Kesultan Sulu dan Grand Mufti Asal Indonesia

Kesultan Sulu dan Grand Mufti Asal Indonesia
Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab. 
BENTENGSUMBAR.COM - Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga bagian timur negeri Sabah.

Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.

Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.

Sekitar tahun 1450, seorang Arab dari Johor yaitu Sharif ul-Hashim Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli, putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada tahun 1457, ia memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashim Abu Bakr". Gelar "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud Yang Dipertuan.

Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei menganugerahkan bagian timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol.

Pada Tahun 1515 M, masyarakat Mindanau menobatkan kerabat Sultan Sulu, yaitu Syarif Muhammad Kabungsuan, karena jasanya mengislamkan Mindanau, sebagai Sultan Mindanau dengan wilayah kekuasaan mencakup seluruh kepulaun Mindanau kecuali Zamboanga. Kedua Kesultanan Islam bersaudara, saling cinta dan bekerja sama. Bahkan ketika Spanyol datang hendak menjajah, kedua Kesultanan Islam tersebut bahu membahu mengalahkan Tentara Spanyol.

The Grand Mufti of Sulu

Tak banyak yang tahu, siapa Grand Mufti Kesultanan Sulu saat ini. Padahal, The Grand Mufti of Sulu saat ini merupakan seorang ulama keturunan ahlulbait Rasulullah SAW dari jalur Imam Husain, putra Imam Ali dan Siti Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah saw. Ia adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) yang memiliki pengaruh besar di Nusantara, yaitu Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab.

Dengan menyandang gelar Datu Paduka Maulana Syar’i Sulu disingkat DPMSS beliau dinobatkan oleh Sultan Sulu sebagai Mufti Besar bagi Sultanate of Sulu Darul Islam (SSDI) sejak tanggal 23 Rabi’ul Awwal 1430 H / 19 Maret 2009 M, tatkala beliau masih mendekam di sel penjara Polda Metro Jaya terkait Insiden Monas 1 Juni 2008.

Sebagai seorang Mufti Besar Kesultanan Sulu, Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab bertugas secara pro aktif memperjuangkan kemerdekaan Sulu dan Mindanau dari penjajahan Philipina. Menurut Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab, sebagaimana dilansir situs Suara Islam dan dikutip ulang situs Kabarnet.in, 8 Mei 2013, Spanyol dan Amerika Serikat pernah tidak pernah berkuasa secara nyata atas Sulu dan Mindanau. Ada ada tiga bukti sejarah yang menunjukkan hal terdebut:

Pertama, pada  tangal 7 November 1873, Menteri Inggris di Madrid, A.H.Layard, menyurati Kerajaan Spanyol dan menyatakan bahwa Inggris punya hak menolak kedaulatan Spanyol atas Sulu, karena masyarakat Sulu tidak pernah mengakui dan tunduk menyerah kepada Spanyol.

Kedua, dalam Perjanjian Paris Treaty tahun 1898 yang mengharuskan Spanyol menyerahkan seluruh jajahannya di Philipina kepada Amerika Serikat hanya menyebutkan dari wilayah Luzon sampai wilayah Vesayas, sehingga tidak termasuk Sulu dan Mindanau, karena memang Spanyol tidak pernah berhasil menguasai Sulu dan Mindanau.

Ketiga, dalam peta yang dikeluarkan Perjanjian Paris Treaty tahun 1898 antara Amerika Serikat dan Spanyol dibuat garis pemisah antara wilayah jajahan Spanyol yang meliputi Luzon dan Vesayas dengan wilayah Moroland yang meliputi Sulu dan Mindanau.

Spanyol dan Amerika Serikat selalu berupaya untuk menguasai Sulu dan Mindanau yang mereka sebut dengan bangsa Moro, tapi mereka selalu mendapat perlawanan sengit dari rakyat Sulu dan Mindanau. Jadi jelas, bahwa sejak berdiri Kesultanan Sulu mau pun Kesultanan Mindanau adalah Negeri Merdeka yang berdaulat, bukan bagian dari Philipina, Spanyol atau pun AS.

Kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanau yang semula adalah Negara Merdeka berdaulat, tapi kini dikuasai Philipina, jelas Habib Rizieq, Setelah Syariful Hasyim menjadi Sultan Sulu, maka anak cucunya secara turun temurun menjadi Sultan Sulu, hingga giliran Sultan Badaruddin I yang memiliki dua putera : Pertama Sultan Azimuddin I, yaitu moyang dari keluarga Kiram yang saat ini dinobatkan oleh pemerintah Philipina sebagai Sultan Sulu dan beristana di Manila. Dan kedua, Raja Muda Datu Bantilan, yaitu moyang dari Sultan Bantilan Mu’izzuddin II yang saat ini dinobatkan sebagai Sultan Sulu oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu melalui Musyawarah di Rumah Bicara, yaitu semacam Rumah Majelis Syura Rakyat Sulu di Jolo ibukota Sulu.

Ketika Sultan Azimuddin I berkuasa, hubungannya sangat dekat dengan Spanyol, bahkan sampai ada “issu” bahwa dia “dibaptis” di Manila ibu kota Philipina. Sultan Azimuddin I berkilah bahwa itu hanya “siasat”, namun tatakala dia mengizinkan Spanyol membangun gereja di Sulu, maka rakyat Sulu pun marah, sehingga Sultan Azimuddin I dima’zulkan dan diganti dengan adiknya, yaitu Raja Muda Datu Bantilan yang dinobatkan sebagai Sultan Mu’izzuddin I. Namun, 30 tahun kemudian Sultan Mu’izzuddin I mengembalikan tahta Kesultanan kepada kakaknya Sultan Azimuddin I tatkala diketahui sudah bertaubat dan usianya pun sudah sangat lanjut, sebagai tanda cinta antara dua bersaudara.

Sejak saat itu, proses sejarah berjalan, keturunan kakak beradik Sultan Azimuddin I dan Sultan Mu’izzuddin I secara bergantian menjadi Sultan Sulu melalui musyawarah di Rumah Bicara.

Jatuhnya Sulu dan Mindanau ke Philipina bermula dari datangnya Amerika Serikat dan sekutunya menjajah Philipina. Kemudian dari Philipina, AS dan sekutunya terus menerus melancarkan serangan ke Sulu dan Mindanau untuk dijajah. Namun rakyat Sulu dan Mindanau terus melakukan perlawanan sengit.

Akhirnya, AS berhasil mengadu-domba keluarga Kesultanan Sulu dan Mindanau, sehingga ada sejumlah keluarga kesultanan yang bersekutu dengan AS, sehingga AS lebih mudah mengklaim bahwasanya Sulu dan Mindanau sudah dikuasainya. Padahal, di Sulu dan Mindanau tiada hari tanpa perlawanan rakyat terhadap AS dan sekutunya.

Ketika AS dan sekutunya melepaskan Philipina, maka mereka memasukkan Sulu dan Mindanau ke wilayah Philipina, sehingga pemerintah Philipina mengklaim Sulu dan Mindananu merupakan bagian dari negerinya. Hal ini tentu ditolak oleh rakyat Sulu dan Mindanau, karenanya hingga kini terjadi perlawanan sengit dari rakyat Sulu dan Mindanau melalui perjuangan MNLF yang dipimpin Nur Missuari, dan MILF yang dipimpin Haji Murad, serta ABG yaitu Abu Sayyaf Group, dan kelompok lainnya.

Sementara keluarga Kesultanan Sulu dan Mindanau kembali dipecah belah dan di adu domba oleh Pemerintah Philipina dengan menciptakan banyak Sultan dan Datu palsu untuk melemahkan perjuangan rakyat Sulu dan Mindanau. Maka itu, tidak heran jika pada tanggal 12 September 1962, Sultan Ismail Kiram I, yang dinobatkan oleh Philipina, menanda tangani penyerahan Kedaulatan Sabah dan seluruh Kepulauan Sulu kepada Pemerintah Philipina. Apalagi Sultan ini pernah ikut sebagai Tentara AS dalam Perang Dunia II dengan pangkat Mayor.

Sejak saat itulah hingga kini Philipina mengklaim bahwa Sulu dan Mindanau, termasuk Sabah di Kalimantan Utara menjadi wilayah kedaulatannya. Menurut Habib Rizieq, ada dua alasan utama, kenapa Philipina hanya mengakui Sultan Keluarga Kiram dari keturunan Sultan Azimuddin I, sedang keluarga Sultan Bantilan dari keturunan Sultan Mu’izzuddin I tidak diakui Philipina.

Pertama, karena keluarga Sultan Kiram mau mengakui kedaulatan Philipina atas Sulu dan Mindanau, sehingga rela jadi warga negara Philipina. Sedang keluarga Sultan Bantilan tidak mengakui hal tersebut, bahkan berjuang untuk kemerdekaan Sulu dan Mindanau, sejak dahulu hingga kini.

Kedua, Philipina berpegang kepada putusan Hakim Makaskie pada pengadilan British di Borneo tahun 1939 M, yang menyebutkan bahwa pewaris Kesultanan Sulu yang berhak atas “Uang Sewa Sabah” ada sembilan, yaitu dua pria dan tujuh wanita, yang kesemuanya dari keluarga Sultan Kiram. Padahal, putusan tersebut hanya terkait tuntutan kesembilan pewaris tersebut terhadap “Uang Sewa Sabah” saja, sementara keluarga Sultan Bantilan ketika itu memang tidak mengajukan tuntutan “Uang Sewa Sabah”, tapi yang mereka tuntut adalah kemerdekaan Sulu. Jadi, jelas kenapa Philipina mau mengakui Sultan Kiram dan menolak Sultan Bantilan. (ibnu/berbagai sumber)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »