Menggali Akar Permasalahan Diskriminasi Gender di Lingkungan Kerja

DISKRIMINASI gender di lingkungan kerja masih terjadi. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan gaji perempuan yang cenderung lebih rendah dari laki-laki, serta kesempatan perempuan memperoleh pekerjaan dan promosi. Namun, kenapa hal ini bisa terjadi?

Pertama, mari kita berbicara tentang bentuk diskriminasi gender yang masih terjadi di banyak perusahaan. Tak hanya di Indonesia, perbedaan antara gaji perempuan dan laki-laki juga terjadi di negara-negara maju, bahkan di perusahaan raksasa.

Baru-baru ini, misalnya, Google dituntut oleh sekitar 10.800 karyawan perempuannya akibat diskriminasi gender. Google kalah gugatan class action, di pengadilan yang menyatakan bahwa Google melakukan diskriminasi terhadap pekerja kalangan perempuan.

Sebelumnya, Google dituduh membayar gaji lebih rendah untuk karyawan perempuan. Padahal, karyawan lelaki dan perempuan masing-masing memiliki porsi kerja yang sama.

Lalu bagaimana dengan perusahaan di Indonesia? 

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Perekonomian 2019 mencatat, kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan semakin lebar. Upah untuk pekerja laki-laki lebih tinggi daripada perempuan selama periode 2015 sampai Februari 2019 yang selisihnya mencapai Rp492.200. 

Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, tenaga kerja saat ini didominasi oleh kaum laki-laki. Hanya 53% perempuan usia kerja yang masuk sektor formal. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria sebanyak 83%. 

Sri Mulyani juga memaparkan, sebesar 55% perempuan bekerja di sektor informal dan Usaha Kecil Mikro (UKM). Tak hanya jumlah partisipasi kerjanya, jumlah gaji yang diterima oleh perempuan dan laki-laki juga berbeda.

Perbedaan gaji antara perempuan dan laki-laki mencapai 23%. Artinya, lanjut Menkeu, perempuan menerima gaji 23% lebih rendah daripada laki-laki.

Akar permasalahan

Laporan BPS sebenarnya sudah menyebutkan bahwa kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki merupakan isu lama akibat adanya anggapan perempuan kurang berkontribusi dalam pekerjaan. 

Selain itu, laporan BPS menyebutkan bahwa perempuan juga cenderung ditempatkan pada posisi yang bernilai rendah. Masalah ini menjadi tantangan bagi perempuan dalam dunia ketenagakerjaan untuk mendapatkan pekerjaan, pendapatan, dan posisi kepemimpinan yang setara.

Sementara itu, Sri Mulyani mengungkapkan beberapa tantangan bagi perempuan dalam berkarier di sektor formal. Di Indonesia, menurutnya, masih ada anggapan bahwa pekerjaan, terutama di sektor formal itu sebagai pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh lelaki dan tidak cocok untuk perempuan. 

Persepsi tersebut, menurut Menkeu, perlu diubah sehingga ada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan. Hambatan lain yang merupakan penghalang dalam hal ini adalah persepsi lain.

Sri Mulyani menyebutkan perempuan kerap dipertanyakan mengapa bekerja di area tertentu yang dianggap kurang cocok untuk mereka. Persepsi ini, lanjut dia, menciptakan penghalang yang tidak perlu bagi banyak perempuan di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar kerja.

Akar permasalahannya memang terletak pada stigma yang melekat di benak masyarakat secara turun temurun. Karenanya, bias dan diskriminasi masih terjadi bahkan di bawah alam sadar.

Pihak perusahaan sering kali masih terkungkung dengan stigma tersebut. Laki-laki sering kali dianggap lebih kompeten untuk bekerja oleh calon recruiter. Hal ini akan berujung pada kurangnya kesempatan bekerja untuk perempuan.

Selain itu, ada tuntutan dari masyarakat bagi perempuan untuk memilih keluarga, seakan-akan bekerja membuat perempuan tak mampu untuk mengurus keluarga. Apalagi, perempuan kerap mendapat porsi beban pekerjaan rumah tangga yang tak seimbang.

Hal tersebut membuat banyak perempuan yang memilih untuk resign dan mengurus keluarga, atau pindah dan memilih pekerjaan dengan waktu yang lebih fleksibel dengan upah yang lebih kecil.

Memang, secara kultural atau sosial, budaya patriarki masih kental di Indonesia. Perempuan dituntut untuk diam di rumah dan mengasuh anak.

Faktor itu membuat kesempatan perempuan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi menjadi terbatas. Ini pun berdampak pada aspek institusional seperti batasan tingkat pendidikan dan pengalaman kerja, yang semakin mempersulit perempuan mendapat pekerjaan layak.

Permasalahan kembali muncul ketika perempuan memutuskan kembali bekerja setelah memiliki anak dan menyusui. Apabila perempuan resign saat melahirkan dan melamar kerja kembali, kemungkinan baginya untuk dipanggil di sesi interview akan lebih kecil daripada laki-laki atau perempuan yang belum memiliki anak.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mulai mengubah sudut pandang dan mengikis budaya yang mengkerdilkan peran perempuan. Laki-laki dan perempuan seyogyanya memiliki hak dan kewajiban yang setara.

Pekerjaan rumah, termasuk mengasuh anak bukan sepenuhnya tanggung jawab ibu. Orangtua memiliki porsi sama untuk mengasuh anak karena seorang anak tentu membutuhkan sosok ibu dan ayah agar terbentuk pola asuh yang sehat.

Beban rumah tangga tak seharusnya menjadi penghalang bagi perempuan untuk mengembangkan potensinya. Perempuan bersama laki-laki perlu mambangun sikap saling menghargai dan tak mengecilkan peran satu sama lain. (Mela Asthina – Anggota Perempuan Indonesia Satu)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »