Tiru Singapura, Turki, dan Malaysia, Kemenag Akan Sertifikasi Penceramah dan Khatib

Tiru Singapura, Turki, dan Malaysia, Kemenag Akan Sertifikasi Penceramah dan Khatib
BENTENGSUMBAR.COM - Singapura memang negara kecil, dan tidak sulit bagi pemerintah Singapura untuk mengontrol mobilitas rakyatnya. Untuk mengontrol dan mengawasi para ulama, Singapura menerapkan kebijakan sertifikasi ini.

Bagi siapapun yang tidak mempunyai sertifikat (tauliah), meski secara keilmuan dan kualifikasi keulamakannya diakui, tetap tidak bisa memberikan ceramah di muka umum. Mereka tidak bisa memberikan khutbah, ceramah maupun kajian, baik di masjid maupun di tempat terbuka.

Mereka hanya diperbolehkan membaca naskah khutbah yang disediakan oleh Majelis Ugama Islam (MUIS) Singapura. Jika mereka melanggar, mereka akan dicabut tauliah-nya, dan bisa dijerat dengan UU ISA.

Malaysia juga menerapkan kebijakan yang hampir sama, meski tidak serepresif Singapura. Demikian juga Turki menerapkan aturan ini. Kebijakan sertifikasi ulama’ di Turki tetap dipertahankan walau Partai Keadilan dan Pembangunan sudah berkuasa.

Sertifikasi Khatib di Indonesia

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan Kementeriannya akan merumuskan standar kualifikasi untuk penceramah agama. Langkah itu dilakukan agar tidak ada ceramah yang mengandung hujatan.

"Sekarang Kementerian Agama bekerja keras untuk merumuskan apa kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan sebagai standar penceramah itu," kata Lukman di PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 26 Januari 2017.

Lukman menerangkan, seorang penceramah baru bisa diakui sebagai penceramah yang qualified jika sudah ada standar kualifikasi. Sertifikasi ini nantinya diharapkan dapat mengurangi sikap-sikap intoleran antar umat beragama.

"Kemudian bisa diakui sebagai penceramah yang qualified, yang memiliki kualifikasi cukup," ungkapnya.

Terkait rencana standarisasi ini, Lukman mengaku akan berdiskusi dan mendengar masukan dari para tokoh agama dan para ulama.

"Tentu ini harus mendengarkan masukan dari para ulama, para tokoh agama, tentu Kementerian Agama akan mendengar masukan itu," imbuhnya.

Namun, pihak Kemenag tidak ingin menjadi lembaga yang memberikan sertifikat terhadap penceramah tersebut. Pihaknya akan berbicara dengan beberapa pihak yang berkompeten dalam bidang keagamaan terkait siapa akan memberikan sertifikat untuk penceramah apakah dari MUI atau ormas agama gabungan.

"Lalu juga siapa yang akan memberikan sertifikat bahwa ini penceramah sudah qualified misalnya. Pemerintah sendiri tidak ingin itu, karena ini biarlah menjadi porsi pihak yang memiliki otoritatif," tuturnya.

Undang Ormas Islam

Merespon hal itu, Ditjen Bimas Islam mengundang Ormas Islam dan lembaga dakwah untuk menjaring aspirasi di Kantor Kemenag, Jakarta, Jumat, 26 Januari 2017. Hadir dalam kesempatan ini, wakil dari MUI, NU, Muhammadiyah, dekan Fakultas Dakwah, Al-Washliyah, staf khusus Menag bidang komunikasi, IKADI, Ditjen Pendis, dan lainnya.

Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam, Muchtar Ali menyampaikan kegiatan ini digelar dengan tujuan menjaring aspirasi dan masukan dari berbagai pihak mengenai penguatan dakwah di Indonesia, khususnya terkait kompetensi dan standarisasi dai, serta sertifikasi khatib.

Ketua Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis mengaku bahwa MUI sangat berkepentingan dengan rencana kebijakan sertifikasi khatib. Menurutnya, MUI saat ini sedang menyiapkan kajian tentang standarisasi dai yang tampil di media. Pihaknya sudah bekerja sama dengan KPI untuk menyeleksi dai yang tampil di TV.

Lebih dari itu, lanjut Cholil, MUI juga sudah melakukan TOT Standarisasi Dai yang di dalamnya berisi tentang etika, materi, dan metode. Dai yang tampil di media, katanya, harus mendapatkan perhatian karena terkait dengan banyak pihak.

Sementara Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI), KH. M. Satori Ismail menilai, jika program sertifikasi diberlakukan secara massif, hal itu bisa menimbulkan masalah dan mungkin penolakan. Karenanya, Kyai Satori usul agar program ini dimulai dengan sertifikasi khatib masjid di lembaga pemerintah.

"Program ini saya kira akan efektif jika dimulai dari masjid-masjid yang berada di lembaga pemerintah. Jadi ini kita mulai secara bertahap agar tidak menimbulkan masalah di lapangan," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, wakil dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) mengatakan bahwa pihaknya tidak setuju dengan istilah sertifikasi dai. Dia menilai kalau istilah yang lebih tepat adalah standarisasi. Menurutnya, sertifikasi berkonotasi kapitalis.

Selain itu, dia juga mengusulkan agar ada inventarisasi masjid agar tidak menggunakan khatib yang tidak sejalan dengan wawasan kebangsaan. "Selain itu, kumpulkan korp muballigh untuk menyatukan visi dan wawasan. Sebelum kita melakukan standarisasi ini agar bisa berjalan smooth," ujarnya.

Muchtar Ali menyambut baik berbagai usulan dari Ormas Islam dan lembaga dakwah. Usulan yang telah disampaikan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan langkah. Muchtar juga mengatakan bahwa koordinasi sejenis akan dilakukan secara lebih intensif untuk menghasilkan konsep yang labih matang.

"Kami sangat berterima kasih atas berbagai masukan," tutupnya. (detik/kemenag)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »