Merubah Paradigma ‘Petani Konvensional’ menjadi ‘Petani Digital’ (Bagian ke-4: HABIS)

Merubah Paradigma ‘Petani Konvensional’ menjadi ‘Petani Digital’ (Bagian ke-4: HABIS)
DITULIS OLEH: HAJI ALI AKBAR


‘Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang’, demikian ungkapan sehari-hari yang tak asing didengar oleh telinga.


Hidup di desa tak seindah yang saya bayangkan. Terkait dengan perilaku dan kebiasaan masyarakat di desa, penyebab utama yang membuat masyarakat di desa tetap miskin dan tidak maju adalah pola fikir – mindset yang terkebelakang. Namun, jika disebut terkebelakang, mereka akan marah dan bahkan mengucilkan kita dalam pergaulan sehari-hari.


Melihat seseorang berhasil dalam usahanya, dia yang sakit jantung. Melihat seseorang terjatuh dan bangkrut atau mengalami musibah, dia punya hati akan mengembang dan senang.


Ungkapan lain yang tak kalah hebatnya, ‘Didahulukan inyo menyipak, dikudiankan inyo mananduak’. Arti lepas dari ungkapan Minang ini adalah ibarat seseorang yang diberi kekuasaan, dia akan menekan dan bahkan menindas orang yang dia pimpin. Jika dia tidak diberi kekuasaan, maka dia akan ‘menungkai’ atau mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang yang memimpin.


Maha Benar Allah dalam firman-Nya bahwa, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan kederajat yang Tinggi”. (Q.S. Al Mujadalah (58): ayat 11).


Makna yang terkandung di dalam kitab suci Al Qur’an tadi hendaknya memberikan dorongan dan kekuatan spiritual kepada setiap insan bahwa tujuan penting dalam menuntut ilmu adalah untuk menghilangkan kebodohan. Kebodohan itu identik dengan kemiskinan, sehingga sampai kepada sebuah hadits Rasulullah SAW bahwa ‘kemiskinan itu dekat kepada kekufuran’.


Angka rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2018 adalah Rp401.220 per kapita per bulan. BPS menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, yang diukur dari pengeluaran. Artinya, orang yang pengeluarannya di bawah angka rata-rata garis kemiskinan termasuk warga miskin.


"Garis kemiskinan Rp401.000 per bulan memang masih terlalu rendah, perlu dievaluasi lagi," kata peneliti di Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira (2018).


Dia menjelaskan bahwa angka ini adalah pengeluaran per orang. Jadi, dalam keluarga yang terdiri atas empat orang misalnya, mereka dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp1,6 juta per bulan.


Begini, cara-cara bertani yang lama itu bukannya tidak baik. Toh, selama ini masyarakat tani yang ada di pedesaan tetap saja hidup. Ya, kehidupan ini tetap dan akan terus berjalan. Namun, evaluasi diri dan perenungan kiranya menjadi hal yang mutlak dilakukan, agar perjalanan hidup yang ditempuh mengarah kepada hidup yang lebih baik, bahagia, makmur dan sejahtera.


Merubah paradigma lama kepada paradigma baru dalam ‘cara bertani’ hendaklah dijadikan sebagai ‘tekad’ dan ‘kemauan’. Peluang dan kesempatan untuk kemajuan itu sudah ada di depan mata, dan janganlah disia-siakan. Jangan pernah lagi menyalahkan keadaan alam dan lingkungan, dimana Tuhan telah menghamparkan alam beserta isinya yang berlimpah.


‘Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?’, demikian Tuhan memberi penekanan kepada umat yang selalu mengeluh dan menyalahkan keadaan alam beserta isinya yang telah dihamparkan untuk peningkatan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat di desa.


Kepada teman-teman petani dimana saja berada, mari kita olah dan manfaatkan potensi alam yang berlimpah ini guna sebesar-besar kemanfaatan dan kesejahteraan kita. Tinggalkan ‘cara bertani konvensional’ menuju kepada ‘cara bertani digital’. Paradigma lama yang membuat masyarakat tani di desa menjadi miskin harus dirubah menuju paradigma baru yang akan memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan petani.


Petani Bangkit!  Petani Go Digital!  - (HABIS). *)


*Penulis Tinggal di Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »