Putra Kartosuwiryo Pilih Ikrar NKRI Ketimbang Hidup di Hutan

Putra Kartosuwiryo Pilih Ikrar NKRI Ketimbang Hidup di Hutan
BENTENGSUMBAR.COM - "Saya perlu dengan negara ini," ucap Sarjono Kartosuwiryo, anak dari pemimpin dan pendiri Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.

Sarjono adalah sosok yang memimpin 13 rekannya untuk berikrar kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila, Selasa, 13 Agustus 2019 pagi, di lantai 6 Gedung Kementerian Koordinasi Bidang Politik, Hukum, Keamanan (Polhukam).

Mereka adalah mantan anggota Harokah Islam, eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII), dan eks Negara Islam Indonesia (NII).

Mengenakan batik yang didominasi warna coklat dengan motif tumbuh-tumbuhan yang dipadu dengan celana panjang hitam dan peci hitam, saat itu Sarjono berbaris dengan anggota lainnya dengan tenang. Senyuman kerap tampak dari wajahnya.

Suasana pagi itu mengharukan saat lima butir janji setia itu diungkapkan oleh mereka dengan lantang. Satu persatu mereka mencium merah putih, dengan disaksikan oleh Menkopolhukam Wiranto, sejumlah pejabat eselon Kemenko Polhukam, dan pejabat Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP).

Sarjono mengaku sejak kecil dididik untuk menentang ideologi Pancasila. Maka ketika dipersilahkan untuk mencium bendera merah putih yang menjadi lambang negara, dia merasakannya sebagai sesuatu yang mengharukan. 

Sang 'Putra Mahkota' DI/TII ini mengaku ikrar tersebut diucapkan bukan karena dibayar pemerintah atau dijanjikan sesuatu. Menurutnya, keinginan untuk setia terhadap NKRI ini jauh telah tumbuh sejak 1962 silam.

"Kami membela negara, mau janji tidak janji, enggak dibayar. Tapi saya perlu dengan negara ini," kata pria paruh baya ini.

"Inikan sudah dari 1962, sudah lama banget. 1962 itu penghentian tembak-menembak, kembali ke pangkuan RI (sekarang) langsung ikrar setia," imbuh Sarjono. 

Namun demikian, ia mengaku butuh banyak dukungan dari beberapa pihak hingga pada akhirnya mau mengucap janji setia kepada NKRI. 

"Karena harus ada dukungan dari semua pihak. Dari pemerintah, Menko Polhukam, dari kawan-kawan yang mengelilinginya. Kita harus mendapat dukungan dulu. Kalau dari saya seorang diri ngapain, ngapain seorang diri? Kan enggak ada dukungan," kata dia. 

Langkahnya untuk setia terhadap NKRI ini tak dia anggap sebagai pengkhianatan seoarang anak terhadap orangtuanya. Kata dia, pada dasarnya perjuangan yang dirinya lakukan sama persis dengan perjuangan kedua orangtuanya, hanya dengan cara yang berbeda.

"Kenapa merasa berkhianat? Perjuangan itu kan berubah setiap saat. Setiap saat berubah perjuangan itu, dulu berjuang itu pakai senjata, sekarang senjatanya enggak ada," kata dia. 

Dia pun mengaku akan segera berkumpul dan berbincang dengan para pengikutnya yang ia sebut mencapai 2 juta orang itu soal ikrar ini. Sarjono mengakui masih banyak anggota DII/TII yang tinggal di pedalaman dan dikejar layaknya buronan karena disangka sebagai pengkhianat negara.

Ia pun menggarisbawahi soal pentingnya hidup tenang, bebas, tanpa dikejar-kejar.

"Ya nanti kita ngobrol, lebaran kita ketemu ngobrol, Agustus-an kita ketemu ngobrol, [tanya] enak mana di hutan atau di sini?" selorohnya.

"Daripada di hutan coba; makanan enggak ada, dikejar-kejar. Ya enak di sini," cetus dia. 

Kini, Sarjono menetap di daerah Malangbong, Garut, Jawa Barat, bersama keluarganya. "Sekarang santai-santai saja di rumah," ucapnya.

Sejarawan Deliar Noer, dalam buku 'Partai Islam di Pentas Nasional', menyebut DI/TII di Jawa Barat muncul saat pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah akibat hasil dari perjanjian Renville yang tak memasukkan provinsi itu sebagai bagian RI.

Kartosuwiryo, pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), kemudian mendeklarasikan DI/TII. Ia juga menolak bergabung dengan NKRI meski perang telah berakhir.

Sejarawan Universitas Indonesia Mohammad Iskandar menyebut DI/TII kerap melakukan teror dan mengambil logistik masyarakat dalam rentang 1949-1962. 

Presiden Sukarno geram dengan sepak terjang pemberontakan ini. Saat berpidato di Istana Negara, Jakarta, pada 17 Agustus 1953, ia pun menginstruksikan aparat untuk mengambil tindakan tegas.

Pemberontakan DI/TII baru berakhir pada 1962 lewat Operasi Barata Yudha atau Operasi Pagar Betis. Kartosoewiryo saat itu ditangkap di Gunung Beber, Majalaya, lalu dieksekusi mati di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

(Source: cnnindonesia.com)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »