![]() |
Ditulis Oleh: Tommy TRD, Pamong Muda Asal Sumatera Barat dan Pernah Berkarir di Lingkungan Pemerintah Kota Padang. |
DI usia kemerdekaan yang sudah mencapai 70 tahun, kita Indonesia masih berupaya keras untuk memerangi perilaku koruptif dari penyelenggaraan pemerintahan. Satu dekade terakhir kita disuguhkan begitu banyak pemberitaan mengenai dugaan tindakan korupsi yang dilakukan hampir semua instansi penyelenggara negara yang ada di negeri ini. Jika dulu yang tindakan korupsi cenderung dilakukan oleh lembaga-lembaga eksekutif, maka kini tidak lagi. Karena baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif sekarang juga kerap tersandung masalah yang satu ini melalui beberapa oknumnya.
Jika dipandang dari garis besarnya, saya pribadi menilai terdapat dua mainstream mengenai permasalahan korupsi yang kerap diekspose oleh media massa. Pertama, tindakan korupsi yang memang dilakukan karena perilaku koruptif, yang kedua adalah kegagalan pihak-pihak penyelenggara negara termasuk media dalam mengartikan tindakan korupsi itu sendiri. Tidak jarang kita temukan di Indonesia dimana kesalahan administrasi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat eksekutif kemudian langsung divonis menjadi sebuah pidana korupsi, padahal undang-undangnya tidaklah mengatur demikian, dan saya pribadi pun berpendapat sama dengan undang-undang yang berlaku sekarang, yang tertulis jelas dalam Perpres 70 tahun 2012 dan terakhir berubah lagi dengan Perpres 4 tahun 2015.
Jika dipandang dari sudut pandang perilaku koruptif, hal ini bisa jadi tidak terelakan di Indonesia karena telah cenderung menjadi budaya. Namun diluar kebiasaan atau budaya, harus diakui bahwa kehidupan aparatur pemerintahan melalui gaji yang mereka tidaklah cukup untuk membiayai kehidupan mereka. Terutama yang telah berumah tangga. Mungkin gaji yang diterima dari Pemerintah cukup untuk hidup, tapi belum untuk hidup layak. Kebijakan pemerintaha pusat yang bertahap memberikan kenaikan gaji dan tunjangan kinerja kepada aparatur penyelenggara pemerintahan dan negara patut diapresiasi karena hal itu jelas-jelas sangat membantu hajat hidup penyelenggara pemerintahan.
Salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh orang-orang yang bekerja sebagai aparatur pemerintahan adalah rela berkorban demi bangsa dan negara. Pengorbanan itu sendiri ya bisa macam-macam. Bisa pengorbanan waktu hingga berkorban dengan digaji tidak terlalu tinggi. Namun menurut saya justru syarat mutlak di ataslah yang menjadikan alasan kenapa aparatur pemerintahan di Indonesia layak mendapatkan upah yang sesuai. Karena jika tidak, kita tidak akan memiliki aparatur-aparatur pemerintahan dengan daya juang seperti pengusaha yang pantang menyerah, kita tidak akan memiliki aparatur-aparatur pemerintahan yang mempunyai imajinasi dan kreatifitas seperti yang dimiliki oleh pihak swasta.
Banyak kita temui dimana seorang aparatur pemerintahan juga menyambi membuka toko kelontong di garasi rumahnya untuk mencukupi biaya kehidupan rumah tangganya, dengan kondisi ini bisa kah kita mengharapkan sebuah kinerja yang baik darinya ? Mungkin kita bisa berharap, tapi tidak banyak. Tidak jarang juga kita temui seorang, katakanlah PNS bekerja sebagai tukang bangunan pada hari Sabtu dan Minggu juga untuk membantu menopang perekonomian keluarganya. Idealnya kondisi seperti ini tentu tidak terjadi, tapi inilah fakta yang ada saat ini.
Berikutnya jika dilihat dari peraturan yang ada, pengertian korupsi di Indonesia sangatlah luas penjabarannya. Dimana hal ini tidak terdapat di negara maju. Sebagai contoh, pengertian korupsi di Amerika Serikat sebagai salah satu “patronnya” Indonesia tidaklah sepanjang dan seluas sebagaimana yang diartikan di Indonesia. Public goods for privat. Lebih kurang itulah pengertian korupsi di AS. Khusus Indonesia, pengertian korupsi kita terlalu panjang dan lebar, sehingga memungkinkan begitu banyak peluang bagi penyelenggara negara untuk terlibat dalam dugaan korupsi. Kemudian lebih lanjut, terkadang antar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak memiliki pemahaman yang sama tentang pengertian korupsi itu sendiri, dan dalam hal ini penyelenggara pemerintahan dalam hal ini pejabat eksekutif baik di Pemda, Pemprov dan Pusat kerap dalam kondisi yang siap kalah.
Dengan kondisi yang siap kalah itu sendiri, masih adakah aparatur-aparatur pemerintahan yang akan bersedia duduk di jabatan-jabatan yang memiliki “resiko tinggi” ? Saat ini masih ada. Bahkan dengan kondisi politik di tingkat daerah, jabatan seperti semacam tender proyek, berani sumbang berapa untuk diangkat ? Sudah hampir menjadi rahasia umum, belum sepenuhnya, tampi hampir. Jika kita memandang jauh ke depan, sampai kapan ada pejabat yang akan mau menanggung resiko yang belum tentu menjadi tanggungannya ? Tidak sedikit kita mendengar pejabat-pejabat dari berbagai macam eselon di beberapa instansi memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya dibandingkan harus diperiksa dan menjadi pesakitan atas suatu hal yang tidak ia pandang sebagai sebuah kesalahan. Dalam kondisi ekstrim hal seperti ini bisa saja mengakibatkan kosongnya posisi-posisi penting di pemerintahan, atau malah posisi-posisi tersebut hanya akan diisi oleh orang-orang yang bermodalkan nekat, tidak lebih. Situasi ini tentu akan berujung kepada tingginya resistensi orang-orang yang berkompeten untuk berkarir dan memangku jabatan, yang kemudian berujung kepada lemahnya pemerintahan itu sendiri.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari pengungkapan kasus korupsi, karena dibalik pengungkapan kasusnya, kita semua juga malu atas situasi yang ada. Belum lagi media yang tidak jarang juga bersikap layaknya lembaga peradilan, trial by the press. Jadi menurut hemat saya, dalam rangka pemberantasan korupsi itu sendiri, ada baiknya semua unsur pemerintah dan negara dan mendudukan kembali apa yang diartikan sebagai korupsi itu sendiri. Sehingga tidak semua kekeliruan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dipandang sebagai tindakan korupsi. Sebagai contoh, apakah kekeliruan dalam menentukan metode pengadaan adalah sebuah tindakan korupsi ? Perpres dengan tegas mengatakan tidak. Namun apakah semua pihak terkait memahami Perpres itu dengan sudut pandang yang sama ? Belum tentu. Oleh karena itu menurut saya, korupsi tidak bisa diberantas hanya dengan menangkapi atau menghukum mati para terpidana korupsi, karena cara ini hanya akan menciptakan suatu kondisi dimana orang-orang yang memahami ilmu pemerintahannya dengan baik akan memilih untuk tidak memangku sebuah jabatan walaupun sebenarnya ia berkompeten untuk memangku jabatan tersebut.
Namun yang terpenting adalah, mendefinisikan kembali apa yang dikatakan dengan korupsi itu sendiri, sehingga tidak semua kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat negara ataupun pejabat pemerintahan dipandang sebagai tindakan pidana korupsi. Seolah-olah kasus yang ada di negara ini hanyalah kasus korupsi. Wassalam.
Jika dipandang dari garis besarnya, saya pribadi menilai terdapat dua mainstream mengenai permasalahan korupsi yang kerap diekspose oleh media massa. Pertama, tindakan korupsi yang memang dilakukan karena perilaku koruptif, yang kedua adalah kegagalan pihak-pihak penyelenggara negara termasuk media dalam mengartikan tindakan korupsi itu sendiri. Tidak jarang kita temukan di Indonesia dimana kesalahan administrasi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat eksekutif kemudian langsung divonis menjadi sebuah pidana korupsi, padahal undang-undangnya tidaklah mengatur demikian, dan saya pribadi pun berpendapat sama dengan undang-undang yang berlaku sekarang, yang tertulis jelas dalam Perpres 70 tahun 2012 dan terakhir berubah lagi dengan Perpres 4 tahun 2015.
Jika dipandang dari sudut pandang perilaku koruptif, hal ini bisa jadi tidak terelakan di Indonesia karena telah cenderung menjadi budaya. Namun diluar kebiasaan atau budaya, harus diakui bahwa kehidupan aparatur pemerintahan melalui gaji yang mereka tidaklah cukup untuk membiayai kehidupan mereka. Terutama yang telah berumah tangga. Mungkin gaji yang diterima dari Pemerintah cukup untuk hidup, tapi belum untuk hidup layak. Kebijakan pemerintaha pusat yang bertahap memberikan kenaikan gaji dan tunjangan kinerja kepada aparatur penyelenggara pemerintahan dan negara patut diapresiasi karena hal itu jelas-jelas sangat membantu hajat hidup penyelenggara pemerintahan.
Salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh orang-orang yang bekerja sebagai aparatur pemerintahan adalah rela berkorban demi bangsa dan negara. Pengorbanan itu sendiri ya bisa macam-macam. Bisa pengorbanan waktu hingga berkorban dengan digaji tidak terlalu tinggi. Namun menurut saya justru syarat mutlak di ataslah yang menjadikan alasan kenapa aparatur pemerintahan di Indonesia layak mendapatkan upah yang sesuai. Karena jika tidak, kita tidak akan memiliki aparatur-aparatur pemerintahan dengan daya juang seperti pengusaha yang pantang menyerah, kita tidak akan memiliki aparatur-aparatur pemerintahan yang mempunyai imajinasi dan kreatifitas seperti yang dimiliki oleh pihak swasta.
Banyak kita temui dimana seorang aparatur pemerintahan juga menyambi membuka toko kelontong di garasi rumahnya untuk mencukupi biaya kehidupan rumah tangganya, dengan kondisi ini bisa kah kita mengharapkan sebuah kinerja yang baik darinya ? Mungkin kita bisa berharap, tapi tidak banyak. Tidak jarang juga kita temui seorang, katakanlah PNS bekerja sebagai tukang bangunan pada hari Sabtu dan Minggu juga untuk membantu menopang perekonomian keluarganya. Idealnya kondisi seperti ini tentu tidak terjadi, tapi inilah fakta yang ada saat ini.
Berikutnya jika dilihat dari peraturan yang ada, pengertian korupsi di Indonesia sangatlah luas penjabarannya. Dimana hal ini tidak terdapat di negara maju. Sebagai contoh, pengertian korupsi di Amerika Serikat sebagai salah satu “patronnya” Indonesia tidaklah sepanjang dan seluas sebagaimana yang diartikan di Indonesia. Public goods for privat. Lebih kurang itulah pengertian korupsi di AS. Khusus Indonesia, pengertian korupsi kita terlalu panjang dan lebar, sehingga memungkinkan begitu banyak peluang bagi penyelenggara negara untuk terlibat dalam dugaan korupsi. Kemudian lebih lanjut, terkadang antar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak memiliki pemahaman yang sama tentang pengertian korupsi itu sendiri, dan dalam hal ini penyelenggara pemerintahan dalam hal ini pejabat eksekutif baik di Pemda, Pemprov dan Pusat kerap dalam kondisi yang siap kalah.
Dengan kondisi yang siap kalah itu sendiri, masih adakah aparatur-aparatur pemerintahan yang akan bersedia duduk di jabatan-jabatan yang memiliki “resiko tinggi” ? Saat ini masih ada. Bahkan dengan kondisi politik di tingkat daerah, jabatan seperti semacam tender proyek, berani sumbang berapa untuk diangkat ? Sudah hampir menjadi rahasia umum, belum sepenuhnya, tampi hampir. Jika kita memandang jauh ke depan, sampai kapan ada pejabat yang akan mau menanggung resiko yang belum tentu menjadi tanggungannya ? Tidak sedikit kita mendengar pejabat-pejabat dari berbagai macam eselon di beberapa instansi memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya dibandingkan harus diperiksa dan menjadi pesakitan atas suatu hal yang tidak ia pandang sebagai sebuah kesalahan. Dalam kondisi ekstrim hal seperti ini bisa saja mengakibatkan kosongnya posisi-posisi penting di pemerintahan, atau malah posisi-posisi tersebut hanya akan diisi oleh orang-orang yang bermodalkan nekat, tidak lebih. Situasi ini tentu akan berujung kepada tingginya resistensi orang-orang yang berkompeten untuk berkarir dan memangku jabatan, yang kemudian berujung kepada lemahnya pemerintahan itu sendiri.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari pengungkapan kasus korupsi, karena dibalik pengungkapan kasusnya, kita semua juga malu atas situasi yang ada. Belum lagi media yang tidak jarang juga bersikap layaknya lembaga peradilan, trial by the press. Jadi menurut hemat saya, dalam rangka pemberantasan korupsi itu sendiri, ada baiknya semua unsur pemerintah dan negara dan mendudukan kembali apa yang diartikan sebagai korupsi itu sendiri. Sehingga tidak semua kekeliruan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dipandang sebagai tindakan korupsi. Sebagai contoh, apakah kekeliruan dalam menentukan metode pengadaan adalah sebuah tindakan korupsi ? Perpres dengan tegas mengatakan tidak. Namun apakah semua pihak terkait memahami Perpres itu dengan sudut pandang yang sama ? Belum tentu. Oleh karena itu menurut saya, korupsi tidak bisa diberantas hanya dengan menangkapi atau menghukum mati para terpidana korupsi, karena cara ini hanya akan menciptakan suatu kondisi dimana orang-orang yang memahami ilmu pemerintahannya dengan baik akan memilih untuk tidak memangku sebuah jabatan walaupun sebenarnya ia berkompeten untuk memangku jabatan tersebut.
Namun yang terpenting adalah, mendefinisikan kembali apa yang dikatakan dengan korupsi itu sendiri, sehingga tidak semua kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat negara ataupun pejabat pemerintahan dipandang sebagai tindakan pidana korupsi. Seolah-olah kasus yang ada di negara ini hanyalah kasus korupsi. Wassalam.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »