Ayu Utami dan Perempuan Penerus Sastra Masa Kini

SASTRA menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. banyaknya anak-anak muda yang menggemari bacaan novel remaja atau karya fiksi remaja yang beredar di kebanyakan toko buku saat ini membuat bertambahnya sejarah jejak-jejak penulis muda dan berpengaruh saat ini itu ke dalam sejarah kesastraan Indonesia kini. 

Pada era 2000 begitu banyak fenomena menarik yang terjadi pada kondisi para pengarang perempuan. Ayu Utami menerbitkan novel Saman pada 1998. Novel ini mendapat begitu banyak pujian, yang mana novel ini memiliki banyak pelajaran di dalamnya terutama bagi para kaum dewasa dan juga bersifat jujur dalam penulisan dan argumen di dalamnya. 

Terdapat sisi di mana novel ini menyentuh iman daripada pembacanya. Akan tetapi, dalam lahirnya karya tersebut tidak terlepas pula dari berbagai kontroversi. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, Korrie Layun Rampan mengatakan lahirnya angkatan 2000 menempatkan Ayu Utami sebagai tokoh muda yang memperbaharui warna dunia kesastraan saat itu. 

Kemenangan Ayu Utami dalam Sayembara Mengarang Roman yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998, menjadi titik balik bagi para perempuan dan pandangan yang diarahkan kepada mereka.

Perempuan dan sastra menjadi hal yang mencolok dan menarik untuk dikaji, apabila dilihat dari sesuatu yang mereka hasilkan serta keikutsertaannya membangun sebuah persepsi baru tentang esensi mereka di dunia kepenulisan dan sastra. 

Khususnya apa yang terjadi pada era 1998, era di mana para perempuan menjadi pusat perhatian yang mengubah pandangan dunia sastra bahwa tidak hanya laki-laki yang dapat menghasilkan karya sastra yang berkualitas di Indonesia.

Menurut Prakoso: 2009, Ayu utami dengan novelnya Saman dan Larung, merupakan salah satu penulis muda yang identik dengan keberaniannya dalam membahasakan gagasannya secara vulgar. Bersama penulis perempuan lainnya, Ayu utami berani mempertanyakan kemapaman dan membongkar wilayah tabu, misalnya dalam hal seksualitas. Menurut mereka, seks bukanlah milik kaum laki-laki belaka. 

Para perempuan yang tadinya dianggap hanya menjadi penikmat karya belaka, ternyata dapat  menciptakan suatu karya yang luar biasa dan menggemparkan bagi dunia sastra saat itu. 

Pasalnya menilik dari jejak sejarah generasi sastra Indonesia, pengarang di Indonesia didominasi oleh pengarang laki-laki yang terkenal namanya, seperti Y.B. Mangunwijaya, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Pramudya Ananta Toer, dan lain sebagainya. 

Hal ini tentu menjadi pemantik semangat perempuan lainnya untuk terus berkarya dan menorehkan nama mereka di dalam jejak sejarah kesusastraan di Indonesia. 

Menurut Erowati dan Bahtiar 2011: 86, periode terakhir dalam perkembangan Kesusastran Indonesia modern ini ditandai kemunculan pengarang-pengarang perempuan yang karyanya tidak hanya banyak dipuji dari pengamat sastra tetapi diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknnya buku yang terjual. 

Tema-tema yang mengekplorasi masalah seks bersanding dengan tema-tema Islami yang ditulis pengarang Islam yang  bernaung dibawah Forum Lingkar Pena (FLP) sebuah komunitas penulis yang 
tidak hanya tersebar di kota-kota di Indonesia tetapi memiliki cabang di luar negeri.

Menurut Wiyatmi dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2020: 3 Situasi mulai berubah pada tahun 2000-an. Diawali dengan kemunculan Ayu Utami sebagai juara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta Saman (1998), yang disusul dengan Larung (2003), Bilangan Fu (2008), dan karya-karya lainnya yang menyusul kemudian. Pintu yang dibuka Ayu Utami disambut baik dengan masuknya para penulis perempuan dalam penulisan sastra Indonesia, antara lain Dee (Dewi Lestari), Nova Riyanti Yusuf, Jenar Mahesa Ayu, Eliza V. Handayani, Helinatiens, Abidah El Khalieqy, Ratih Kumala, Dewi Sartika, Oka Rusmini, Fira Basuki, Naning Pranoto, Maya Wulan, sampai Nukila Amal, Okky Madasari, Ni Made Purnama Sari, dan seterusnya. 

Dari nama-nama tersebut ada yang makin kreatif dalam berkarya, tetapi juga ada yang mengalami jeda dengan berbagai penyebab.

Mengutip dari (Wiyatmi, 2020), pada tahun 1996 lalu Korrie Layun Rampan menulis artikel di Kompas (25/2/1996) dengan judul “Wanita Novelis Indonesia” dikemukakan bahwa sampai pertengahan 1990-an hanya ada 45 orang novelis perempuan di Indonesia. Data dari Pamusuk Eneste (Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2000) mencatat bahwa sampai tahun 2000, telah terbit 466 judul novel dan 348 sejumlah karya yang terbit di surat kabar dan majalah yang belum sempat dibukukan. Apabila data tersebut ditambah karya tahun 2000 sampai sekarang tentu jumlahnya akan bertambah banyak. 

Eneste juga menunjukkan bahwa karya-karya tersebut ditulis oleh 5.506 pengarang. Data statistik Rampan dan Eneste tersebut menunjukkan sedikitnya kuantitas perempuan yang ikut perkiprah dalam dunia penulisan fiksi di Indonesia yang menunjukkan adanya domonasi patrarkat dalam perkembangan sastra Indonesia.

Melihat perkembangan bagaimana cara para perempuan menulis sejak zaman tersebut, pada zaman Ayu Utami, hingga hari ini begitu pesat perkembangan dan sejarah yang telah dilalui perempuan dalam kiprahnya turut memajukan sastra di Indonesia, juga terdapat perbedaan dalam selera pasar yang digandrungi hari ini. Melihat bagaimana gejolak yang timbul ketika Ayu Utami mulai memunculkan diri ke dalam dunia sastra, banyaknya perempuan yang muncul dengan berbagai macam bentuk tulisan dan genre membawa perubahan dan berbagai macam bentuk tulisan yang dikembangkan penulis perempuan hingga saat ini. 

Dari generasi ini muncul juga penulis-penulis yang khusus menghadirkan tema-tema Islami, misalnya dua bersaudara Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. 

Karya mereka juga diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknya jumlah buku yang terjual. Ketika Mas Gagah Pergi, kumpulan cerpen perdana Helvy Tiana, pertama terbit pada 1997 dengan oplah 5.000 eksemplar terjual dalam sebulan Erowati dan Bahtiar, 2011: 86. 

Mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern dari hari ke hari, bentuk karya sastra yang dihasilkan juga semakin beragam dan berwarna.

Karya sastra tidak lagi melulu didominasi soal paragraf-paragraf panjang yang menjemukan dan membutuhkan waktu lama untuk membacanya. 

Karya sastra saat ini juga hadir dengan kemasan dan bungkusan baru. Memasuki tahun sekitar tahun 2018, karya sastra yang hadir menghadirkan bentuk karya baru dengan maraknya buku-buku kutipan kata-kata singkat, puisi-puisi modern penggugah hati yang hadir di pasaran besar saat ini dan juga digandrungi oleh para kaum muda hingga menengah hingga saat ini.

Misalnya, buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini yang ditulis oleh Marchella P, buku Untuk Dibanting, buku Untuk Disayang oleh Rintik Sedu.

Pengarang-pengarang wanita yang hadir sebagai masa pembaharuan dan penerus dari yang terdahulu dengan warna dan citarasa baru dalam sastra. 

Hal ini menjadi bukti bahwa peranan perempuan dalam dunia sastra hingga hari ini masih cukup eksis dan konsisten. 

Saat ini memasuki era di mana novel-novel fiksi remaja cukup diminati oleh kalangan pembaca. Menurut survei yang didapatkan bahwa buku-buku atau novel remaja ini menjadi yang cukup laris di pasaran dan menjadi best seller. 

Beberapa novel tersebut pun telah banyak diangkat menjadi film layar lebar dan dijadikan drama serial televisi saat ini. Begitu banyak karya-karya yang dihasilkan oleh para penulis perempuan dalam hal ini karya-karya yang telah diangkat menjadi film atau karya digital lainnya. 

Tulisan-tulisan yang menyabet gelar penjualan terbaik di toko buku di Indonesia hari ini didominasi oleh novel-novel atau tulisan yang diciptakan oleh para perempuan dan telah memiliki jutaan pengikut di akun sosial media masing-masingnya.

*Penulis Retno Endah Pratiwi, lahir pada 7 Januari 2001 di Kota Jambi. Mahasiswa Magister Pascasarjana Universitas Andalas, Padang. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »