Khalifah Yang Tercela

Khalifah Yang Tercela
JIKA kita berbicara mengenai alam maka tentunya tidak terlepas dengan berbagai macam makhluk hidup yang terdapat didalamnya seperti manusia, hewan dan tumbuhan. Dari tiga jenis makhluk hidup tersebut, manusialah yang dilegitimasi oleh Tuhan sebagai pemimpinnya.

Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS, 2:30). Ayat tersebut juga dimaknai oleh para mufassir bahwa manusia adalah Khalifah  (pemimpin), manusia juga sebagai wakil Tuhan dalam mengelola alam (bumi). Sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia diberikan tugas dan tanggung jawab untuk menjaga dan memanfaatkan alam dan segala isinya untuk kebutuhan hidupnya.

Sebagai wakil Tuhan, manusia juga dituntut dapat menjaga harmonisasi alam semesta. Tanpa itu, maka alam dan segala isinya akan terganggu keseimbangannya dan akan menimbulkan petaka. 

Sebagai salah satu etnis dunia, orang Minang mempunyai kearifan lokal (local wisdom) sendiri terhadap alam. Bagi orang Minang, alam tidak hanya untuk dikelola, akan tetapi sebagai sumber pembelajaran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Dalam pepatah Minangkabau disebutkan:Panakiek pisau sirawik,ambiek galah batang lintabuangsalodang jadikan niru,Nan satitiek jadikan lawik,nan sakapa jadikan gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.

Pepatah adat diatas rasanya sudah jamak terdengar ditelinga kita. Terutama kata "alam takambang jadi guru", kata ini sering diucapkan ketika berkaitan dengan keyakinan orang Minang dalam mencari ilmu pengetahuan. Sebagai khalifah di bumi, ternyata orang Minang malah menjadikan alam semesta ini sebagai guru untuk menimba ilmu pengetahuan. Hal ini tentulah sudah melampaui tugas pokok seorang khalifah fil ardh sebagai pemimpin di bumi.

Namun, sebagai utusan tuhan manusia tidaklah boleh superior dengan melakukan eksploitasi terhadap alam semesta apalagi sampai melakukan kerusakan.  Jika ini terjaditentunya manusia sudah berubah statusnya dari khalifah fil ardh. Manusia.  tidaklah menjadi rahmat akan tetapi sebaliknya mendatangkan mudharat bin petakabagi makhluk lainnya.Di dalam Al-qur’an ditegaskan kebencian Tuhan kepada manusia yang seperti ini : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri. Yang demikian itu suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan akhirat meteka siksaan yang besar (Q.S 5:33).

Kerusakan yang dilakukan oleh manusia terhadap alam semesta tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri akan tetapi juga manusia lainnya, binatang dan bahkan tumbuh-tumbuhan. Masih segar dalam ingatan kita bencana kabut asap yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia seperti di Kalimantan dan Riau beberapa bulan yang lalu. Kabut asap itu tidak hanya meresahkan provinsi terdekat dengannya akan tetapi juga negara tetangga. Penyakit batuk, asma dan paru-paru punmewabah disana. Belum lagi hewan-hewan penghuni hutan yang sakit dan mati dan terpaksa migrasi ketempat lain akibat habitatnya terbakar. Contoh di Kalimantan ada orangutan yang masuk ke kebun warga untuk menyelamatkan diri dan mencari makanan karena kelaparan (merdeka.com: 19 sep 2019).

Seandainya manusia tidak semena-mena terhadap alam, maka tentunya musibah dan bencana tidak akan terjadi. Allah akan menurunkan rahmat dan berkahnya ke bumi. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs:7:96).

Hal senada juga ditemukan dalam falsafah orang Minang tentang rumusan dan tujuan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dalam pepatah yang berbunyi:
Adat jo Syarak kok tasusunBumi sanang, padi manjadi Padi masak, jaguang maupiah,Taranak bakambang biak,Bapak kayo, mande batuah, mamak disambah urang pulo

Maknanya: Apabila manusia sebagai khalifah atau wakil tuhan di bumi dapat menjalankan hidupnya berdasarkan kearifan-kearifan yang terdapat dalam adat dan norma-norma agama, maka akan terwujudlah masyarakat yang aman, damai dan makmur.Hal inisesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh nenek moyang orang Minang sejak dahulunya.

Kerasnya ancaman Tuhan berupa kehinaan hidup di dunia dan siksaan yang berat di akhirat merupakan peringatan dan kebencian-Nya kepada manusia sebagai wakilnya di permukaan bumi. Manusia yang melakukan kerusakan di alam telah berubah dari Khalifah fil ard menjadi Khalifah yang tercela. 

(***)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »