Hubungan Karya Sastra Dengan Budaya Dalam Cerpen Pakiah Dari Pariangan Karya Gus Tf Sakai

CERPEN ini pakiah dari Pariangan terdapat banyak fakta sosial didalamnya sehingga hal ini menyebabkan pakiah ini tentu berkaitan dengan pengarang yang notabene membuat cerpen tentang kebudayaan.

Gusarnya pengarang tentang pergeseran nilai budaya yaitu ttg awalnya pakiah itu ada, hilang dan ada lagi tetapi ditukar dengan pengemis.

Didalam cerpen dikatakan bahwa pengarang tidak menjelekkan pakiah, bisa dikatakan pengarang menyebut pkiah sbg pahlawan tetapi pengarang gusar dengan adanya pengemis itu yang menjelma jadi pakiah. 

Pengemis di koordinir oleh dinas sosial dan pakiah tidak. pergesran nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi mamakiah ini membuat seseorang ini(pakiah) ini menjadi fenomena sosial.

Pakiah merupakan sebutan bagi anak muda yang belajar mengaji ilmu agama khususnya kitab kuniang (seperti yanh tertuang dalam cerpen karya Gus Tf diatas) di surau atau di pesantren kuno.

Pakiah sekarang lebih dikenal dengan sebutan santri karena memang program dipakai oleh kementerian agama untuk murid yang belajar di pesantren dipanggil dengan sebutan santri, meskipun Santri dan pakiah itu memiliki sejarah tersebut. 

Belum ditemukan siapa yang mempopulerkan sebutan anak muda yang belajar agama itu dengan sebutan pakiah. 

Tetapi banyak penulis menyebutkan atau manyandarkan sebutan pakiah itu dengan faqih dalam bahasan arab yang berarti orang yang paham agama. 

Tapi bisa diyakini bahwa sebutan pakiah itu ada kaitannya dengan sebutan faqih dalam bahasa arab tersebut.

Menariknya pakiah oleh anak muda sekaran muda yang belajar mengaji agama atau kitab kuniang di surau atau pesantren tradisional yang banyak berada di wilayah  Minangkabau khusunya Kabupatwn adang Pariaman dan sekitarnya selalu diidentikan dengan aktifitas mamakiah. 

Di Padang Pariaman banyak sekali pesantren kuno yang sekarang masih berdiri tegak.  Meskipun tidak semua pakiah itu melakukan aktifitas mamakiah. 

Sepanjang hasil bacaan dan pendengaran penulis belum didapatkan data siapa yang memulai praktek mamakiah itu dan siapa Pakiah pertama yang mamakiah. 

Tetapi sudah “ma wajadna alaihi akhana”. Dia bukan tradisi yang diwariskan, tetapi itu sudah ada saja sebelumnya.

Jadi Gus Tf saksi sebagai seorang yang hidup di tengah tengah masyarakat pada saat itu yang notabene hidup berdampingan dengan para pakiah yang sekarang masih eksis di Minangkababau karena menurutnya budaya masyarakat padaa saat itu sudah mulai luntur dab tradisi mamamakiah sudah mulai dilupakan oleh masyarakat dalam cerpennya di daerah pariangan. 

Menariknya Tradisi mamakiah masih eksis di padang pariaman biasanya setiap hari kamis dan jumat biasanya selalu ada pakiah yang meminta sedekah menurut Gusti Tf saksi dalam cerpen diatas tradisi ini tidak hanya meminta saja melainkan menguji mental dari seorang santri atau pakiah tersebut sebelum turun sebagai ustad ke masyarakat. 

Gus tf khawatir akan hilanngya budaya serta sejarah pakiah ini makanya mendorong dia membuat sebuah cerpen yang juga cukup fenomenal karena dia merupakan pengarang yang hidup dalam sosial masyarakat serta sejarah tentang pakiah itu sendiri. 

Gus tf takut budaya tersebut kedepannya tidak diketahui oleh anak cucu nya seperti ketika nek minah menceritakan tradisi ini atau tentang pakiah kepada cucunya, anggap saja kita nek Minah sebagai Gus tf kita sebagai cucunya yang tidak mengetahui sama sekali tentang tradisi pakiah ini. 

Dalam ceritanya agar menarik dibuatlah tentang kesakitan Pakiah itu sendiri supaya orang mempercainya dan mau mengasih pakiah. 

Begitu tidak tahunya kebanyakan masyarakat tentang pakiah itu sendiri. Gus tf dalam cerpennya diatas mengatakan bahwa  budaya mamakiah ini bukanlah pengemis melainkan uji mental. 

Menurut penulis gus Tf layak diapresiasi dan karya nya ini sesuai dengan perkembangan zaman dan juga kritik terhadap masyarakat yang tidak tahu dan mengatakan pakai itu adalah pengemis.

Tradisi mamakiah adalah tradisi yang dijalankan oleh santri pondok pesantren yang ada di Minangkabau terkhusus bagi wilayah Padang Pariaman. 

Tradisi ini yaitu menjalankan sebuah buntie (seperti karung) yang mana buntie ini digunakan pada hari kamis dan jumat untuk meminta sedekah ke rumah-rumah warga, misalnya di kampung alai, kampung tangah dan lain-lain.

Tradisi ini terkhusus ada di wilayah Padang Pariaman, di wilayah inilah banyak surau-surau yang dijadikan bahan pengajaran bagi anak muda yang ingin belajar ilmu agama. 

Anak muda ini tidak hanya berasal dari Padang Pariaman saja melainkan berasal dari berbagai daerah yang ada di Minangkabau bahkan dari Riau juga ada yang ingin belajar ilmu agama di pondok pesantren yang ada di Padang Pariaman. 

Anak muda tersebut pergi jauh-jauh merantau agar nanti setelah tamat mengaji diberi gelar Tuangku di kampung agar berguna bagi masyarakat. 

Banyak pondok pesantren kuno yang ada di Padang Pariaman melaksanakan tradisi ini bagi para santri. Pondok pesantren ini biasanya memiliki murid sekitar 100-200 orang setiap pondok pesantren.

*Penulis adalah Abdul Jamil Al Rasyid  Mahasiswa Sastra Minangkabau FIB Unand angkatan 2019 berdomisili di Padang Pariaman  Sumatera Barat Santri Pondok Pesantren Madinatul Ilmi Nurul Ikhlas  Patamuan Tandikek

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »