Menghadapi Pemilu 2024, Edukasi Digital Penting Agar Masyarakat Tak Terjebak Hoax

BENTENGSUMBAR.COM - Masih tiga tahun lagi, tapi gaung terkait Pemilu 2024 sudah terdengar dari sekarang. Bahkan, berbagai lembaga survei telah rutin merilis survei elektabilitas yang memetakan nama-nama kuat sebagai calon presiden dalam bursa Pilpres nanti.

Nama yang kerap keluar adalah Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Ganjar Pranowo. Yang menarik, Puan Maharani kerap muncul sebagai calon kuat satu-satunya dari kaum perempuan. Bahkan, nama Ketua DPR ini dinilai banyak pengamat politik sebagai calon yang sangat kuat dan potensial.

Meskipun dalam survei elektabilitas konvensional nama Puan belum menempati urutan teratas, sepertinya dia justru berhasil mendominasi popularitas di dunia maya. 

Berdasarkan rilis Drone Emprit, Puan Maharani masuk di urutan kedua teratas elektabilitas digital. Sungguh mengejutkan! Justru, Prabowo, Anies, dan Ridwan Kamil masuk dalam ke-8, ke-4, dan ke-6. Lagi-lagi, Puan menjadi satu-satunya kandidat perempuan.

Hasil survei elektabilitas digital tersebut memperlihatkan betapa penting suara dari dunia maya. Diprediksi, media sosial menjadi faktor penting dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti, bahkan lebih daripada pada Pemilu 2019 lalu.

Pentingnya edukasi digital

Media sosial tampaknya akan memainkan peran penting pada Pemilu 2024. Apalagi, warganet memang telah ramai membicarakannya. Namun, warganet harus selektif dalam memilah informasi.

Drone Emprit bisa menjadi salah satu acuan yang terpercaya untuk informasi digital. Tak hanya menyajikan elektabilitas digital, Drone Emprit juga mampu menyajikan peta Social Network Analysis tentang bagaimana sebuah hoax berasal, menyebar, siapa influencers pertama, dan siapa grupnya. 

Data yang dimiliki Drone Emprit berasal dari pantauan Online News, Twitter, Facebook, Instagram dan Youtube. Setiap pembicaraan di masing-masing kanal dideteksi sentimennya dengan beberapa parameter.

Oleh karena itu, publik harus selektif dalam bermedsos agar tak terjebak dalam perbincangan yang dimunculkan oleh buzzer. Pasalnya, masih banyak warganet yang terjebak narasi mereka.

The Strategic Research and Consulting (TSRC) melakukan pemetaan narasi percakapan di media sosial Twitter pada 29 Agustus hingga 4 September 2021 dengan menggunakan kata kunci ”Pemilu 2024”. 

Hasilnya, terdapat 640 percakapan yang dimunculkan oleh 1.200 akun Twitter, dengan 35% atau 420 akun di antaranya merupakan buzzer. Pemetaan itu menemukan narasi dominan mengenai penundaan pemilu akibat pandemi Covid-19 (sebanyak 19%).

Selanjutnya percakapan terbanyak kedua sebanyak 17% adalah trust issue terhadap pelaksanaan Pemilu 2024. Narasi yang dominan muncul adalah ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024. Kemudian juga ada narasi ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu serta ajakan untuk golput.

Isu ketiga sebesar 11% yakni percakapan tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Percakapan ini dominan muncul beriringan dengan isu penundaan Pemilu 2024.

Sementara isu-isu krusial yang berhubungan langsung dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 justru tidak banyak diperbincangkan warganet. Misalnya, percakapan mengenai daftar pemilih tetap (6%), pemilih dan pendidikan politik (6%), masa jabatan penyelenggara (5%), politik uang (4%), dan jadwal pemilu (3%).

Menurut Yayan Hidayat, Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting (TSRC), pemetaan percakapan di atas memperlihatkan bahwa isu-isu kontroversial berkaitan dengan penundaan Pemilu 2024 hingga isu perpanjangan masa jabatan presiden bukanlah isu yang muncul secara organik di media sosial.

“Isu-isu tersebut sengaja dimunculkan dan diamplifikasi sedemikian rupa dengan berbagai macam narasi oleh buzzer ataupun akun robot,” tulis dia, dikutip dari Kompas.id pada 22 Septembe 2021.

Dia juga menilai, tingkat ketergantungan rasionalitas publik terhadap peran buzzer ataupun influencer sangat besar seiring pesatnya perkembangan internet di Indonesia. Beberapa warganet bahkan menganggap informasi yang disampaikan buzzer adalah valid, kredibel, dan menjadi perbincangan hangat di dunia nyata.

Apalagi, lanjut Yayan, preferensi warganet Indonesia masih berkarakter bounded rationality, yakni preferensi politik yang terbentuk karena keterbatasan akses yang dimiliki untuk memperoleh informasi. 

Kondisi itu membuat pembentukan preferensi politik warganet menjadi instan dan pragmatis, lebih cepat mempercayai informasi tanpa melakukan verifikasi kebenaran terlebih dahulu.

Apalagi, jumlah pengguna media sosial pada 2024 diperkirakan mencapai angka 200 juta penduduk seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini menjadi peluang sekaligus ancaman bagi kualitas Pemilu 2024.

“Pengawasan media sosial dalam Pemilu 2024 harus dimulai dari edukasi digital dan pendidikan politik yang masif. Sebab, kesadaran politik publik adalah kunci untuk meretas ancaman hoaks, perundungan siber (cyber bullying), dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial,” kata Yayan.

Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »