Mengembalikan MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara Dianggap Langkah Mundur

Mengembalikan MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara Dianggap Langkah Mundur
BENTENGSUMBAR.COM - Pengajar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad mengatakan, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah langkah mundur yang membahayakan sistem demokrasi

“Itu sama saja mau membawa negara dan bangsa ini kembali seperti masa orde baru. Yang benar saja. masak kita yang sudah dua puluh tahun lebih keluar dari kungkungan rezim otoritarian orde baru mau dikembalikan lagi ke era orde baru,” katanya, kepada SP, di Jakarta, Minggu, 11 Agustus 2019.

Dia menegaskan, sikap mengembalikan lembaga MPR merupakan sikap yang sangat konservatif. “Memangkas hak-hak politik masyarakat untuk memilih sosok presiden baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan,” katanya.

Nyarwi Ahmad, yang juga Direktur Presidential Studies-DECODE UGM itu, menyebutkan, satu di antaranya privileged politik yang nyata dari sistem demokrasi dan yang saat ini dinikmati rakyat adalah pemilihan presiden (pilpres langsung) bukan oleh MPR.

“Kalaulah disebut sebuah kemajuan. Salah satu kemajuan nyata yang kita rasakan sebagai buah atau hasil dari reformasi adalah pilpres secara langsung,” katanya.

Dalam banyak dimensi kehidupan yang lain, lanjutnya, masyarakat belum sepenuhnya merasakan wujud nyata dari demokrasi.

“Politik dinasti ada dimana-mana, oligarkhi juga terus bermetamorfosis dan berkuasa. Parpol umumnya ada di tangan kekuasaan kelompok-kelompok dinasti politik dan oligarkhi,” katanya.

Secara internal keorganisasian, lanjutnya, tidak banyak parpol-parpol yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dengan maksimal. “Buktinya, sulit mendapatkan sosok ketum parpol yang berasal dari rakyat biasa. Yang bukan bangsawan politik ataupun pengusaha,” ucapnya.

Titik Krusial

Selain itu, terangnya, masih banyak pengelolaan dan kinerja lembaga-lembaga politik belum sepenuhnya dijalankan secara demokratis. Dominasi segelintir dinasti politik dan oligarkhi juga kian menjadikan demokrasi kita saat ini kian elitis.

“Kalau pilpres sebagai salah satu mekanisme demokrasi elektoral terpenting yang bisa dinikmati rakyat pun mau dipangkas maka tinggal menunggu waktu saja runtuhnya demokrasi yang pernah kita bangun pascareformasi,” katanya.

Dikatakan, dengan melihat konservatisme para elite produk orba dan romantisme yang mereka miliki atas kondisi politik masa demokrasi terpimpin dan masa orba maka amendemen UUD 1945 sepertinya akan menjadi titik krusial dan bisa membahayakan atau meruntuhkan tatanan sistem demokrasi saat ini.

Dia memprediksi, isu amandemen bisa digunakan dengan dalih memperkuat negara. Namun hal itu bisa membangkitkan rezim otoriter karena agenda penguatan negara tidak dibarengi dengan penguatan peran dan posisi masyarakat sipil dan aktor-aktor di luar negara dalam proses demokrasi.

“Amendeman bisa menjadi momentum bangkitnya orba jilid II. Itu memungkinkan mengingat aktor-aktor kunci yang berpengaruh dalam parpol-parpol saat ini masih lekat dengan cara berfikir dan alam berfikir orba,” katanya.

Terkait urgensi GBHN, Nyarwi menjelaskan, dalam masyarakat demokratis tidak ada urgensinya menghidupkan kembali GBHN.

“Kalau itu yang dipilih (menghidupkan GBHN) kita sama seperti mau meniru negara-negara yang dikenal kurang atau bahkan tidak demokratis seperti Rusia dan Tiongkok,” katanya.

Dia berpendapat, prinsip-prinsip dan arah haluan negara mestinya perlu dibedakan dengan haluan pemerintahan.

“Pembukaan UUD 1945 sudah memberikan guidance mengenai arah dan tujuan Negara. Yang diperlukan adalah Garis-Garis Besar Haluan Pemerintahan. Kalau itu yang dimaksudkan maka itu bisa dibahas di parlemen (DPR/MPR) bersama-sama dengan pemerintah/eksekutif. Baik jangka pendek maupun jangka panjang,” katanya.

(Source: BeritaSatu.com)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »