Edukasi dan Literasi Keamanan Informasi BSSN, Praktisi Media Siber: Pers Harus Diperkuat Karena Diistimewakan Negara

Edukasi dan Literasi Keamanan Informasi BSSN, Praktisi Media Siber: Pers Harus Diperkuat Karena Diistimewakan Negara
BENTENGSUMBAR.COM - Nurlis Effendi, junarlis dan Pemimpin Redaksi cyberthreat.id menegaskan, antara Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 dengan UU ITE punya semangat yang berbeda. 


"Ruh yang berbeda, jiwa yang berbeda. Masing-masing Undang-undang punya jiwa yang berbeda. Undang-undang Pers ini ruh dan jiwanya pers. Artinya di situ ada semangat kemerdekaan pers. Kemerdakaan pers itu apa? Untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. 


Dikatakannya, sebenarnya negara ini beresiko dangat tinggi membebakan kebenaran dan keadilan untuk pers. "Karena apakah itu tercapai dengan kondisi pers yang sekaran ini?" beber Nurlis ketika berbicara sebagai narasumber pada kegiatan Edukasi dan Literasi Keamanan Informasi yang digelar oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Selasa, 14 Desember 2021.


"Pertanyaannya, bagaimana jika terjadi sesuatu pada teknologi pers, kemudian ditangani oleh UU ITE. UU ITE ini sebetulnya rohnya bisnis. Untuk mengatur bisnis sebetulnya. Teknologi ini untuk melancarkan bisnis," tegasnya.


Tapi pada faktanya, ungkap Nurlis, banyak diterapkan ke kriminal. Jadi ada yang menyimpang dari semangat UU ITE ini dalam pelaksanaanya. 


"Nah, ketika pers suatu saat, ini kita melihat kedepan ya, ada yang bocor data, seperti Buka Lapak yang digugat, tapi kemudian gagal. Di luar negeri, facebook bocor data digugat, ganti ruginya tinggi. Pada satu titik, itu akan datang ke Indonesia regulasi-regulasi seperti itu untuk melindungi publik. Berakibat nantinya kepada pers. Bocor data publik melalui subscribe atau apalah, yang pada akhirnya digugat," urainya.


Ketika digugat, kata Nurlis, Undang-undang Pers tidak mengatur itu. "Dewan Pers mengatakan rezimnya rezim etik, tidak mengatur juga, gitu loh. Publik kemana dong, saya rugi. Sistem hukum itu seperti komputer dia, Jadi dimasukin semua ke situ. Ketika dicari di Undang-Undang Pers tidak ada, maka dicari di UU ITE. Kena dia disitu," katanya.


Jadi pers, kata Nurlis, ketika dikenakan UU ITE, berarti mengorbankan kemerdekaan pers. "Saya kurang sependapat dengan Dewan Pers yang mengatakan sebagai rezim etik, tetapi juga mengatur Badan Hukum Pers. Itu kan dua hal yang paradoks. Harusnya ikut juga dong mengatur tentang teknologi pers. Undang-undang Pers, selama tidak mengatur teknologi pers, maka dia bukan lex specialis UU ITE," katanya.


Nurlis juga mengatakan, semua konten yang bukan produk pers, maka larinya ke pidana. Untuk itu, pers harus diperkuat di Indonesia, karena sangat diistimewakan oleh negara dengan undang-undang tersendiri.


"Bahkan di Inggris pun tidak punya keistimewaan semacam ini seperti di Indonesia. Di Inggris, pers sama dengan masyarakat biasa, sebab prinsip hukum di Inggris memang menganut prinsip hukum kebebasan," jelasnya 


Pasalnya, kata Nurlis, semasa Undang-undang itu lahir, semangatnya masih media cetak dan televisi, belum masuk ke media online. 


"Kan tahun 1999, sedangkan media online lahir setelah itu. Walau pun ada celah di Undang-undang itu, yaitu yang dikatakan pers dengan sarana lainnya. Diksi sarana lainnya itulah yang kemudian disebut, media siber diantaranya. Dan lain-lain ini yang terjemahannya rumit sampai sekarang," katanya. 


Laporan: Zamri Yahya

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »