![]() |
Oleh: Ronny P. Sasmita. |
Diujung ulasan tertera status penulis sebagai alumnus Fisip Universitas Andalas, kampus andalan nagari awak, plus Agam Media Center/AMC, yang sepanjang pengetahuan saya, adalah semacam sub lembaga (ad hoc) hubungan media (media relation) Pemda Agam atau bisa jadi pula sebagai Humas Pemda itu sendiri (Singgalang, 6 Januari 2015).
Sebagai anak Agam, yang mengecap pendidikan dari SD sampai SMA di Kabupaten Agam, sudah pasti saya merasa bangga dan ikut puas dengan judul ulasan tersebut. “Nah Iko daerah tampek ambo lahia jo gadang dan iko bupatinyo”, geming saya dalam hati pas bertemu judul yang beliau tulis.
Kemajuan demi kemajuan dipaparkan secara kualitatif (kecuali hitungan jumlah piala/penghargaan), terkadang cendrung hiperbolik , yang akhirnya berlabuh pada “added value” kepemimpinan seorang Indra Catri (IC), Bupati Kabupaten Agam, yang saya hormati. Dari awal Uda Arief sudah memulai tulisannya dengan “warning” bahwa Pilkada Agam sudah mendekati “timeline” yang ditetapkan. Sehingga dengan mudah saya bisa membaca kemana arah dan berlabuhnya ulasannya ini dan karena itu pula saya lebih senang mengategorisasi ulasan tersebut sebagai “advertorial politik” , untuk tidak menyebut “curi kampanye” atau kampanye terselubung” karena peluit kampanyenya belum ditiup alias proses pilkadanya masih “on the way”. Mohon anggap saja soal “advertorial politik” ini sebagai kritik pertama saya buat penulis sekaligus Bapak Indra Catri (mudah-mudahan dicandra dalam makna yang positif dan konstruktif).
Mengapa? Karena sesuai konten ulasan yang menyatakan bahwa elektabilitas Indra Catri boleh dibilang “immune” alias kebal terhadap saingan, minimal konstan, maka sejatinya tak perlu hal-hal yang begini diumbar. Jika memang sudah memiliki imunitas elektabilitas (beliau menyebutnya imunitas politik – istilah politik yang baru saya dengar), maka artinya IC dicemplungkan ke dalam proses pilkada kapan saja sudah hampir pasti bisa menang.
Bahkan katanya, berdasarkan bisik-bisik dari lembaga survey, tanpa menyebut lembaga mana dan yang memesan surveynya siapa, apalagi angka-angka hasil surveynya, elektabilitas IC ada diatas 50 persen. Artinya, bisa saja rentang persentasenya (electability range) antara 51-100 persen. Apalagi jika berbicara preseden politik seorang IC waktu Pilkada lalu, sebagaimana ditulis oleh Uda Arief, maka IC semestinya diatas angin. Katakan saja begini, hasil survey sudah ditangan dan nyaris “telak pula”, lalu preseden politik pun berpihak pada IC, maka lengkap sudah amunisi politik sang Bupati. Bahkan modal politik beliau akan berlipat jika dikaitkan dengan posisi beliau saat ini yang menduduki posisi tertinggi di Agam alias Incumbent, maka resource dan energy politiknya dipastikan akan menari diatas angin. Itulah sebabnya ulasan ini lebih terlihat sebagai “political branding” alias pencitraan dimata saya, ketimbang ulasan jurnalistik yang two cover bothside.
Secara politik, ekonomi, sosial, ataupun budaya, saya tidak berpretensi untuk menyela, menentang, apalagi ikut-ikutan kampanye (counter campaign), terlebih lagi melakukan aksi “politicking” (saya bukan politisi, bukan pula bekerja disektor itu), terhadap konten ulasan maupun terhadap pribadi sang Bupati. Dengan demikian, anggap saja padangan saya ini sebagai pembanding, pelengkap, dan komentar positif untuk menyehatkan suasana demokrasi di daerah Agam pada khususnya dan Sumbar pada umumnya. Atau boleh pula dibilang sebagai dukungan moral dan intelektual terhadap seorang Bupati Agam yang akan berlaga untuk keduakalinya, dukungan dalam cara pandang yang lain. Agar ruang publik kita (salah satunya di media) bisa terbangun dengan berimbang alias tidak elitis (cuma berdasarkan perspektif penguasa) dan hasilnya bisa “two covers bothsides”, dua arah dan dua sisi.
Point selanjutnya, soal “budget doubling” (pelipatgandaan anggaran) yang dihasilkan oleh IC di Agam sebagaimana ditekankan oleh Uda Arief, saya kira harus pula dilihat dalam perspektif yang lebih luas, dalam kerangka gambar yang lebih besar (big picture). Mengapa? Karena setelah saya bandingkan antara peningkatan anggaran daerah dengan peningkatan anggaran nasional dalam periode yang sama, saya melihat kecendrungan yang sama. Sejak SBY berkuasa, dari tahun 2004 sampai 2014 (hitungan anggaran dari 2005-2013), SBY berhasil meningkatankan belanja nasional (kapitalisasi APBN) menjadi tiga kali lipat lebih besar dengan kecepatan rata-rata 15,8 persen per tahun, dari Rp. 509,6 triliun di tahun 2005 menjadi Rp. 1.650,6 triliun di tahun 2013 dan Rp.1.800an triliun pada APBN 2014.
Artinya, peningkatan APBD Agam, setelah saya coba lacak, juga sangat terpengaruh oleh peningkatan pendapatan dari sisi anggaran perimbangan (sekarang disebut pendapatan transfer). Begitu pula dengan pelipatgandaan pendapatan pajak di Agam, PAD, nyaris mengikuti trend peningkatan pendapatan pajak nasional akibat kebijakan reformasi perpajakan yang dilakukan oleh rezim SBY. SBY berhasil meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak dengan kecepatan rata-rata 14,3 persen per tahun, dari Rp 495,2 triliun pada 2005 menjadi Rp 1.438,9 triliun pada 2013.
Tentu saya terlalu spekulatif mengatakan bahwa peningkatan pendapatan pajak nasional era SBY disebabkan oleh peningkatan PAD Agam karena sejatinya jika memang harus dicari korelasinya, maka logikanya adalah pendapatan Agamlah yang naik terpengaruh oleh pendapatan Indonesia secara nasional karena Agam akhirnya menerima peningkatan anggaran transfer atau pendapatan perimbangan (DAU, DAK, Dana Perbantuan, dll). Artinya apa? Artinya, seluruh pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami peningkatan yang relative sama dari sisi pendapatan transfer khususnya dan APBD pada umumnya.
Selanjutnya soal perdapatan perkapita yang juga akan sangat mempengaruhi indek pembangunan manusia. Prestasi SBY lainya adalah berhasil membuat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia menjadi berlipat tiga, bahkan lebih, dari Rp. 11,0 juta pertahun di 2005 menjadi Rp. 36,5 juta per tahun di 2013. Jika dibanding dengan performa PDRB per kapita Nasional, Agam cendrung ada dibawah meski anggarannya berlipat dua dari 2010 ke 2014. Dari data yang tersedia di BPS Sumbar, PDRB per kapita Agam ternyata juga ada dibawah PDRB per kapita Provinsi Sumbar, yakni Rp. 14,49 juta di tahun 2010 menjadi Rp. 20.81 juta di tahun 2013. Sementara di tingkat provinsi sudah bertengger di level Rp. 18.00 juta di tahun 2010 menjadi Rp. 25,09 juta di tahun 2013.
Disisi lain, tingkat kemiskinan pun nampaknya IC masih berada dibawah laju kecepatan Bupati sebelumnya. Dari data BPS Sumbar, jumlah masyarakat miskin di Agam tercatat 44,9 ribu jiwa di tahuh 2010 dan berkurang menjadi 36,12 ribu jiwa di tahun 2013. Sementara dari tahun 2006 ke tahun 2009, dibawah kepala daerah sebelumnya, jumlah masyarakat miskin berkurang lebih besar meski percepatan anggarannya tak sekencang di era IC, yakni dari 59,40 juta jiwa di tahun 2006 menjadi 39,69 di tahun 2009. Cukup signifikan perbedaanya.
Dari sisi ketimpanganpun tak terlalu jauh perbedaan yang muncul, bahkan Agam kalah oleh Pesisir Selatan. Gini rasio Agam di tahun 2011, 2012, dan 2013 adalah 0,277, 0,3139, dan 0,265. Pola pergerakan gini rasio Agam nyaris sama dengan pola pergerakan gini rasio nasional yang memburuk di tahun 2012 kemudian melandai lagi di tahun selanjutnya. Tapi dibanding Pesisir Selatan, Agam nampaknya tertinggal, yang membanderol gini rasio 0,264 di tahun 2011 menjadi 0,259 untuk tahun 2013.
Kemajuan demi kemajuan dipaparkan secara kualitatif (kecuali hitungan jumlah piala/penghargaan), terkadang cendrung hiperbolik , yang akhirnya berlabuh pada “added value” kepemimpinan seorang Indra Catri (IC), Bupati Kabupaten Agam, yang saya hormati. Dari awal Uda Arief sudah memulai tulisannya dengan “warning” bahwa Pilkada Agam sudah mendekati “timeline” yang ditetapkan. Sehingga dengan mudah saya bisa membaca kemana arah dan berlabuhnya ulasannya ini dan karena itu pula saya lebih senang mengategorisasi ulasan tersebut sebagai “advertorial politik” , untuk tidak menyebut “curi kampanye” atau kampanye terselubung” karena peluit kampanyenya belum ditiup alias proses pilkadanya masih “on the way”. Mohon anggap saja soal “advertorial politik” ini sebagai kritik pertama saya buat penulis sekaligus Bapak Indra Catri (mudah-mudahan dicandra dalam makna yang positif dan konstruktif).
Mengapa? Karena sesuai konten ulasan yang menyatakan bahwa elektabilitas Indra Catri boleh dibilang “immune” alias kebal terhadap saingan, minimal konstan, maka sejatinya tak perlu hal-hal yang begini diumbar. Jika memang sudah memiliki imunitas elektabilitas (beliau menyebutnya imunitas politik – istilah politik yang baru saya dengar), maka artinya IC dicemplungkan ke dalam proses pilkada kapan saja sudah hampir pasti bisa menang.
Bahkan katanya, berdasarkan bisik-bisik dari lembaga survey, tanpa menyebut lembaga mana dan yang memesan surveynya siapa, apalagi angka-angka hasil surveynya, elektabilitas IC ada diatas 50 persen. Artinya, bisa saja rentang persentasenya (electability range) antara 51-100 persen. Apalagi jika berbicara preseden politik seorang IC waktu Pilkada lalu, sebagaimana ditulis oleh Uda Arief, maka IC semestinya diatas angin. Katakan saja begini, hasil survey sudah ditangan dan nyaris “telak pula”, lalu preseden politik pun berpihak pada IC, maka lengkap sudah amunisi politik sang Bupati. Bahkan modal politik beliau akan berlipat jika dikaitkan dengan posisi beliau saat ini yang menduduki posisi tertinggi di Agam alias Incumbent, maka resource dan energy politiknya dipastikan akan menari diatas angin. Itulah sebabnya ulasan ini lebih terlihat sebagai “political branding” alias pencitraan dimata saya, ketimbang ulasan jurnalistik yang two cover bothside.
Secara politik, ekonomi, sosial, ataupun budaya, saya tidak berpretensi untuk menyela, menentang, apalagi ikut-ikutan kampanye (counter campaign), terlebih lagi melakukan aksi “politicking” (saya bukan politisi, bukan pula bekerja disektor itu), terhadap konten ulasan maupun terhadap pribadi sang Bupati. Dengan demikian, anggap saja padangan saya ini sebagai pembanding, pelengkap, dan komentar positif untuk menyehatkan suasana demokrasi di daerah Agam pada khususnya dan Sumbar pada umumnya. Atau boleh pula dibilang sebagai dukungan moral dan intelektual terhadap seorang Bupati Agam yang akan berlaga untuk keduakalinya, dukungan dalam cara pandang yang lain. Agar ruang publik kita (salah satunya di media) bisa terbangun dengan berimbang alias tidak elitis (cuma berdasarkan perspektif penguasa) dan hasilnya bisa “two covers bothsides”, dua arah dan dua sisi.
Point selanjutnya, soal “budget doubling” (pelipatgandaan anggaran) yang dihasilkan oleh IC di Agam sebagaimana ditekankan oleh Uda Arief, saya kira harus pula dilihat dalam perspektif yang lebih luas, dalam kerangka gambar yang lebih besar (big picture). Mengapa? Karena setelah saya bandingkan antara peningkatan anggaran daerah dengan peningkatan anggaran nasional dalam periode yang sama, saya melihat kecendrungan yang sama. Sejak SBY berkuasa, dari tahun 2004 sampai 2014 (hitungan anggaran dari 2005-2013), SBY berhasil meningkatankan belanja nasional (kapitalisasi APBN) menjadi tiga kali lipat lebih besar dengan kecepatan rata-rata 15,8 persen per tahun, dari Rp. 509,6 triliun di tahun 2005 menjadi Rp. 1.650,6 triliun di tahun 2013 dan Rp.1.800an triliun pada APBN 2014.
Artinya, peningkatan APBD Agam, setelah saya coba lacak, juga sangat terpengaruh oleh peningkatan pendapatan dari sisi anggaran perimbangan (sekarang disebut pendapatan transfer). Begitu pula dengan pelipatgandaan pendapatan pajak di Agam, PAD, nyaris mengikuti trend peningkatan pendapatan pajak nasional akibat kebijakan reformasi perpajakan yang dilakukan oleh rezim SBY. SBY berhasil meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak dengan kecepatan rata-rata 14,3 persen per tahun, dari Rp 495,2 triliun pada 2005 menjadi Rp 1.438,9 triliun pada 2013.
Tentu saya terlalu spekulatif mengatakan bahwa peningkatan pendapatan pajak nasional era SBY disebabkan oleh peningkatan PAD Agam karena sejatinya jika memang harus dicari korelasinya, maka logikanya adalah pendapatan Agamlah yang naik terpengaruh oleh pendapatan Indonesia secara nasional karena Agam akhirnya menerima peningkatan anggaran transfer atau pendapatan perimbangan (DAU, DAK, Dana Perbantuan, dll). Artinya apa? Artinya, seluruh pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami peningkatan yang relative sama dari sisi pendapatan transfer khususnya dan APBD pada umumnya.
Selanjutnya soal perdapatan perkapita yang juga akan sangat mempengaruhi indek pembangunan manusia. Prestasi SBY lainya adalah berhasil membuat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia menjadi berlipat tiga, bahkan lebih, dari Rp. 11,0 juta pertahun di 2005 menjadi Rp. 36,5 juta per tahun di 2013. Jika dibanding dengan performa PDRB per kapita Nasional, Agam cendrung ada dibawah meski anggarannya berlipat dua dari 2010 ke 2014. Dari data yang tersedia di BPS Sumbar, PDRB per kapita Agam ternyata juga ada dibawah PDRB per kapita Provinsi Sumbar, yakni Rp. 14,49 juta di tahun 2010 menjadi Rp. 20.81 juta di tahun 2013. Sementara di tingkat provinsi sudah bertengger di level Rp. 18.00 juta di tahun 2010 menjadi Rp. 25,09 juta di tahun 2013.
Disisi lain, tingkat kemiskinan pun nampaknya IC masih berada dibawah laju kecepatan Bupati sebelumnya. Dari data BPS Sumbar, jumlah masyarakat miskin di Agam tercatat 44,9 ribu jiwa di tahuh 2010 dan berkurang menjadi 36,12 ribu jiwa di tahun 2013. Sementara dari tahun 2006 ke tahun 2009, dibawah kepala daerah sebelumnya, jumlah masyarakat miskin berkurang lebih besar meski percepatan anggarannya tak sekencang di era IC, yakni dari 59,40 juta jiwa di tahun 2006 menjadi 39,69 di tahun 2009. Cukup signifikan perbedaanya.
Dari sisi ketimpanganpun tak terlalu jauh perbedaan yang muncul, bahkan Agam kalah oleh Pesisir Selatan. Gini rasio Agam di tahun 2011, 2012, dan 2013 adalah 0,277, 0,3139, dan 0,265. Pola pergerakan gini rasio Agam nyaris sama dengan pola pergerakan gini rasio nasional yang memburuk di tahun 2012 kemudian melandai lagi di tahun selanjutnya. Tapi dibanding Pesisir Selatan, Agam nampaknya tertinggal, yang membanderol gini rasio 0,264 di tahun 2011 menjadi 0,259 untuk tahun 2013.
Daerah Agam nampak sekilas jauh lebih baik dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) jika dibanding dengan pergerakan IPM nasional. Dari tahun 2010 ke 2013, Agam sukses meningkatkan IPM dari 73,28 menjadi 74,50. Sementara untuk rentang waktu yang sama, IPM nasional cuma bergerak dari 72,27 menuju 73,81. Meskipun begitu, pola ini ternyata sama dengan waktu sebelum IC jadi bupati, IPM Agam memang selalu berada diatas IPM nasional.
Jadi, jika dilihat dalam gambaran umum ataupun sebaliknya, detail-spesifik, terlihat bahwa “budget doubling” Kabupaten Agam berpola sama dengan yang terjadi di level nasional. Artinya, hampir saya pastikan, semua daerah di Indonesia mengalami hal yang sama karena semakin besar porsi angganaran nasional akan membuat pendapatan transfer daerah juga akan semakin besar. Begitupun dengan pelipatgandaan PAD, Agam cendrung mengikuti pola kenaikan penerimaan sektor pajak nasional sebagai akibat positif dari reformasi sektor perpajakan yang masiv digalakan di era SBY. Demikian pula dengan PDRB per kapita Agam yang seiring sejalan dengan pelipatgandaan pendapatan perkapita Indonesia secara nasional (pola sama, tapi angkanya Agam ada dibawah rata-rata PDRB per kapita nasional).
Nah, jika doubling budget ini kita sandingkan dengan data-data BPS Sumbar tadi, terlihat pola peningkatannya agak kurang singkron. Tidak ada pelipatgandaan penuntasan kemiskinan, malah kalah dibanding periode sebelumnya, gini rasiopun tipis-tipis saja pergerakannya, demikian pula dengan IPM. Entah mengapa, boleh jadi ini karena nomenklatur dan arsitektur anggaran yang mirip-mirp tipis dengan anggaran nasional dimana belanja rutin dan operasional selalu menjadi “determinan”, sementara anggaran pembangunan (belanja public/langsung) malah selalu menjadi anak tiri. Pelipatgandaan APBD Agam identik dengan pelipatgandaan belanja rutin dan operasional karena pos pengeluaran inilah yang memakan anggaran paling besar. Artinya, kenaiakan porsi anggaran malah semakin dinikmati oleh pemerintah dan elit daerah, bukan rakyat daerah. Dalam teori kebijakan ataupun administrasi publik, kecendrungan ini disebut dengan istilah "budget maximizer" dimana pemerintahan daerah cendrung memperbesar anggaran-anggaran rutin operasional agar tidak terkesan "koruptif". Namun, tetap ada sedikit pergeseran persentasi di masa IC soal ini, porsi dan proporsinya belanja pembangunan (publik/langsung) cukup membaik dari tahun ke tahun, meski tak boombastis seperti Jembrana Bali tentunya.
Mungkin masih banyak data lain yang bisa dijadikan pembanding, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, perbaikan per sektor, infrastruktur, dll, dan itu akan menjadi PR bagi masyarakat Agam untuk menggenapkannya. Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, saya tidak bermaksud untuk ikut berpolitik praktis, sungguh jauh dari keseharian saya, apalagi ingin melakukan “black atau negative campaign”, tidak sedikitpun terpikir dibenak saya. Bahkan dengan prestasi dan penghargaan-penghargaan untuk IC khususnya dan Agam pada umumnya sebagaimana diulas oleh Uda Arief, saya ikut merasa bangga dan berterima kasih atas itu, karena memang selayaknyalah seorang kepala daerah demikian karena kalau tidak demikian, maka bukan seorang kepala daerah namanya.
Sekali lagi, saya berharap tulisan tanggapan ini diperlakukan pula sebagai masukan, pembanding, perspektif tambahan, dan referensi lanjutan, bagi masyarakat Agam maupun Pemda Agam, agar informasi bisa berimbang serta dimunculkan dalam perspektif yang komprehensif (two covers bothsides). Pendek kata, last but not least, mohon dianggap tinjauan analitis ini sebagai bagian penting dari kecintaan saya pada tanah kelahiran saya, Agam, dan juga sebagai penghormatan saya kepada Uda Indra Catri, Bupati Kabupaten Agam, yang "konon" telah berjasa membangun daerah tempat dimana kami sama-sama berasal.
Jadi, jika dilihat dalam gambaran umum ataupun sebaliknya, detail-spesifik, terlihat bahwa “budget doubling” Kabupaten Agam berpola sama dengan yang terjadi di level nasional. Artinya, hampir saya pastikan, semua daerah di Indonesia mengalami hal yang sama karena semakin besar porsi angganaran nasional akan membuat pendapatan transfer daerah juga akan semakin besar. Begitupun dengan pelipatgandaan PAD, Agam cendrung mengikuti pola kenaikan penerimaan sektor pajak nasional sebagai akibat positif dari reformasi sektor perpajakan yang masiv digalakan di era SBY. Demikian pula dengan PDRB per kapita Agam yang seiring sejalan dengan pelipatgandaan pendapatan perkapita Indonesia secara nasional (pola sama, tapi angkanya Agam ada dibawah rata-rata PDRB per kapita nasional).
Nah, jika doubling budget ini kita sandingkan dengan data-data BPS Sumbar tadi, terlihat pola peningkatannya agak kurang singkron. Tidak ada pelipatgandaan penuntasan kemiskinan, malah kalah dibanding periode sebelumnya, gini rasiopun tipis-tipis saja pergerakannya, demikian pula dengan IPM. Entah mengapa, boleh jadi ini karena nomenklatur dan arsitektur anggaran yang mirip-mirp tipis dengan anggaran nasional dimana belanja rutin dan operasional selalu menjadi “determinan”, sementara anggaran pembangunan (belanja public/langsung) malah selalu menjadi anak tiri. Pelipatgandaan APBD Agam identik dengan pelipatgandaan belanja rutin dan operasional karena pos pengeluaran inilah yang memakan anggaran paling besar. Artinya, kenaiakan porsi anggaran malah semakin dinikmati oleh pemerintah dan elit daerah, bukan rakyat daerah. Dalam teori kebijakan ataupun administrasi publik, kecendrungan ini disebut dengan istilah "budget maximizer" dimana pemerintahan daerah cendrung memperbesar anggaran-anggaran rutin operasional agar tidak terkesan "koruptif". Namun, tetap ada sedikit pergeseran persentasi di masa IC soal ini, porsi dan proporsinya belanja pembangunan (publik/langsung) cukup membaik dari tahun ke tahun, meski tak boombastis seperti Jembrana Bali tentunya.
Mungkin masih banyak data lain yang bisa dijadikan pembanding, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, perbaikan per sektor, infrastruktur, dll, dan itu akan menjadi PR bagi masyarakat Agam untuk menggenapkannya. Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, saya tidak bermaksud untuk ikut berpolitik praktis, sungguh jauh dari keseharian saya, apalagi ingin melakukan “black atau negative campaign”, tidak sedikitpun terpikir dibenak saya. Bahkan dengan prestasi dan penghargaan-penghargaan untuk IC khususnya dan Agam pada umumnya sebagaimana diulas oleh Uda Arief, saya ikut merasa bangga dan berterima kasih atas itu, karena memang selayaknyalah seorang kepala daerah demikian karena kalau tidak demikian, maka bukan seorang kepala daerah namanya.
Sekali lagi, saya berharap tulisan tanggapan ini diperlakukan pula sebagai masukan, pembanding, perspektif tambahan, dan referensi lanjutan, bagi masyarakat Agam maupun Pemda Agam, agar informasi bisa berimbang serta dimunculkan dalam perspektif yang komprehensif (two covers bothsides). Pendek kata, last but not least, mohon dianggap tinjauan analitis ini sebagai bagian penting dari kecintaan saya pada tanah kelahiran saya, Agam, dan juga sebagai penghormatan saya kepada Uda Indra Catri, Bupati Kabupaten Agam, yang "konon" telah berjasa membangun daerah tempat dimana kami sama-sama berasal.
Penulis adalah Pemerhati Ekonomi Politik
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »