Tim Jokowi: Guru Korupsi Indonesia Mantan Mertuanya Prabowo

Tim Jokowi: Guru Korupsi Indonesia Mantan Mertuanya Prabowo
BENTENGSUMBAR. COM - Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ahmad Basarah mengatakan bahwa mantan presiden kedua RI Soeharto merupakan guru korupsi di Indonesia.

Hal itu ia katakan untuk merespon ucapan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia saat ini sudah masuk kategori darurat korupsi bak kanker stadium empat

"Jadi, guru dari korupsi Indonesia sesuai Tap MPR Nomor 11 tahun 1998 itu mantan presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertuanya pak Prabowo," kata Basarah saat ditemui di kantor Megawati Institute, Menteng, Jakarta, Rabu, 28 November 2018.

Politisi PDIP itu menegaskan hal itu bukan tanpa alasan. Ia mengatakan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia baru dimulai setelah Soeharto tumbang.

Salah satunya, kata dia, pemerintah setelah Soeharto mengeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Peraturan itu dikeluarkan salah satunya untuk mengusut berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto semasa 32 tahun berkuasa.

"Di dalam TAP MPR nomor 11 tahun 1998. Itu adalah untuk melakukan penegakan hukum terhadap terduga pidana korupsi termasuk oleh mantan presiden Soeharto," kata dia.

Basarah mengatakan bahwa kasus korupsi yang merebak di masa orde baru menyebabkan masyarakat tak puas dan muncul Reformasi 1998 untuk mengganti rezim.

Ia mengatakan kasus korupsi yang merebak sejak zaman Soeharto itu pula yang mengakibatkan bangsa Indonesia masih menanggung akibatnya sampai saat ini.

"Jadi ini adalah PR bangsa kita, yang sampai sekarang kita harus mencuci piring dari tradisi korupsi yang dilakukan pada zaman yang lalu sehingga kemudian rakyat melakukan koreksi akhirnya muncul era reformasi tahun 1998," kata dia.

Sebelumnya, Prabowo menilai sikap korup petinggi negeri ini berbanding lurus dengan angka kemiskinan masyarakat Indonesia yang terus meningkat.

Di saat yang sama para elit justru hidup berkecukupan dari hasil mengemplang uang rakyat. 

Bahkan, menurut dia, para elite di Indonesia selalu mengatakan apa yang terjadi di masyarakatnya saat ini baik-baik saja khususnya terkait kesenjangan sosial.

"Para elite mereka berpikir bisa membeli semuanya. Rakyat Indonesia miskin maka kita berikan saja beberapa karung nasi dan mereka akan memilih saya, saya akan membeli atau menyuap semua orang," kata Prabowo.

Salah satu misi reformasi yang didengungkan tahun 1998 adalah mengusut korupsi Presiden Soeharto. Namun upaya penegakan hukum yang ditempuh selama pergantian rezim era reformasi tak membuahkan hasil. Aparat penegak hukum hingga era Jokowi hanya berhasil mengungkap kasus yang berkaitan Yayasan Supersemar. 

Berdasarkan catatan detikcom, di era Presiden BJ Habibie, Jaksa Agung Andi Ghalib bahkan sampai berangkat ke Swiss untuk melacak harta Soeharto. Namun hasilnya nihil dan keluarlah Surat Penghentian Penyidikan (SP3) pada 11 Oktober 1999. 

Pada 6 Desember 1999, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali mengusut kekayaan Soeharto dan menunjuk Jaksa Agungnya, Marzuki Darusman untuk kembali memulai penyidikan. Setelah melalui mengenakan tahanan rumah dan penyitaan aset atas Soeharto, pada 29 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan kasus tak bisa diteruskan dan harus dihentikan. 

Begitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) naik, Abdul Rahman Saleh diangkat menjadi Jaksa Agung. Pada awalnya terkesan Abdul Rahman Saleh gencar mewacanakan pengusutan harta Soeharto, namun justru pada 11 Mei 2006, keluar lagi SP3 kasus Soeharto dengan alasan sakit permanen. 

Setelah Jaksa Agung berganti ke Hendarman Supandji, mulai upaya baru untuk mengusut harta Soeharto: jalur perdata. Pada 9 Agustus 2007, untuk pertama kali digelar sidang perdata kasus Soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

Kejagung melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar atas perbuatan melawan hukum. Kejagung menuntut ganti rugi materiil sebesar 420 juta US$ dan Rp 185 miliar serta immateriil sebesar Rp 10 triliun. 

Kasus yang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu berujung pada keputusan Mahkamah Agung mewajibkan Yayasan Supersemar membayar kepada negara sebagaimana sebesar Rp4,4 triliun. Paling anyar, di era Jokowi, PN Jaksel menyita Gedung Granadi sebagai tindak lanjut eksekusi penyitaan kasus Yayasan Supersemar.

(cnni)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »