Perempuan Kurang Minat Terjun Dalam Politik, Salah Siapa?

Perempuan Kurang Minat Terjun Dalam Politik, Salah Siapa?
BENTENGSUMBAR.COM - Partisipasi perempuan dalam politik belum menunjukkan peningkatan signifikan. Sederet persoalan ditengarai menjadi faktor penghambat, dari budaya patriarki yang masih intoleran terhadap peran perempuan, sampai minat perempuan itu sendiri yang masih rendah.


Menurut pengakuan salah satu pengurus partai, mengajak perempuan aktif di politik, lebih-lebih menjadi calon wakil rakyat, bukan persoalan mudah. Banyak aktivis perempuan, yang secara kualitas bisa diharapkan, justru enggan diajak masuk politik karena berbagai alasan.


Sebuah studi oleh Women Research Institute tahun 2014 menemukan sejumlah fakta menarik. Riset ini mengungkapkan bahwa sebenarnya sudah banyak masyarakat yang berpendapat kemampuan perempuan setara dengan laki-laki dalam hal politik.


Laporan tersebut memperlihatkan, sebanyak 62% responden setuju bahwa kemampuan perempuan sama dengan laki-laki, bahkan 8% menjawab sangat setuju. 


Hanya 24% yang menyatakan ketidaksetujuan perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam memimpin di ranah politik. Alasannya beragam, paling tinggi mereka menganggap perempuan tidak cocok menjadi pemimpin (47%) dan lainnya berpendapat agama melarang perempuan menjadi pemimpin (34%).


Akibatnya, partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah. Menurut data dari World Bank tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen.


Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat rasio keterwakilan perempuan di parlemen tertinggi pada 2019 dengan 20,52%. Belum mencapai angka minimal 30% agar mereka dapat memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.


Padahal, Femmy Eka Kartika Putri, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK, pernah menekankan tentang pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia.


Dia menyadari bahwa saat ini partisipasi perempuan Indonesia masih di bawah 30%. Padahal, peningkatan partisipasi perempuan penting agar pengambilan keputusan politik lebih akomodatif dan substansial. 


Selain itu, lanjut Femmy, partisipasi perempuan mampu menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik.


Oleh karena itu, Dr Hidayat dari Ditjen HAM Kementerian Hukum dan HAM berpendapat, pendidikan politik sangat penting agar masyarakat memiliki pengetahuan tentang politik secara umum.


Menurut Hidayat, hal itu sebaiknya dapat dilaksanakan sejak usia remaja, yakni ketika sudah memasuki usia 17 tahun atau setingkat dengan pendidikan di perguruan tinggi.


Pada usia tersebut, mereka sudah memasuki usia yang cukup untuk dapat mengikuti pemilu. Jadi, ketika Pemilu nanti diadakan, mereka dapat berpartisipasi secara aktif, baik menjadi pemilih yang cermat atau bahkan calon legislatif.


Bukan sekadar jumlah


Pengamat politik dari pusat kajian politik Universitas Indonesia, Ani Sotjipto mengatakan, representasi perempuan dalam politik bukan hanya soal jumlah, tetapi lebih penting adalah menjadi wakil dari kaumnya dalam melahirkan kebijakan yang mensejahterakan.


Dia pun mendorong perempuan yang terjun ke politik untuk menjalaninya dengan sepenuh jiwa, tidak setengah-setengah. Hal ini agar mereka bisa menghasilkan perbaikan isu-isu yang substantif.


Menurut Ani, perempuan di panggung politik, terutama di lembaga pengambilan kebijakan harus tampil beda dari kebanyakan politisi yang didominasi laki-laki. Politisi perempuan yang jumlahnya sedikit itu harus mampu menunjukkan kualitas dan kapabilitas sehingga keberadaannya memberi arti positif.


Sebaliknya, akan menjadi hal yang percuma bahkan menjadi bumerang ketika wakil perempuan tersebut tidak memiliki kinerja yang bagus.


Pemilu dan Pilkada


Jika menilik ke belakang, pada Pemilu 2019, partisipasi perempuan juga belum maksimal. Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan evaluasi untuk pelaksanaan pemilu ke depan.


Perludem memetakan, ada sejumlah faktor yang memicu minimnya partisipasi perempuan di Pemilu. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, tantangan perempuan di dalam Pemilu 2019 adalah lemahnya dukungan pendanaan.


Menurutnya, persaingan terbuka antar caleg, termasuk persaingan untuk mengumpulkan dan memanfaatkan sumber daya uang di dalam kampanye, membuat ruang persaingan perempuan dengan caleg laki-laki menjadi tidak setara.


Hal tersebut, lanjut dia, selain tidak mencerminkan nilai demokrasi, juga berakibat pada rendahnya keterwakilan perempuan. Tak hanya itu, persoalan nomor urut calon legislatif juga dinilai menjadi salah satu faktor. 


Hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukan bahwa 60 persen anggota legislatif terpilih adalah mereka yang bernomor urut 1. Artinya, nomor urut kecil masih sangat berpengaruh terhadap keterpilihan calon. 


Sementara di Pemilu 2019, Titi menemukan bahwa perempuan yang menjadi calon anggota legislatif lebih banyak tersebar di nomor urut 3,5, dan 6.


Begitupun pada Pilkada 2020, partisipasi dan tingkat keterpilihan perempuan juga masih belum meningkat. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat 159 kandidat perempuan atau 11% dari total 1.432 yang lolos verifikasi pada Pilkada 2020. 


Rinciannya, 5 orang mencalonkan di tingkat provinsi, 26 orang di tingkat kota, dan 128 orang di tingkat kabupaten untuk seluruh posisi. Tingkat partisipasi ini hanya naik tipis dari tiga Pilkada sebelumnya. 


Pada 2018 tercatat sebanyak 94 kandidat perempuan di seluruh jenjang dan posisi atau 8,2% dari total 1.140 calon. Lalu, pada 2017 hanya 45 atau 7,3% dari total 620 calon. Sedangkan pada 2015 sebanyak 123 atau 7,5% dari total 1.646 kandidat.


Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »