalui lembaga survey politik. Alam dan segala isinya adalah kerajaan Tuhan. Ia pemilik ‘sah’ kerajaan yang maha besar ini. Tuhan berbuat sekehendak hatinya. Apa saja yang Tuhan mau, tak ada yang mustahil. Mana bisa pilihan  hati, pilihan keinginan manusia ditentukan oleh kehendak survey segala.

Tak ada orang yang mampu membalik-balikkan hati manusia; hanya Tuhan yang mempunyai kemampuan untuk itu. Yang jelas, kuatkan upaya, lengkapi dengan doa. Bila sebelumnya ada yang terlemahkan oleh hasil lembaga survey politik, sekarang ayo bangkit. Lawan dengan kebenaran-kebanaranNya. Tak selamanya sesuatu itu bisa diatur dengan uang. Kekuatan uang yang banyak, juga terbatas dan sebatas. Yang jelas, ada yang tak bisa dibeli dengan uang, yaitu hati manusia.

Tak selamanya, ‘proyek pencitraan’ politik itu menjadi magnit massa. Sesuatu yang berlebihan, pasti memuakkan. Begitu juga dengan pencitraan yang mengada-ada. Makin gila-gilaan cost politik dikucurkan, makin tampak wah seorang caleg bercitra diri, makin timbul rasa kecurigaan massa. Popularitas bukan identik dengan ketokohan masyarakat. Pemain sinetron juga popular, tapi banyak juga di antara actor sinetron yang kalah di pemilu. Apalagi, kalau hanya baru coba-coba untuk ‘bersinteron-sinetronkan’ badan dengan berupaya menjadi bintang-bintangan sinetron bagai. Jangan biarkan rakyat mencibir terlalu panjang mengeluarkan lidah kemuakan. Lihatlah pilkada DKI 2012 lalu, semua lembaga survey mengatakan foke-nara menang satu putaran, ternyata menjadi 2 putaran, siapa sangka , sangka nyanya jokowi lah pemenangnya , Tuhan berkendak rakyat menginginkan , tak ada yang dapat melawan.

Ingat, menjadi seorang anggota dewan itu adalah amanah. Amanah yang didapat dari cara ‘dibeli’ akan menodai kesucian amanah itu tadi. Anggota dewan itu pemimpin massa. Tugasnya berat, beban di pundaknya sempurna oleh segala persoalan sosial kemasyarakatan dan kenegaraan. Bagi Islam, memilih pemimpin itu wajib hukumnya. Untuk itu, golput adalah sebuah sikap yang melepaskan diri dari rasa tanggung-jawab bernegara.

Ya, baiklah….siapa pun yang akan terpilih , orang yang memiliki kearifan lokal yang tentunya bisa diterima bumi minangkabau ini adalah kehendak kita bersama dan Tuhan Mengizinkannya, bisa saja di lembaga survey namanya hanya hampir berada pada posisi nyaris terpilih, tapi kalau kita mendukungnya dan Tuhan Menyertainya insyaallah bisa saja ia yang akan terpilih mewakili kita.

Kini yakinlah. Tuhan berbuat sekehendak hatinya. Kalau Tuhan berkata; Kun Fa Yakun, maka jadi jadilah ia!

(Penulis Pinto Janis merupakan seorang seniman dan sastrawan asal Sumatera Barat)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »