Mangaji Ya Akrama Sebuah Tradisi Upacara Peringatan Kematian Jenazah di Padang Pariaman

Mangaji Ya Akrama Sebuah Tradisi Upacara Peringatan Kematian Jenazah di Padang Pariaman
PADANG Pariaman merupakan salah satu kabupaten yang ada di Sumatera Barat. Ibukota dari Kabupaten Padang Pariaman sendiri sekarang adalah Parit Malintang, dahulu Ibukota dari Kabupaten ini adalah Kota Pariaman sekarang namun mekar pada tahun 2004. Padang Pariaman adalah sebuah kabupaten di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Dilansir dari Langgam Id tentang profil Padang Pariaman, Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.328,79 km² dan Penduduk kabupaten ini berjumlah 413.272 jiwa (2018), terdiri dari 203.602 laki-laki dan 209.670 perempuan. Serta, 93.903 rumah tangga. . Kabupaten ini bermotto "Saiyo Sakato".Kabupaten ini terletak pada koordinat 0.19’15”-0.48’59” Lintang Selatan dan 99.57’43”-100.27’94″ Bujur Timur. Kabupaten ini terdiri dari 17 Kecamatan.


Padang Pariaman juga memiliki tradisi-tradisi unik yang berkembang dalam masyarakat hingga sekarang. Salah satu tradisi yang masih eksis yaitu mangaji Ya Akrama, mangaji ini tentu berkaitan dengan upacara kematian, jadi mangaji ini adalah mangaji yang dilaksanakan ketika salah seorang warga masyarakat meninggal maka diadakan pengajian. Mangaji Ya akrama terdiri atas bacaan-bacaan Al Qur'an, Tahlil, Salawat nabi, Asmaul husna dan Doa-doa yang ditujukan kepada jenazah. Mangaji Ya Akrama tidak satu hari saja melainkan duo hari, manigo hari, manujuah hari, manduo kali tujuah, ma ampek puluah sampai terakhir maratuih hari. Mangaji Ya Akrama ini merupakan sebuah upacara peringatan kematian yang diiriingi dengan doa, dan tidak lupa juga Tabie dan Tirai sebagai lambang dari adat Minangkabau.


Sejarah mangaji Ya Akrama


Penulis karena berada di Pondok Pesantren tentu menanyakan sejarah bagaimana mangaji Ya Akrama  ini bisa diterima ditengah masyarakat kepada  pimpinan Pondok Pesantren Penulis bernaung n. Semua orang tahu bahwa Padang Pariaman merupakan asal muasal perkembangan Islam di Minangkabau tentu yang membawa pertama kali adalah Syekh Burhanudin dengan kepiawaiannya menyebarkan agama Islam dan ajaran Islam ini di akulturasikan dengan kebiasaan masyarakat. Dahulu nya masyarakat Padang Pariaman setelah meninggal ada sebuah nyanyian seperti di bawah ini:


Cubadak ditanah taban

 Simantuang di Tanjuang Mutuih

Tampek bapijak nan alah taban

Tampek bagantuang nan alah putuih

Baa ka den ko lai?

Baa ka den ko lai?


Itu adalah sebuah nyanyian lagu sebelum masyarakat mengenal Islam, Setelah mengenal Islam yang dibawa oleh Syekh Burhanudin maka nyanyian ini tetap ada tapi diubah liriknya dengan ayat-ayat Al Qur'an seperti dibawah ini


Tarayalai latuk salafat lanal mukzim zatil alulamin

Yauzuzaman waiza kumu akufuzu liwannadami

Nuan min nuan nusa hidahum walaufitariki zulumain

Lailahailallah hula ilahailallah

Lailahailallah hula ilahailallah

Lailahailallah hula ilahailallah


Sama seperti lagi diatas nada dan cara menyanyikannya tapi Syekh Burhanudin dengan piawai memasukan ayat Al Qur'an tetapi boleh dinyanyikan seperti lagu diatas. Itu adalah jenis akulturasi antara islam dengan budaya Minangkabau sebelum mengenal islam.


Labai


Tentu kita bertanya siapa yang melakukan kajian,? jawaban nya tentu Labai, Labai sendiri adalah orang yang bisa membacakan ayat-ayat Ya Akrama, Labai sendiri adalah orang yang diangkat oleh kaum/suku yang disepekati bersama. Tentu syarat menjadi seorang Labai tidak mudah ada tahapan-tahapan tertentu untuk menjadi seorang Labai, yang pertama tentu pandai membaca ayat Ya Akrama, kedua yaitu sikap/tingkah laku yang saulah, ketiga berada di usia yang sudah matang. 


Tentu menjadi seorang Labai tidaklah mudah, tentu beban berat yang dipikul akan membawa kita ke arah mana kepemimpinan seorang Labai karena Labai sendiri adalah orang yang ditingikan seranting dan didahulukan selangkah ketika ada prosesi pengajian Ya Akrama. Labai ini memimpin orang yang berada di bawahnya, tentu kita bertanya siapa orang tersebut? Jawabannya adalah Urang Siak, Urang Siak disini dalam artian Urang Siak yang bisa melafalkan ayat-ayat Ya Akrama. Biasanya Urang Siak ini terdiri dari anak muda yang sudah baligh dan berakal. Darimana dia belajar? Anak muda ini belajar bersama Labai karena Labai ini tau dia butuh pewaris untuk melanjutkan tradisi agar tidak punah. Anak-anak ini disetiap kampung selalu ada misalnya Saja di tempat penulis selalu ada anak-anak yang ingin belajar Ya Akrama untuk melanjutkan tonggak tradisi agar tidak punah.


Pelaksanaan tradisi


Selanjutnya yaitu bagaimana pelaksanaan dari tradisi ini? Tradisi tentu dilaksanakan pada setiap orang yang sudah meninggal, Labai beserta Urang Siak datang kerumah si jenazah pada saat si jenazah sudah dikuburkan maka Labai ini akan mengimbau Tuanku untuk dijadikan orang yang bisa membawakan tahlil, tentu Tuanku yang berwenang menahlilkan si jenazah dan Labai mengikutinya. Tahlil ini membaca Kalimat Lailhalilallah secara berulang dengan batu dan basabah( alat yang digunakan untuk tahlil).


Setelah Tahlil selesai baru Labai membacakan ayat Al Qur’an. Sebelum dibacakan ayat Al Qur'an, diadakan makan bajamba bersama keluarga. Setelah itu baru mulai membacakan ayat Al Quran yang dinyanyikan sesuai dengan nyanyian yang iramnya sesuai dengan nyanyian diatas. Setelah selesai Labai sendiri menunggu tuan rumah memberikan sedekah kepada Labai dan Urang siak, sedekah ini tidak ditetapkan tarifnya tetapi ala kadarnya dari tuan rumah beserta Lamang sebeagai simbol makanan budaya yang diberikan kepada Labai dan Urang Siak. Lamang ini sebagai bingkisan yang dikasih ke Labai setelah selesai membacakan Ya Akrama.


Begitu pelaksanaan tradisi memperingati upacara kematian di Padang Pariaman. Harapan dari penulis kedepan supaya tradisi ini masih bisa dilaksanakan secara turun temurun, serta anak muda di kampung mau belajar Ya Akrama seperti saat ini. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penulis berharap sangat tradisi ini tentunya tidak punah melainkan masih ada hingga nanti kelak anak cucu kita menikmatinya. Upacara kematian tentu di setiap daerah berbeda pelaksanaan dan tata caranya tapi tujuan tetap satu kita harus menghargai perbedaan menurut keyakinan masing-masing dan tidak memecah belah mengatakan ini itu . Pahami dulu apa itu, bermaknakah itu bagi masyarakat, apakah mau masyarakat menghilangkan sebuah tradisi. 


*Penulis adalah Abdul Jamil Al Rasyid  mahasiswa Sastra Minangkabau FIB Unand angkatan 2019 berdomisili di Padang Pariaman Santri Pondok Pesantren Madinatul Ilmi Nurul Ikhlas  Patamuan Tandikek

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »