BENTENGSUMBAR.COM - Pengamat Politik dari UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik mengatakan, persoalan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terletak pada persoalan profesionalisme, sehingga menimbulkan tudingan dan kecurigaan yang bermacam-macam.
"Kalau kita lihat, persoalan KPU terletak pada persoalan profesionalisme, satu. Kalau kita mencurigai KPU bermain, kan itu. Kedua, KPU bermain dengan salah satu calon. Kalau kita mendelegitimasi tidak dalam konteks hukum, ini akan menjdai problem," ujarnya ketika dihubungi BentengSumbar.com, Sabtu, 4 Mei 2019.
Menurutnya, salah satu cara konstitusional untuk mendelegitimasi adalah kekuatan hukum, kalau memang mereka terlibat, baik secara profesional atau terlibat dengan salah satu kandidat.
"Kalau tidak secara konstitusional, apa mau dibakar kantor KPU itu atau didemo? Itu tidak akan menyelesaikan masalah," ujarnya.
Dikatakannya, KPU punya mekanisme, punya dewan etik, dan punya akibat hukum pidana dari tindakan-tindakan yang salah.
"Saya rasa itu yang harus dilalui. Kelasahan itu kan tidak hanya pada satu kandidat. Itu yang jadi problem saat ini. KPU punya kesalahan kepada dua kubu, 01 dan 02, salah input. KPU kan terus memperbaiki kesalahan itu," urainya.
Satu lagi yang menjadi persoalan, katanya, masyarakat menganggap situng KPU adalah finalisasi. Harusnya diberi pemahaman kepada masyarakat, bahwa proses berjenjang naik, bertangga turun penghitungan KPU yang dilakukan secara manual. Tetapi yang dikonsumsi di luar, situng itu sesuatu yang finalisasi.
"Tapi saya yakin, kalau masyarakat tahu ada hitungan manual dan dilakukan secara berjenjang, dimulai dari TPS sampai tingkat nasional, saya fikir masyarakat akan paham. Setiap tingkatan ada pengoreksian, kalau memang terjadi kesalahan," tukuknya.
Jika ada kesalahan, kedua kubu, baik 01 maupun 02, bisa mengumpulkan bukti-bukti terhadap kesalahan itu.
"Kalau toh ada kesalahan, kedua belah pihak kan bisa mengumpulkan bukti terhadap kesalahan itu. Dulu kita juga kan pernah mendengar macam-macam, ada kecurangan, ada permainan di salah satu kandidat. Ternyata faktanya saat bersidang di MK, mereka tidak mampu membuktikan. Ini jangan menjadi tradisi jelak bagi kita, bahwa 01 atau 02, ketika mereka punya kesalahan, membangun sentimen-sentimen lain," pungkasnya.
Soal pemilu jurdil, Muhammad Taufik mengakan, jurdil tidak bisa dikatakan di mulut saja. Tapi jurdil itu terkait dengan adanya pengaduan dan bisa atau tidaknya dibuktikan dipersidangan.
"Apakah ada pengaduan? Apakah dipersidangan dapat dibuktikan mereka melanggar? Apakah terstruktur dan masif? Tapi kalau hanya 1, 2, itu kan tidak bisa digeneralisir. Tapi kalau terstruktur, masif dan sistematis, baru kita katakan tidak jurdil," ungkapnya.
(by)
"Kalau kita lihat, persoalan KPU terletak pada persoalan profesionalisme, satu. Kalau kita mencurigai KPU bermain, kan itu. Kedua, KPU bermain dengan salah satu calon. Kalau kita mendelegitimasi tidak dalam konteks hukum, ini akan menjdai problem," ujarnya ketika dihubungi BentengSumbar.com, Sabtu, 4 Mei 2019.
Menurutnya, salah satu cara konstitusional untuk mendelegitimasi adalah kekuatan hukum, kalau memang mereka terlibat, baik secara profesional atau terlibat dengan salah satu kandidat.
"Kalau tidak secara konstitusional, apa mau dibakar kantor KPU itu atau didemo? Itu tidak akan menyelesaikan masalah," ujarnya.
Dikatakannya, KPU punya mekanisme, punya dewan etik, dan punya akibat hukum pidana dari tindakan-tindakan yang salah.
"Saya rasa itu yang harus dilalui. Kelasahan itu kan tidak hanya pada satu kandidat. Itu yang jadi problem saat ini. KPU punya kesalahan kepada dua kubu, 01 dan 02, salah input. KPU kan terus memperbaiki kesalahan itu," urainya.
Satu lagi yang menjadi persoalan, katanya, masyarakat menganggap situng KPU adalah finalisasi. Harusnya diberi pemahaman kepada masyarakat, bahwa proses berjenjang naik, bertangga turun penghitungan KPU yang dilakukan secara manual. Tetapi yang dikonsumsi di luar, situng itu sesuatu yang finalisasi.
"Tapi saya yakin, kalau masyarakat tahu ada hitungan manual dan dilakukan secara berjenjang, dimulai dari TPS sampai tingkat nasional, saya fikir masyarakat akan paham. Setiap tingkatan ada pengoreksian, kalau memang terjadi kesalahan," tukuknya.
Jika ada kesalahan, kedua kubu, baik 01 maupun 02, bisa mengumpulkan bukti-bukti terhadap kesalahan itu.
"Kalau toh ada kesalahan, kedua belah pihak kan bisa mengumpulkan bukti terhadap kesalahan itu. Dulu kita juga kan pernah mendengar macam-macam, ada kecurangan, ada permainan di salah satu kandidat. Ternyata faktanya saat bersidang di MK, mereka tidak mampu membuktikan. Ini jangan menjadi tradisi jelak bagi kita, bahwa 01 atau 02, ketika mereka punya kesalahan, membangun sentimen-sentimen lain," pungkasnya.
Soal pemilu jurdil, Muhammad Taufik mengakan, jurdil tidak bisa dikatakan di mulut saja. Tapi jurdil itu terkait dengan adanya pengaduan dan bisa atau tidaknya dibuktikan dipersidangan.
"Apakah ada pengaduan? Apakah dipersidangan dapat dibuktikan mereka melanggar? Apakah terstruktur dan masif? Tapi kalau hanya 1, 2, itu kan tidak bisa digeneralisir. Tapi kalau terstruktur, masif dan sistematis, baru kita katakan tidak jurdil," ungkapnya.
(by)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »