Catatan Muhammad Irsyad Suardi: Pendidikan dan Ketimpangan Sosial

Catatan Muhammad Irsyad Suardi: Pendidikan dan Ketimpangan Sosial
PENYEBAB salah satu faktor tidak meratanya pendidikan keseluruh pelosok negeri dikarenakan akses masuk yang belum merata keseluruh pelosok negeri. 


Keadaan ini menjadi sebab utama tidak berjalannya proses pendidikan dengan baik ditiap tempat yang belum mendapat akses pendidikan, sehingga berdampak luas kepada ketimpangan sosial yang mengakibatkan pertumbuhan di wilayah yang mendapat akses pendidikan lebih cepat tumbuh daripada wilayah yang belum menyentuh pendidikan sama sekali. 


Akses pendidikan yang belum memadai memunculkan sejumlah ketimpangan disuatu daerah yang berakibat terhadap lambatnya laju pertumbuhan dari segi sosial,ekonomi dan budaya, dampaknya, tidak berjalannya proses interaksi pendidikan melalui gejala sosial yang bersinggungan langsung dengan proses ekonomi.


Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2015 menyebutkan, ada 4,9 juta anak yang tidak tercakup pendidikan. 


Mereka tercerabut dari dunia pendidikan karena faktor kemiskinan dan ketimpangan sosial, tinggal di daerah yang secara geografis sulit dijangkau dan jauh dari pusat ekonomi. 


Keadaan tersebut mengakibatkan semakin jauhnya jarak ketimpangan disuatu daerah sehingga berdampak kepada kebutuhan lainnya yang semakin mahal dan sulit dijangkau.


Sebagaimana yang telah pada 72 tahun yang lalu didalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 31 yang menyebutkan “Bahwa setiap negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."


Ini adalah tanggung jawab pemerintah ataupun Negara dalam kemajuan bangsa ini.


Dalam pasal 31 ini, sudah empat kali terjadi perubahan Undang-undang. Namun, implementasi yang diharapkan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah belum menunjukkan keberpihakannya terhadap pasal diatas sehingga tingkat pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan. 


Dari tahun ke tahun tingkat pendidikan di Indonesia tidak memperlihatkan perubahan yang signifikan. Indonesia hanya berpredikat sebagai Follower (Pengikut) bukan sebagai Follow (yang diikuti). 


Dalam pasal diatas jelas-jelas menegaskan bahwa Negara dalam hal ini memberikan jaminan kepada seluruh anak bangsa, baik yang tinggal diperkotaan maupun yang tinggal tidak diperkotaan (pinggiran kota), bahwa wajib memberikan akses pendidikan dengan sepenuhnya. 


Bahkan, dalam salah satu ayat dalam pasal ini mengatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan anggaran sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk seluas-luasnya digunakan bagi dunia pendidikan diseluruh wilayah ditanah air indonesia tercinta.


Memang, pemerintah telah menyisihkan seperlima dari APBN, namun entah mengapa potret dunia pendidikan kita masih jauh dari kata layak. 


Lebih memprihatinkan lagi ketika mengetahui ada beberapa sekolah yang hanya beralaskan tanah untuk proses belajar-mengajar, dan mengetahui banyak gedung-gedung sekolah yang tidak layak untuk dijadikan sebagai sebagai tempat belajar. 


Maka tidak heran hingga hari ini masih kita temukan anak sekolah yang mengais rezeki dari hasil mengumpulkan botol plastik dijalanan dikarenakan tidak adanya biaya untuk bersekolah.


Ketimpangan Mulai Menyebar


Temuan survei terbaru dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Infid tahun 2017 menjelaskan bahwa, ketimpangan meningkat 84% dibandingkan tahun 2016 yang hanya 69%, hal ini menandakan angka ketimpangan di Indonesia meningkat perlahan-lahan sehingga kemiskinan kian bertambah yang berdampak pada pengangguran sehingga kemiskinan mulai menyebar dan mendominasi.


Temuan Infid ini berbeda dengan versi pemerintah Indonesia yang menyebut ada “sedikit penurunan” yang dirasakan oleh warga sebagai pintu paling timpang jika dibandingkan sumber ketimpangan lainnya. 


Warga yang berpenghasilan layak merupakan contoh terbanyak dibandingkan tahun sebelumnya, kemudian warga yang berpenghasilan kurang layak terbanyak kedua setelah warga yang berpenghasilan layak.


Gejala ini menunjukkan, adanya ketidakseimbangan antara faktor penyebab dan faktor pendukung antara proses yang terjadi ditengah masyarakat, sehingga pemerintah kewalahan menangani kasus-kasus ketimpangan yang terjadi di Indonesia saat ini. 


Setidaknya, Infid mencatat ada 10 ranah yang disebut sebagai sumber ketimpangan sosial di Indonesia; pertama, dari penghasilan rumah tangga. Kedua, pekerjaan suami/istri. Ketiga, rumah/tempat tinggal. Keempat, kekayaan/harta benda. 


Kelima, kesejahteraan keluarga (anak). keenam, akses pendidikan. Ketujuh, lingkungan tempat tinggal. Kedelapan, keterlibatan dalam berpolitik. Kesembilan, keterlibatan dalam hukum. Dan terakhir jaminan kesehatan.


Dari kesepuluh ranah diatas, semuanya saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga bila terjadi pada satu ranah maka kemungkinan besar akan terjadi pula terhadap ranah lainnya yang semakin menyebar luas. 


Maka, oleh sebab itu, pemerintah dalam hal ini harus segera mencari data yang konkrit yang dapat menghitung angka riil dari ketimpangan sosial dan ketimpangan pendidikan melalui data BPS sehingga angka ketimpangan dapat diminimalisir melalui program-program yang telah dirancang oleh pemerintah sedemikian rupa.


*Ditulis Oleh: Muhammad Irsyad Suardi, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »