Pandemi Sesat Pikir

Pandemi Sesat Pikir
PENYEBARAN pandemi Covid-19 bergantung pada cerita. Orang-orang merangkai cerita ihwal pandemi tersebut dan menjadikan itu tumpuan untuk menghadapinya.

Para kepala negara berkeras membuat cerita-cerita perihal Covid-19 karangan mereka. Berbagai cara digunakan untuk menjadikan cerita mereka seksi.

Sesat Pikir

Misalnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi membicarakan Pandemi Covid-19  dilansi dari Liputan6.com  Kamis (26/3/2020). Ia mengatakan mengajak para pemimpin negara G20 untuk bersama-sama memenagkan dua “perperangan” yaitu, melawan virus corona (Covid-19) dan melawan pelemahan ekonomi dunia.

Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez  meminta seluruh Eropa atau sedikitnya 27 negara Uni Eropa bersatu karena Eropa mengalami krisis terburuk sejak Perang Dunia Kedua. Virus corona baru katanya, ancaman terbesar kesehatan masyarakat sejak pandemi flu 1918 (The Guardian, 5/4/2020).

Dalam briefing press Gedung Putih (18-3-2020), Donal Trump mengumumkan bahwa negaranya tengah perang melawan virus Cina, musuh yang tidak terlihat. Trump pun mengatakan, akan bertemu perawat di garis depan pertempuran melawan virus, “mereka benar-benar pahlawan Amerika,” katanya. Pada forum lain, trump menyebut Covid-19 sebagai flu kung fu dan ia mendaulat dirinya sebagai presiden masa perang. 

Dengan cerita-cerita seperti itu, mereka memobilisasi segala sumber daya yang ada di Dunia, Persenjataan beserta tanda-tanda kemenanganpun mereka buat. Penemuan dan pengujian Obat-obatan dan vaksin dijadikan senjata andalan. Keduanya pun digambarkan sebagai kemenangan. Industri-industri biotech disatroni dengan anggaran jumbo. 

Dengan demikian pembentukan kebijakan oleh pemimpin negara berupa produk hukum dan pemuatan denda atau sanksi untuk pencegahan dan penanganan Covid-19,  negara-negara silih berganti menerbitkan beragam macam kebijakan dibentuk, diterapakan, maupun dikelurkan. Mulai dari kebijakan protokol kesehatan, Sosial distancing bahkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan beragam istilah yang menyertai sesuai dengan kajian-kajian, “nafsu” dan tingkat “kegenitan” pemimpin negara.

Namun, semua warga mesti cepat dibuat sudah merasa menang, cepat  mengaktifkan lagi ekonomi di masa pandemi diyakini jalannya. Jalan ini pun akan mengisi kas negara yang terus menerus dikuras virus. Maka, meski pandemi semakin menyebar, ekonomi di masa pandemi sudah mulai diaktifkan lagi.

Itulah sesatnya pikir di masa pandemi. Cerita mereka fiktif. Bukan virus yang menginvansi, tetapi mereka (manusia) yang menginvansi ekosistem berbagai virus. Dari situlah datangnya virus (zoonosis).

Cerita Baru

Pandemi sesat pikir itu juga melanda Indonesia. Pada 28 Juli 2020, dibuat Perpres Nomor 82 Tahun 2020 yang mengesahkan penggantian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dengan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. 

Lembaga ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Pengintegrasian itu pun seyogyanya hanya untuk mengintegrasikan penanganan Covid-19 di sektor kesehatan dan ekonomi. Namun, struktur dan komposisi pejabat di posisi-posisi strategis komite menandakan lembaga ini lebih memprioritaskan pemulihan ekonomi dari pada Covid-19.

Sebuah perekonomian yang ditopang dan menopang oligarki yang berorientasi menumpuk modal, antara lain dengan memeras tenaga buruh, membayar rendah upahnya, serta terus menerus memacu produksi dan konsumsi massal sesuai dengan desakan para pemodal multifungisonal sehingga yang “kaya semakin kaya, miskin semakin miskin”.

Jika memang mau mengintegrasikan itu, memulainya dengan cerita baru. Cerita baru yang lahir dari kesadaran seperti  ditulis Frank M Snowden. Bahwa pandemi Covid-19 menimpa masyarakat melalui kerentanan khusus yang kita buat dalam relasi kita dengan lingkungan, spesies lain, dan satu sama lain.

Pada saat bersamaan, peningkatan demografis dan urbanisasi telah menyebabkan invansi dan perusakan habitat hewan, mengubah relasi manusia dengan dunia hewan. Yang paling relevan, multiplikasi kontak yang dihasilakan dengan kelelawar, hewan yang merupakan inang alami berbagai jenis virus corona, termasuk SARS_CoV_2.

Konsekuensinya, bukan ketika Covid-19 semakin menyebar segera mengaktifkan lagi ekonomi yang mengatur semua hubungan manusia dengan dirinya, sesama manusia, dan alam sebagai relasi untuk mengakumulasi modal. 

Akan tetapi, segera menjalankan kebijakan kesehatan yang menginsafi kesehatan kita bergantung bukan  saja pada kita, tetapi juga pada kesehatan seluruh umat manusia dan alam pun lekas beralih ke ekonomi seperti ditulis David C Korten, yakni ekonomi tubuh dan alam yang setiap unsurnya saling peduli dan berbagi dalam jalinan pemenuhan kebutuhan bersama.

Memang itu bukan saja perkerjaan medis. Namun, Siddhartha Mukherjee menulis, “menamai suatu penyakit adalah mengambarkan kondisi penderitaan tertentu tindakan kesastraan sebelum tindakan medis. 

Seorang pasien, lama sebelum dia menjadi subjek pengawasan medis, pertama–tama  adalah pendongeng, narator penderitaan pengelana yang telah mengunjungi kerajaan sakit. Maka, untuk meredakan sakit, seseorang harus mulai dengan bercerita.

Karena manusia itu makhluk naratif. Makhluk pencerita: pembuat dan pewaris cerita. Kekuatan cerita terletak bagaimana kita membungkusnya secara rapi agar mudah diingat dan diwarisi. 

Setiap cerita yang mereka sampaikan memiliki makna tersendiri oleh si pembuat cerita tadi, bahkan cerita-cerita tentang pandemi saat ini.Pandemi yang di mulai dari cerita baru dan berakhir dengan perbaikan ekonomi yang tidak menentu.

Dan hari ini diikuti dengan ucapan Selamat Dirgahayu untuk bangsa Indonesia yang sudah semakin tua mewadahi para pembuat cerita dalam rangka mengintervensi mereka yang tidak tau berbuat apa dengan warisan cerita.

Merdeka

Sudah menjadi sebuah kebiasaan yang tak pernah kita tinggalkan. Setiap 17 Agustus tiba, orang-orang di Kota, Desa-desa, hingga Kampung-kampung pinggiran memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia dengan semaraknya. 

Beragam rupa acara tasyukuran, perlombaan hingga promo dan diskonan digelar sebagai bentuk perayaan sekaligus rasa simpatisan kepada para pahlawan Bangsa.

Merdeka, dimasa pandemi yang sudah mendunia, dapat dimaknai dalam skala yang berbeda-beda. Bagi mereka yang memaknai nasionalisme dengan dosis tinggi misalnya, merdeka akan selalu seperti itu: slogan menggelora tentang kebangsaan, anjuran berkerja dengan semangat memajukan negeri. Tak lupa dengan heroisme masa lampau untuk refleksi diri.

Tapi, jauh dari hingar bingar itu, tak sedikit orang yang memaknai merdeka dalam skala yang sangat biasa. Merdeka yang sederhana di masa cerita baru tentang pandemi yang sudah mendunia harus mendapat perhatian serius bagi mereka yang membuat cerita, sehingga dampaknya tidak begitu lama. 

Misalnya, Ketua Kadi Indonesia Rosan Roeslani  menyatakan survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebut sekitat 29 juta warga Indonesia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Karena itu, program pengaman jaringan sosial harus benar-benar diutamakan untuk dijalankan jangan  perbanyak cerita baru, sebelum mereka terlalu lama lapar, kan kita bisa repot buat ceritanya kalau mereka sudah merdeka.

Tapi, lebih dari itu. Merdeka yang sederhana. Dalam kutipan puisinya Wiji Thukul pernah meyiratkan tentang hal itu.” Merdeka adalah nasi. Dimakan jadi tai!” Sebaris kalimat yang dapat dinilai sebuah kalimat yang jorok. Tapi lebih dari itu, puisi itu seperti menemukan jawaban dari cerita baru pandemi ini. Dari kesederhanaan, semua memang akan terlihat jernih dalam memandang makna tersendiri dari kemerdekan.

Refleksi kemerdekaan pada saat ini dengan perenungan lepas dan lebih mendalam menunjukkan arti bahwa pemerintah telah gagal mengendalikan pandemi karena kebijakan yang membingungkan dan kacau menjadi cerita baru disaat pandemi. Strategi kebijakan ini seperti mengisi ember bocor karena masalah dasar kebocoran tidak di atasi dengan baik.

Seharusnya, refleksi terkait HUT ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bertujuan untuk saling mengingatkan ihwal urusan publik dan masyarakat banyak serta dalam rangka check and balance yang lebih luas terhadap cerita baru di masa pandemi. Sehingga beberapa polemik tentang rasa optimisme kemerdekaan menuju Indonesia maju yang telah dipaparkan justru memberikan asupan bergizi di saat ajang kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-75 tahun berlangsung.

Di saat acara peringatan kemerdekaan, sementara sasaran wadahnya secara virtual yang juga menggunakan keuntungan dari transformasi digital. Momentum yang akan mendobrak terobosan terbaru untuk memulihkan bangsa Indonesia untuk tetap produktif menuju Indonesia maju dan menghasilkan cerita baru.

Ditulis Oleh: Gustian Zaid
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN IB Padang dan Pendiri Sosialis Institut Sumatera Barat

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »