Suara Lantang Puan Maharani Soal Aturan Penyatuan NPWP dan KTP

BENTENGSUMBAR.COM - Keputusan pemerintah untuk menambahkan fungsi NIK menjadi pengganti NPWP menuai kekhawatiran di tengah masyarakat. Sebagian orang merasa khawatir dirugikan dengan pemotongan pajak ketika penghasilannya saja masih kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sementara sebagian lainnya khawatir soal keamanan data, menimbang beberapa kali sistem keamanan pemerintah sempat ditengarai dibobol. Data pengguna pun dikabarkan tersebar dan di lelang di situs-situs gelap.

Sebagai informasi, NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dan digunakan sebagai tanda pengenal atau identitas diri wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Pada dasarnya, setiap warga negara Indonesia yang telah bekerja atau memiliki penghasilan wajib memiliki NPWP, baik itu perorangan maupun perusahaan atau investor.

Dengan adanya aturan baru tersebut, muncul kekhawatiran bahwa penduduk yang memiliki NIK dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) otomatis wajib membayar pajak, meskipun belum bekerja atau memiliki usaha sendiri.

Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, banyak masyarakat salah paham dan berasumsi dengan rencana NIK jadi NPWP ini. Tujuan dari aturan tersebut adalah agar pembayaran pajak untuk wajib pajak orang pribadi bisa lebih terpantau secara administratif.

“UU PPh itu untuk wajib pajak orang pribadi, dan sering dipelintir bahwa setiap punya NIK langsung bayar pajak. Saya ingin tegaskan dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP),” kata Menkeu.

Dia pun memberi contoh dalam UU HPP menyebutkan jika setiap orang pribadi yang berpenghasilan Rp4,5 juta per bulan, atau Rp54 juta orang pribadi belum menikah tahun, dipastikan tidak kena pungutan pajak atau disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Dia meluruskan kesalahan persepsi di mana NIK sebagai pengganti NPWP bukan berarti masyarakat usia 17 tahun ke atas yang memiliki KTP sudah harus membayar pajak.

“Penggunaan NIK tidak berarti semua WNI wajib membayar PPh, tapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak,” papar dia.

Hal tersebut berarti, apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak), atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp500 juta setahun, barulah dikenai pajak.

Keamanan data

Melalui Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru disetujui pada Rapat Paripurna DPR RI, saat ini fungsi NIK pada KTP telah ditambahkan untuk keperluan perpajakan menggantikan NPWP.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani mengingatkan soal keamanan data pribadi masyarakat terkait integrasi NIK dan NPWP tersebut. 

“Pengintegrasian NIK dengan NPWP merupakan terobosan untuk mempercepat digitalisasi di Indonesia. Tapi hal tersebut harus diikuti dengan pengamanan data milik masyarakat secara maksimal,” kata Puan di Jakarta, Rabu, 13 Oktober 2021.

Dia pun mengingatkan bahwa kerahasiaan data dan informasi NIK harus menjadi prioritas. Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, kerahasiaan data pribadi merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi negara.

“Saya kira perlu ada pengamanan berlapis dari sisi teknologi pengamanan data untuk mengurangi risiko bobolnya data pribadi masyarakat melalui informasi pajak hanya dengan menggunakan NIK,” kata Puan.

Eks Menko PMK ini juga menuntut pengawasan ketat agar tidak ada pihak-pihak tertentu yang mengakses data warga dalam proses integrasi NIK dan NPWP untuk hal-hal tak bertanggung jawab. Dia menyoroti kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) dalam proses integrasi ini.

“Dan pemerintah harus bisa memastikan agar standar keamanan informasi pajak yang terintegrasi dengan KTP sudah layak dan memenuhi standar,” tegas Puan.

Kebijakan integrasi KTP untuk kepentingan pajak disebut menambah optimisme semangat digitalisasi data di Indonesia. Oleh karenanya, Puan menilai pentingnya kehadiran UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang saat ini masih digodok DPR bersama pemerintah.

“Sehingga data pribadi masyarakat lebih terjamin keamanannya, khususnya dari kejahatan siber. Regulasi ini akan memperketat penghimpunan data, pengolahan, dan penyebaran data masyarakat,” ucap Puan.

Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, beberapa kali kebocoran data terjadi yang tentu saja merugikan pengguna. Beberapa aplikasi dan situs pemerintah rentan dibobol.

Beberapa ahli dan praktisi keamanan siber bahkan memprediksi masih ada potensi besar terjadinya kebocoran data sensitif yang disimpan di berbagai lembaga negara atau kementerian.

Menurut CEO Digital Forensic Indonesia yang juga pakar keamanan siber, Ruby Alamsyah, berdasarkan jenis instansi dan kategori data yang pernah bocor ia menilai potensi itu masih ada.

"Melihat dari jenis instansi dan kategori data yang pernah bocor, maka potensi kebocoran lain kemungkinan besar masih ada," ujar Ruby kepada CNNIndonesia.com lewat pesan teks, Selasa (7/9/2021).

Jika berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, Ruby mengatakan pengamanan data-data pribadi masyarakat masih kurang optimal. Bahkan dia menilai saat ini kecenderungan kebocoran itu semakin tinggi baik segi kuantitas maupun kualitas data.

Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »