Akan Dibawa Kemanakah Arah Industri Penggilingan Padi oleh Pemerintah?

Industri Penggilingan Padi (PP) berkembang pesat pada awal revolusi hijau, akhir 1960-an, seiring meningkatnya produksi padi yang cukup tinggi.
INDUSTRI Penggilingan Padi (PP) berkembang pesat pada awal revolusi hijau, akhir 1960-an, seiring meningkatnya produksi padi yang cukup tinggi. Sejak itulah, kelebihan produksi tersebut tidak mempu lagi diolah menjadi beras dengan alat tumbuk tradisional, alu/lesung. Pada saat yang sama, petani semula sebagai petani subsistem beralih menjadi petani surplus, yang kelebihan hasil padi tersebut dijual ke pasar (marketable surplus).


Pada saat itulah, pemerintah memperkenalkan PP Kecil/Sederhana (PPK/S), seperti Engelberg, rubber role huller, rice milling unit (RMU). Berbagai program dirancang pemerintah untuk memperluas penggunaan PPK/S, seperti kredit, dan Bulog ditugaskan membeli beras hasil giling PPK/S milik KUD.


Beras hasil giling dari PPK/S tentu lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan beras   hasil tumbuk, karena butir patah lebih sedikit, rendemen giling dan derajat sosoh lebih tinggi. Konsumen beras tentu lebih menyenangi beras putih hasil giling daripada beras hasil tumbuk.


Hingga sekarang, mencapai masa 60 tahun, industri PP masih didominasi oleh PPK/S. Jumlah PPK/S mencapai 94% dari total 182 ribu unit PP yang ada di tanah air. Diperkirakan PPK/S mengambil pangsa sekitar 80% dari kapasitas giling total PP.  Pemerintah masih terus mendukung bertambahnya jumlah PPK dengan berbagai programnya, hingga sekarang. Padahal, kapasitas terpasang PP telah jauh melebihi ketersediaan bahan baku gabah.


Pada saat yang sama, kerugian ekonomi nasional tinggi, terutama berasal dari tahap pengeringan dan penggilingan, rendemen giling dan kualitas beras. Biaya pemasaran beras Indonesia relatif lebih tinggi dari Filipina, Vietnam, atau Thailand. Biaya pemasaran beras di Indonesia tinggi, terutama berasal dari proses pengeringan, penggilingan, transportasi serta biaya modal  kerja. Dampaknya adalah biaya produksi beras di Indonesia tinggi dan harga beras mahal.


Hanya Penggilingan Padi skala Besar - PPB lah yang mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Namun, akhir-akhir ini, pemerintah malah mencurigai aktifitas bisnis PPB, dianggap sebagai biang instabilitas harga beras. Ruang gerak PPB sangat “dihambat dan dibatasi”. Padahal, jumlah PPB hanya 1% (sekitar 2.000 unit PP). PPB inilah yang sesungguhnya mampu melayani preferensi konsumen beras yang telah banyak dan terus berubah.


Melihat pesatnya perubahan preferensi konsumen beras serta berlakunya pasar tunggal ASEAN, maka industri PP sedang berada di persimpangan jalan. Apakah Indonesia akan tetap mempertahankan dominasi PPK/S dengan berbagai konsekwensi ekonominya dan mengabaikan perubahan preferensi konsumen?   Apakah campur tanggan pemerintah pada industri PP akhir-akhir ini  tetap dipertahankan, terutama kebijakan HET yang telah memasung industri PP dan konsumen mampu, ketentuan komponen kualitas beras dan label.


Atau Indonesia perlu menempuh jalan lain, yaitu industri PP agar diperkuat, dengan  mendorong PPB/PP modern berkembang dan berinovasi untuk memenuhi preferensi konsumen yang terus berubah, serta menguatkan daya saing dari ancaman pasar tunggal ASEAN.


Sinergitas PPB/PP modern dengan PPK/S haruslah dibuat, sehingga mengurangi persaingan di pasar gabah, mendorong berkembangnya pasar beras PK (Pecah Kulit), serta mengurangi peran pasar beras asalan.


Oleh karena itu, buku ini menawarkan jalan baru yang perlu ditempuh di masa mendatang, agar industri PP kuat, serta didukung oleh industri hilir yang juga semakin kuat. Buku ini menawarkan jalan keluar dari perangkap ketertinggalan dengan mensinergikan PPK dengan PPB. Dalam kaitan dengan itulah, maka buku ini ditulis untuk mengisi kekurangan informasi tentang industri PP, terutama yang terkait dengan ekonomi makro dan kebijakan perberasan nasional.


Publikasi yang beredar sebagian membahas aspek teknis, sebagian hasil riset studi kasus, yang belum diangkat pada kerangka makro dalam memahami industri PP itu sendiri. Oleh karena itu, buku ini ditulis secara konprehensif guna membahas tentang industri PP yang mengaitkannya dengan ekonomi makro, analisis kebijakan tentang industri PP, merangkum hasil-hasil penelitian studi kasus, serta diperkuat dengan analisa teknis.


Buku ini ditulis oleh dua penulis yaitu: ‘M. Husein Sawit’ dan ‘Burhanuddin’ yang berbeda disiplin keilmuan, serta pengalaman kerja. Penulis pertama adalah profesor riset yang banyak mendalami berbagai kebijakan beras, aktifitas publik Perum Bulog yang terkait dengan pengadaan dan penyaluran beras, serta industri PP dipotret dari aspek ekonomi makro.


Sedangkan penulis kedua, banyak berkiprah pada aspek teknis, pernah menjadi birokrat, punya rekam jejak panjang dalam memahami perubahan kebijakan industri PP, dan sangat paham dengan pola usaha PP. 


Oleh:  H. Ali Akbar

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »