Menilik Tingkat Literasi Indonesia dan Dampak Pembelajaran Daring di Hari Aksara Internasional

TANGGAL 8 September 2021 kemarin, dunia baru saja merayakan International Literacy Day atau Hari Aksara Internasional. Peringatan ini dilakukan setiap tahun dalam rangka meningkatkan kesadaran pentingnya literasi dan melek huruf di seluruh dunia.

Awalnya, Hari Aksara Internasional digagas dalam Konferensi para Menteri Pendidikan sedunia tentang Pemberantasan Buta Huruf yang diadakan di Teheran, Iran pada tahun 1965. 

Satu tahun kemudian, yakni pada 1966, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mendeklarasikan Hari Aksara Internasional jatuh pada setiap tanggal 8 September.

Saat itu, UNESCO menetapkan tujuan hari peringatan itu untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya literasi sebagai masalah martabat dan hak asasi manusia.

Untuk tahun ini, Tema Hari Aksara Internasional 2021 atau International Literacy Day 2021 adalah Literacy for a human-centred recovery: Narrowing the digital divide. Tema ini pun sejalan dengan di dalam negeri.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, (Kemendikbudristek) juga mengangkat tema Digital Literacy for Indonesia Recovery dalam peringatan Hari Aksara Internasional ke-56 2021.

Kemendikbudristek pun berharap program pendidikan keaksaraan dapat menjadi lebih adaptif terhadap perubahan yang terjadi saat ini yang terutama dipicu oleh pandemi Covid-19.

Isu yang tengah disorot khususnya berkenaan dengan pergeseran paradigma pembelajaran, kata Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Jumeri.

Tajuk tersebut sejalan dengan tema UNESCO yang berorientasi pada bagaimana literasi dapat berkontribusi dalam membangun pondasi yang kuat demi mencapai pemulihan yang berpusat pada manusia.

Pandemi Covid-19 menjadi pengingat tentang pentingnya peran literasi. Literasi dibutuhkan tiap warga untuk mengembangkan kemampuannya dalam memilih kualitas hidup. Literasi juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dan proses belajar seumur hidup.

Selain itu, tema ini juga sekaligus mengangkat pembelajaran literasi berbasis daring yang diterapkan di masa pandemi. Pasalnya, krisis Covid-19 telah mendistrupsi pembelajaran anak-anak, remaja, dan orang dewasa.

Pandemi juga secara langsung memperlebar ketidaksetaraan terhadap akses pembelajaran literasi. UNESCO melaporkan pandemi setidaknya telah mempengaruhi 773 juta generasi muda dan orang dewasa yang buta huruf.

Bahkan, upaya untuk mengalihkan pembelajaran secara daring di masa pandemi menghadapi banyak hambatan. Pasalnya, pergeseran yang terlalu cepat ke pembelajaran jarak jauh menyebabkan banyak wilayah belum siap secara infrastruktur.

Berbagai permasalahan pun muncul akibat kesenjangan digital ini, seperti konektivitas, kemampuan menggunakan teknologi, serta perbedaan dalam layanan lain semisal akses ke listrik. 

Semua hal itu menghambat pembelajaran jarak jauh sehingga banyak orang tidak memiliki akses yang cukup untuk mengikuti pembelajaran daring. Apalagi sejak sebelum pandemi pun, akses terhadap kesempatan belajar literasi memang belum merata.

Tingkat literasi Indonesia

Sebenarnya, tingkat buta huruf telah jauh lebih rendah dari tahun ke tahun. Kepala Perpusnas RI, Syarif Bando menjelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan soal tingkat melek baca Indonesia dari awal kemerdekaan hingga kini.

Syarif memaparkan bahwa di zaman kemerdekaan, hanya 2% populasi Indonesia bisa membaca, sedangkan 98% lainnya dinyatakan buta huruf. Anggaran negara yang dialokasikan untuk memberantas buta aksara pun masih minim karena tersedot kebutuhan lain.

Di masa kini, keadaan berbanding terbalik. Syarif menyatakan bahwa 96% rakyat Indonesia sudah bebas dari buta huruf. Sisanya sebanyak 4% masih mengalami buta aksara. 

Angka tersebut sejalan dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat angka melek huruf di antara warga di atas 15 tahun mengalami peningkatan, sejak  tahun 2014 (95,12%) hingga tahun 2020 (96%).

Meski demikian, pekerjaan rumah untuk meningkatkan literasi warga Indonesia masih panjang dan berliku. Pasalnya, minat baca di dalam negeri masih rendah. 

Di kawasan Asia Tenggara, kemampuan terbaik literasi membaca menurut penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2012 masih dipegang oleh Singapura yang menduduki peringkat ke-3 dengan perolehan skor 542.

Sementara itu, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dengan skor 396 dari total 65 peserta negara untuk kategori membaca. Hasil ukur membaca ini mencakup memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan. Skor rata-rata internasional yang ditetapkan oleh PISA sendiri adalah sebesar 500. 

*Penulis: Elke A, Anggota Perempuan Indonesia Satu

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »