Kenapa di Kota Ku Banyak LGBT?

Kenapa di Kota Ku Banyak LGBT?
AKHIR-akhir ini, kota ku lagi ramai membicarakan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT. Satuan Polisi Pamong Praja di kota ku juga sukses menangkap puluhan remaja yang berperilaku menyimpang ini di tempat kos-kosannya.

Bagi warga kota ini, perilaku LGBT adalah perbuatan yang sangat menjijikan. Tak hanya dilarang agama, perilaku LGBT juga bertentangan dengan adat di kota ku yang menganut falsafah adat, "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah".

Warga kota ku dikenal sangat relegius, masjid dan surau sangat ramai jamaah, terutama sejak digulirkan program subuh mubarakkah. Apatah lagi kota ku dipimpin seorang Buya yang hafidz al Quran. Program keagamaan, terutama mendorong generasi muda untuk hafal al Quran sangat menggema di media massa.

Makanya, aku heran, kenapa LGBT itu sampai meruyak di kota ku. Mestinya, semakin relegius warga kota, maka perilaku menyimpang, tak hanya LGBT, tapi tingkat kenakalan dan kriminalitas mestinya menurun. 

Bahkan survei yang diungkap Wakil Gubernur Nasrul Abit, LGBT terbanyak di Indonesia itu di Sumatera Barat. Dari 19 kabupaten/kota, maka yang terbanyak di Kota Padang. 

Nasrul Abit memang telah menyatakan perang terhadap LGBT. Ia pun tak bosan-bosannya mengajak semua pihak, apakah itu Ninik Mamak, Alim Ulama, Bundo Kandung, Tokoh Muda, dan lain sebagainya secara bersama-sama memerangi LGBT. 

Pemerintah Provinsi Sumatra Barat terus menggaungkan perlawanan terhadap perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Salah satu upaya yang dilakukan adalah menggelar penelitian komprehensif untuk mengetahui secara rinci penyebab penyimpangan seksual dan karakteristik pelaku LGBT.

Dikutip dari Republika.co.id, Senin, 23 April 2018, penelitian ini menggandeng Perhimpunan Konselor VCT HIV sebagai pihak yang memahami kondisi di lapangan. Sejumlah temuan pun diungkapkan dalam rapat koordinasi yang dilakukan Senin, 23 April 2018 di Istana Gubernur. Ketua Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia Wilayah Sumatra Barat Katherina Welong mengungkapkan penelitian diambil di 4 titik di Sumbar. Yakni Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Solok, dan Kabupaten Solok.

Responden penelitian ini berjumlah 147 orang yang memang diambil dari kelompok berisiko dan memang seluruhnya berperilaku LGBT. Penelitian yang berlangsung sejak Februari-April 2018 ini menggabungkan data kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian ini bukan mewakili kondisi aktual di lapangan, namun memberikan gambaran mengenai perilaku LGBT yang ada.

Katherina lantas membacakan hasil penilitiannya. Pertama tentang estimasi jumlah pelaku LGBT di Sumatra Barat. Riset ini menyebutkan, diperkirakan terdapat 14.469 orang pelaku hubungan Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) atau gay di Sumbar.

Sementara itu, riset juga mengungkap terdapat kurang lebih 2.501 orang waria di Sumatra Barat. Dari angka tersebut, waria di Sumbar bisa menggaet 9.024 orang pelanggan, yang tentunya berjenis kelamin laki-laki. Kalau digabungkan semuanya bisa total 20 ribu pelaku LSL di Sumbar, estimasi di Sumbar.

Salah satu peneliti, Akfikri, kemudian melanjutkan pembacaan hasil riset. Dilihat dari distribusi usia, pelaku LGBT paling banyak di Sumbar berusia 15-25 tahun, porsinya bahkan 75 persen dari 147 responden yang diteliti. Soal pendapatan, pendapatan tertinggi yang diperoleh responden berkisar antara Rp 1-3 juta per bulan.

Riset juga menunjukkan, separuh responden pernah merantau ke luar Sumbar, sementara separuh lagi belum pernah merantau alias menetap di Sumbar. Dari 147 responden, hanya 15 orang yang mengaku pernah mengonsumsi narkoba. Kemudian bila dari agama responden, yang diyakini menggambarkan kondisi secara umum kasus LGBT di Sumbar, sebanyak 95,9 persen pelaku beragama Islam.

Fakta angka selanjutnya, 43 persen pelaku LGBT masih tinggal dengan orang tuanya. Di peringkat kedua, pelaku LGBT mengaku tinggal di indekos. Dari riset ini juga terungkap bahwa 51,7 persen responden mengaku menyesali penyimpangan seksual yang dialami, sementara 46,9 persen tidak menyesal. Mayoritas pelaku LGBT juga memilih berkelompok dalam melakukan sosialisasi antarpelaku LGBT.

Kondisinya berbeda dengan beberapa tahun lalu. Kalau dulu tinggal datang ke pantai padang dan pub-pub tertentu. Sekarang tidak. Mereka lebih berkelompok dan lebih silent. Kalau dulu, program HIV/AIDS disalurkan melalui komunitas ini. Saat ini sebaliknya, mereka takut diketahui statusnya.

Riset ini juga mencoba menggali sebaran profesi pelaku LGBT. Sebanyak 26,3 persen dari responden bekerja sebagai wiraswasta, 3,8 persen sebagai PNS, 16,9 persen sebagai karyawan BUMN dan swasta,dam 18,1 persen mahasiswa dari berbagai kampus dan jurusan, termasuk jurusan yang berkaitan dengan agama.

Sementara aktivitas seksual, paling banyak dilakukan di indekos yakni 51,8 persen responden, 20,1 persen dilakukan di hotel, dan 15,6 persen dilakukan di rumah orang tua.

Lantas bagaimana perilaku LGBT bisa muncul pertama kali? Sebanyak 14 persen responden mengaku memiliki riwayat disakiti dan dikecewakan oleh lawan jenis. Sementara 13,8 persen pelaku mengaku terpengaruh lingkungan komunitas LGBT, 12,9 persen dirayu oleh pelaku LGBT, dan 8,2 persen pernah disodomi waktu kecil.

Artinya menjaga anak laki-laki sekarang sama sulitnya dengan menjaga anak perempuan. Ada juga 5,5 persen responden yang mengaku dididik tidak sesuai dengan gender, misalnya memberi boneka pada laki-laku.

Dalam bergaul, sebanyak 58,7 persen responden mendapat pasangannya dari media sosial dan 21,7 persen menemukan pasangan dari komunitas. Bila dirinci lagi, Facebook merupakan media sosial paling banyak digunakan bagi pelaku LGBT untuk 'bergaul' yang sebesar 41,8 persen.

Menyusul Whatsapp 18,9 persen, Twitter 6,6 persen, Wechat 18,9 persen, dan media sosial lainnya 13,8 persen. "Harus ada antisipasi terkait hal ini karena menyangkut pengawasan orang tua," katanya.

Sementara itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menjelaskan bahwa kunci dari perlawanan terhadap perilaku LGBT adalah pendidikan di lingkungan keluarga yang mencukupi. Apalagi kasus LGBT di Sumbar justru terjadi di daerah yang kental dengan budaya dan agama Islam, dan keras menolak perilaku LGBT.

Kalau dilihat, persoalan pertama yang harus dibenahi adalah masalah keluarga. Intinya adalah soal pembinaan, pendidikan di rumah.Peran keluarga terbesar sebagai sumber utama kemunculan perilaku LGBT ini.

Irwan sendiri berancana menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus bisa mendorong para orang tua untuk meningkatkan pendidikan agama di lingkungan rumah, dan memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak-anaknya. Irwan juga meminta keterlibatan alim ulama dalam menggencarkan pendidikan agama, termasuk juga guru untuk memastikan pergaulan anak didiknya di sekolah tetap terjaga.

Akankah perilaku LGBT ini dapat diberantas di kota ku? Wallahu'alam bishawab.

Padang, 11 November 2018
BY

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »