Sosok Naftali Bennett, Calon PM Israel yang Sebut Tak Ada Negara Palestina

Sosok Naftali Bennett, Calon PM Israel yang Sebut Tak Ada Negara Palestina
BENTENGSUMBAR.COM - Naftali Bennett telah lama memendam ambisi menjadi perdana menteri Israel. 


Namun tak disangka kesempatan itu akhirnya datang walau partai bentukannya, Yamina, hanya memenangi tujuh kursi dalam pemilihan umum lalu.


Bennet muncul sebagai calon kuat perdana menteri setelah menerima tawaran berkoalisi dengan tokoh oposisi, Yair Lapid, sekaligus mendepak Benjamin Netanyahu dari kekuasaan selama 12 tahun.


Padahal, pria berusia 49 tahun itu dulu sempat digadang-gadang sebagai murid didikan Netanyahu. Bahkan, Bennett pernah menjadi kepala staf Netanyahu pada 2006 sampai 2008 sampai hubungan keduanya retak.


Bennett meninggalkan Partai Likud pimpinan Netanyahu dan bergabung dengan partai sayap kanan Rumah Yahudi. Bersama partai keagamaan itu, dia menjadi anggota parlemen setelah sukses dalam pemilu 2013.


Bennet lantas menjabat sebagai menteri ekonomi dan menteri pendidikan dalam setiap pemerintahan koalisi sampai 2019, ketika aliansi Kanan Baru bentukannya gagal meraih kursi dalam pemilihan tahun itu.


Namun, selang 11 bulan kemudian, Bennett mampu kembali ke parlemen sebagai ketua Partai Yamina. Dalam bahasa Ibrani, Yamina berarti 'arah kanan'.


Karier politik Bennet dimulai setelah namanya terangkat melalui dinas kemiliteran dan dunia usaha. Pensiun sebagai anggota pasukan khusus Angkatan Darat Israel, Bennet berbisnis dengan menciptakan dan menjual perusahaan hi-tech. Usaha ini membuat dirinya berstatus miliarder.


Di dunia politik, Bennett kerap dicap ultra-nasionalis. Bahkan, dia menyebut dirinya lebih berhaluan kanan ketimbang Netanyahu.


"Tidak pernah ada negara Palestina"


Pandangannya tercermin pada suaranya yang gencar membela Israel sebagai negara bangsa Yahudi serta klaim sejarah dan keagamaan Yahudi terhadap Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan Suriahwilayah-wilayah yang diduduki Israel sejak Perang Timur Tengah 1967.


Dia pernah menyebut Tepi Barat tidak berada dalam pendudukan Israel karena "tidak pernah ada negara Palestina di sini".


Adapun konflik Israel-Palestina, menurutnya, tidak bisa diselesaikan tapi harus dilanggengkan.


Bagaimana rasanya hidup di Jalur Gaza? Siapa Hamas dan bagaimana kiprahnya?


Sejak lama Bennett mengadvokasi hak permukiman Yahudi di Tepi Barat (dia pernah menjadi ketua Dewan Yesha, kelompok perwakilan politik untuk pemukim Yahudi), meskipun dia mengatakan Israel tidak punya klaim atas Gaza (ketika Israel menarik pasukan dan pemukim pada 2005).


Lebih dari 600.000 orang Yahudi menetap di 140 permukiman di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, yang dianggap ilegal oleh hampir seluruh komunitas internasional, namun dibantah Israel.


Keberadaan permukiman-permukiman ini adalah topik paling panas antara Israel dan Palestina. Israel berkeras membelanya, sedangkan Palestina ingin agar semua permukiman ditiadakan serta negara yang merdeka di Tepi Barat dan Gaza dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota.


Mencampuri urusan permukiman, apalagi menghentikan aktivitas permukiman, dianggap Bennett mencari ribut. Bahkan, oleh Bennet, Netanyahu tidak bisa dipercaya dalam menangani urusan ini.


Karena dia lancar berbahasa Inggris (mengingat orang tuanya lahir di Amerika Serikat) serta piawai dalam urusan media, Bennett kerap tampil di jaringan televisi asing guna membela aksi-aksi Israel.


Pernah suatu kali dia berdebat dengan seorang anggota parlemen Israel keturunan Arab yang menentang permukiman Israel di Tepi Barat. Saat itu dia mengatakan: "Ketika Anda masih berayun di pohon-pohon, kami sudah punya negara Israel di sini."


Bennett menolak gagasan pendirian negara Palestina yang berdampingan dengan Israel atau kerap disebut 'solusi dua negara' untuk mengatasi konflik Israel-Palestina yang diadvokasi komunitas internasional, termasuk Presiden Amerika Serikat, Joe Biden.


"Selama saya punya kekuasaan dan kendali, saya tidak akan menyerahkan tanah Israel satu sentimeter pun. Titik," cetusnya dalam wawancara pada Februari 2021.


Bersamaan dengan sikap itu, Bennett ingin menguatkan kekuasaan Israel di Tepi Barat, wilayah yang dia rujuk dengan nama Yudea dan Samaria dengan menganeksasi sebagian besar kawasan tersebut.


Bennett juga berpandangan keras saat berurusan dengan ancaman dari kelompok Palestina.


Pada 2013 dia mengatakan orang Palestina "teroris seharusnya dibunuh, bukan dibebaskan".


Padahal hukuman mati tidak diterapkan di Israel, kecuali saat mengeksekusi Adolf Eichmann, perancang Holokos yang divonis bersalah pada 1961 dan digantung setahun berikutnya.


Dia menolak gencatan senjata dengan para pemimpin Hamas di Gaza, yang justru membuat pertikaian bereskalasi pada 2018. Dia juga menuding kelompok Hamas membunuh puluhan warga Palestina sendiri, yang tewas akibat serangan udara Israel guna merespons tembakan roket dari Gaza saat pertikaian pada Mei 2021.


Slogan-slogan mengenai rasa bangga sebagai orang Yahudi dan kemandirian bangsa adalah jargon yang kerap disuarakan Bennet.


Pria yang memakai kippah, atribut agama Yahudi di bagian kepala kaum pria ini memarodikan surat kabar New York Times dan harian sayap kiri Israel, Haaretz, karena kedua media itu mengkritik tindakan-tindakan Israel.


Dalam sebuah video di media sosial, dia menyamar sebagai seorang hipster dan berulang kali mengucapkan "maaf". Adegan selanjutnya, dia mengungkap penyamarannya dan berkata: "Mulai hari ini kita berhenti meminta maaf".


Source: detikcom

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »