PASTI kita ingat tentang kepedihan yang dialami oleh muslim Rohingya. Mungkin kita semua mengetahui tentang kabar ini, baik di Tv maupun di media-media lainnya. Kabar bergejoloknya peta kekuatan politik di Myanmar membuat militer mengambil alih kekuasaan. Satu bulan setelah militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021 lalu, kisruh politik di negeri sejuta pagoda tersebut justru semakin mendekati titik didih.
Tercatat hampir 60 orang tewas dan 1.800 pengunjuk rasa ditahan oleh aparat keamanan. Tekanan dunia internasional baik secara bilateral maupun multilateral melalui forum ASEAN dan PBB yang mengecam kudeta dan mendesak adanya dialog damai masih jauh panggang dari api.
Kabar terbaru tentu datang dari polisi Myanmar bersama rakyatnya akan tetapi militer Myanmar menolak dan melawan rakyatnya. Tentu hal ini menjadi bumerang bagi negara Myanmar sendiri. Kekacauan terjadi dimana-mana membuat militer Myanmar mau tidak mau melawan rakyat nya sendiri. Diibaratkan bagaimana sebuah negara tanpa rakyat bisa berdiri?
Tentunya hal ini menjadi polemik tersendiri di negara tersebut, hal ini membuat negara Myanmar sedang dalam masa yang sulit apalagi di tengah pandemi.
Kabar ini tentu sampai ke penjuru dunia dilansir dari cnbc Indonesia , berita penangkapan Suu Kyi menyebar dengan cepat di kamp pengungsian yang padat di Bangladesh tempat tinggal sekitar satu juta pengungsi Rohingya.
Para pengungsi merasa senang karena selama ini Suu Kyi dianggap penyebab dari penderitaan mereka pada saat masih menempati wilayah Negara Bagian Rakhine di Myanmar Barat. Beberapa orang Rohingya juga mengadakan doa khusus untuk menyambut apa yang mereka sebut "keadilan".
Hal yang bertentangan dengan kecaman yang banyak diberikan banyak pemimpin dunia kepada penggulinga kekuasaan pemenang hadiah Nobel perdamaian itu.
Suu Kyi yang adalah pemimpin de facto negara pada saat itu, membela militer Myanmar pada sidang Pengadilan Kriminal Internasional pada 2019 atas kekejaman terhadap Rohingya termasuk pemerkosaan dan pembunuhan.
Tentu penangkapan Suu Kyi yang notabene adalah pemimpin Myanmar yang dahulunya yang mengusir muslim Rohingya dari tanah kelahirannya membuat mereka semua tersenyum.
Hal ini terlihat dari beberapa media yang mengabarkan bahwa muslim myanmar yang sedang mengungsi ini mensyukuri lengsernya Suu Kyi.
Gejolak militer di Myanmar adalah sebuah anomali dan sebuah karma, memang di dalam Islam tentu tidak ada istilah karma akan tetapi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh penguasa Myanmar terdahulu membuat negara ini sedang kacau.
Penulis berani mengatakan bahwa ini merupakan karma bagi negara itu sendiri. Myanmar entah kenapa buta terhadap yang dinamakan prikemanausian.
Kudeta ini tentu menjadi berkah tersendiri bagi muslim Rohingya, dengan kekuasaan berada di tangan militer akan membuat hal ini menjadi harapan baru bagi pengungsi Rohingya untuk kembali ke tanah asalnya.
Tetapi hal ini belum tentu juga terjadi karena hal ini seakan-akan dilupakan untuk sekarang. Militer Myanmar sedang berperang melawan rakyatnya sendiri. Perdamaian selalu menjadi garda terdepan untuk menyelesaikan kisruh yang terjadi dim Myanmar.
Menurut penulis seperti kata pepatah "siapa yang menabur api dia akan terbakar" begitu yang terjadi terhadap Suu Kyi sekarang. Mengapa dulu dia mengabaikan muslim Rohingya sekarang berada di rumah mewah.
Tetapi militer ini belum tentu juga memihak terhadap Rohingya karena dahulunya, kenapa dia tidak membela Rohingya.
Menurut penulis juga kisruh Myanmar ini adalah sebuah peringatan dari tuhan untuk selalu menjaga keberagaman yang ada baik di Myanmar maupun di Indonesia.
Myanmar perlu belajar kepada Indonesia bahwa yang berbeda bisa disatukan bukan diusir dari kampung halamannya.
*Penulis adalah Abdul Jamil Al Rasyid, Mahasiswa Sastra Minangkabau FIB Unand angkatan 2019 berdomisili di Padang Pariaman Santri Pondok Pesantren Madinatul Ilmi Nurul Ikhlas Patamuan Tandikek
« Prev Post
Next Post »