Kesetaraan Gender Jadi Modal Utama Pemulihan Ekonomi Pasca-Pandemi Covid-19

BENTENGSUMBAR.COM - Kesetaraan gender di lingkungan kerja masih jauh dari harapan. Pandemi Covid-19 pun menambah beban kaum perempuan yang memang sangat terdampak secara ekonomi. 

Stereotip yang melekat pada perempuan, ditambah dengan peran ganda yang semakin memberatkan selama pandemi membuat ketimpangan gender semakin meningkat.

Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dalam sebuah forum internasional, bahwa terjadi penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan akibat pandemi.

Menurutnya, dampak yang lebih besar terjadi kepada perempuan karena pandemi menghantam sektor ekonomi seperti pariwisata, akomodasi, hotel dan pekerja rumahan yang mayoritas dijalankan oleh perempuan. 

Merujuk laporan ADB-UN Women's High Level Roundtable 2020, sekitar 54% dari 75 juta pekerja di restoran dan industri akomodasi merupakan kaum perempuan. Karenanya, Menkeu menilai perempuan menjadi yang paling terdampak dari pandemi Covid-19. 

Tak hanya itu, Sri Mulyani melihat ketimpangan turut terjadi dari sisi jam kerja. Perempuan kehilangan sekitar 50% jam kerjanya karena dampak pandemi, sedangkan laki-laki hanya kehilangan 35% jam kerja. 

Hal tersebut, lanjut dia, menyebabkan implikasi yang asimetris dari dampak Covid-19 khususnya di sektor-sektor formal di Asia.

Adapun pendapatan perempuan di tingkat global juga ikut berkurang hingga 60% di masa awal pandemi. Apalagi, sebanyak 40% pekerja perempuan di tingkat global merupakan pekerja sektor sosial dan layanan kesehatan yang rentan kehilangan pekerjaan maupun terpapar virus. 

Di Indonesia sendiri, Sri Mulyani mendapati bahwa  tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan juga mengalami tren penurunan. Pada 2020 partisipasi kerja perempuan sedikit menurun dibandingkan tahun 2019, dari 55,5% menjadi 54,56%. Sementara tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki justru meningkat.

Indonesia juga masih mengalami ketimpangan gender. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Februari 2020, upah pekerja perempuan lebih rendah 23% dibandingkan upah laki-laki. 

Lebih dari itu, perempuan yang bekerja sebagai pekerja profesional pun jumlahnya masih kurang dari 15%. Bahkan di tingkat manajer hanya diisi oleh sekitar 30% perempuan.

Angka tersebut berdasarkan survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada Juli 2020 yang menemukan bahwa perempuan pekerja di Indonesia menerima upah 23% lebih rendah dari laki-laki. 

Survei sama juga mengungkapkan, tidak sampai 50% perempuan bekerja sebagai profesional dan hanya 30% dari mereka yang mencapai posisi manajer.

Artinya, menurut Menkeu, lingkungan kerja di Indonesia masih menempatkan perempuan sebagai minoritas dan mereka menghadapi tantangan yang jauh lebih besar untuk bekerja di sektor-sektor yang sama dengan laki-laki.

Pentingnya kepemimpinan perempuan

Sementara itu, pendapat senada disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam Women Lead Forum 2021. Jika melihat kurva pergerakan jumlah perempuan bekerja dari tahun ke tahun, peningkatan sebenarnya terjadi.

Selama dua dekade ke belakang, jumlah perempuan bekerja mengalami peningkatan, meskipun angka ini sempat stagnan beberapa tahun ke belakang. Akan tetapi, kemajuan tetap ada dan diharapkan terus terjadi.

Yang menjadi masalah kini, meskipun jumlah perempuan pekerja terus bertambah, perempuan sering terhambat dalam membangun karier karena berbagai masalah yang unik pada gendernya, dari beban ganda, stereotype dan seksisme di dalam masyarakat, diskriminasi berbasis gender, hingga pelecehan seksual.

Ida Fauziyah menyampaikan bahwa partisipasi perempuan dalam dunia kerja di Indonesia meningkat. Namun hal ini tidak secara otomatis mampu menciptakan kesetaraan gender.

Menurutnya, pandemi memberikan beban tambahan bagi perempuan, dari hilangnya pekerjaan atau pendapatan, meningkatnya beban pengurusan rumah tangga akibat work from home dan school from home. Bahkan, kekerasan dalam rumah tangga oleh pasangan meningkat seperti yang ditemukan dalam studi tingkat global.

Saat ini, dia berujar, pemerintah terus mendorong gerakan non-diskriminasi di tempat kerja mengingat masih banyaknya kasus-kasus semacam itu terutama di tengah pandemi.

Ida menilai, laki-laki dan perempuan sebenarnya setara, namun permasalahan kesetaraan gender memang tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi. Ada aspek budaya yang menghambat kesetaraan tersebut, sehingga dibutuhkan sinergi untuk mewujudkan kesetaraan.

Dia pun tak memungkiri bahwa dalam persoalan kepemimpinan perempuan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Contohnya, dari 4,1 juta Aparatur Sipil Negara (ASN), sebanyak 52% adalah perempuan.

Namun demikian, perempuan yang menduduki jabatan struktural justru relatif sedikit. Ida mengungkapkan, di jabatan tinggi madya, hanya ada 96 orang perempuan, jauh lebih sedikit dari laki-laki yang berjumlah 483 orang. Padahal, kepemimpinan sangat penting demi mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi. 

Deputy Head of Mission dari Kedutaan Besar Australia, H. E. Allaster Cox, menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan merupakan salah satu pendorong utama kesetaraan gender dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam upaya pemulihan ekonomi suatu negara.

Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender tak hanya membawa manfaat bagi kaum perempuan semata, tetapi juga semua kalangan masyarakat. Oleh karena itu, perubahan pola pikir dan budaya yang lebih menuju kesetaraan gender mutlak dibutuhkan demi mencapai kesejahteraan bangsa.

Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »