Gus Ubaid: Jangan Berlebihan Sikapi Cuitan Ferdinand

BENTENGSUMBAR.COM - Publik media sosial dihebohkan dengan cuitan pegiat media sosial, Ferdinand Hutahaean. Dalam akun twitter pribadinya, ia mencuit kata-kata berikut: “Kasihan sekali Allahmu, ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih, Allahku luar biasa Maha Segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela”.

Sontak cuitan tersebut membuat geger publik netizen, khususnya pada platform twitter. 

Banyak pihak yang menuntut agar Ferdinand ditangkap dan diproses secara hukum, sebab telah menistakan agama tertentu. Karena derasnya kritik atas tweetnya itu, Ferdinand pun menghapus cuitan kontroversialnya itu.

“Bagi kami pribadi, apa yang menimpa saudara Ferdinand sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan, terlebih sampai dikaitkan dengan pelecehan pada agama tertentu. Kami telah mencoba menggali dan mencari tahu siapa sebenarnya saudara Ferdinand Hutahaean ini. Setelah kami menggali dan mencari tahu tentang saudara Ferdinand melalui teman-teman kami di Jakarta, ternyata informasi yang kami dapatkan cukup mengejutkan. Ferdinand adalah seorang mualaf,” kata Wakil Ketua PP LAZISNU, Ubaidillah Amin (Gus Ubaid), Kamis (6/1/2022).

Gus Ubaid yang merupakan Pengasuh Ponpes Annuriyyah Kaliwining Jember juga menjelaskan, bahwa yang bersangkutan baru saja masuk Agama Islam pada 2017, dan bersyahadat di depan KH Ali Yafi yang merupakan mantan Ketua Umum MUI Pusat. Ikrar syahadat ini disaksikan oleh Nyai Lily Wahid.

“Maka melihat latar belakang tersebut, adalah hal yang wajar dan sah-sah saja apabila seorang mualaf ingin mendalami Agama Islam. Namun, dalam prosesnya ia melihat wajah Islam yang tergambar dalam ajaran yang ia pelajari sangat berseberangan dengan sebagian oknum umat Islam yang memperkeruh citra Agama Islam itu sendiri. Berpijak pada hal ini, tidak heran kalau Muhammad Abduh, salah satu Syaikhul Azhar di masanya, pernah mengatakan: al-Islam mahjubun bi al-Muslimin yang artinya nilai-nilai Agama Islam tercoreng oleh (Perbuatan) kaum muslimin,” jelasnya.

Barangkali dari proses pengalaman spiritual yang dialaminya tersebut, Ferdinand menjadi tidak terkontrol lalu mencuitkan cuitan yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

“Adalah hal yang mengherankan ketika cuitan tersebut oleh sebagian pihak diarahkan terhadap pelecehan Agama Islam. Sebab agama yang dianut oleh Ferdinand sendiri adalah Islam. Tidak mungkin seorang muslim berniat menghina dan melecehkan agama yang dianut oleh dirinya sendiri,” tukasnya.

“Jika kita memandang secara jeli, maksud dari cuitan saudara Ferdinand sejatinya merupakan bahasa majaz, bukan dalam arti yang hakiki. Karena objek yang disasar oleh Ferdinand sejatinya bukan Tuhan, tapi konsep para oknum umat Islam tentang Tuhan yang kemudian dijadikan alat oleh pihak tertentu untuk melancarkan kepentingan pribadi mereka,” imbuhnya.

Namun karena cuitan tersebut dibaca oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda, maka tidak heran ketika ada sebagian kelompok yang membacanya dengan pemahaman yang tekstual, lalu mereka geram atas cuitan tersebut.

Maka dalam hal ini, tokoh muda NU inu menyarankan kepada Ferdinand agar bisa lebih mengontrol diri dan mengontrol jari dalam hal menyampaikan sesuatu ke media sosial.

“Kalau yang disampaikan adalah sebuah kegundahan atau kegelisahan yang sedang ia pikirkan, alangkah lebih bijak jika hal tersebut tidak disampaikan ke publik. Terlebih latar belakangnya adalah seorang politisi, maka segala ucapan dan gerak-geriknya pasti berpeluang untuk dijadikan bahan perlawanan oleh musuh politiknya,” tuturnya.

Selain itu, dia juga menyarankan agar cuitan ini tidak perlu disikapi secara berlebihan, apalagi sampai mengklaim Ferdinand melecehkan Tuhan dari Agama tertentu.

“Dari sinilah pentingnya kita menilai dan menyikapi sesuatu tidak hanya dari satu aspek, yang dalam hal ini adalah menilai cuitan saudara Ferdinand secara tekstual, tapi bagaimana kita menilai cuitan tersebut dari latar belakang dan penyebab ia mencuitkan statement tersebut. Dalam ilmu Ushul Fikih sebenarnya hal ini sudah dibahas dalam cakupan kaedah ‘Hal al-Ibroh bi umum al-Lafdzi am bi Khususi as-Sabab‘ yang artinya ‘Apakah yang menjadi pijakan dalam menimbang suatu hal adalah keumuman suatu teks, atau latar belakang penyebab adanya teks itu’ dan dalam tema ini para ulama membahas secara panjang lebar, namun pada intinya para ulama sepakat agar dalam menimbang dan menilai suatu teks jangan hanya dilihat dari satu aspek saja,” pungkasnya. (Beritajatim)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »