Catatan Ayu Fazira: Tradisi Lubuk Larang Masyarakat Sumpur Kudus

ADA sebuah tradisi menarik dari Ranah Minang. Yaitu tradisi "lubuk larangan". Tradisi lubuk larangan ini bisa kita temui di beberapa daerah dan nagari di Sumatera Barat. 

Salah satunya yaitu di Nagari Sumpur Kudus. Yaitu sebuah Nagari yang terletak di lembah bukit barisan.

Kira-kira 6 jam dari Kota Padang. Penduduk di Sumpur Kudus, Sijunjung, menyebutnya dengan istilah ’lubuk larangan’. 

Namun, jangan pula Anda berpikir tentang suatu lubuk yang angker dan dikeramatkan. 

Lubuk larangan di sini maksudnya adalah suatu kawasan sungai di dalam nagari yang ’dilarang’ selama jangka waktu tertentu dari aktivitas penangkapan ikan. 

Tradisi lubuk larangan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sumpur Kudus sejak dulu. Setidaknya, tradisi ini sudah dimulai sejak puluhan tahun silam. 

Sejak saya kecil, lubuk larangan sudah ada. Kawasan lubuk larangan biasanya dipilih daerah sungai yang sebagian besar daerah alirannya terletak dengan ke kampung. Hal ini demi mencegah terjadinya aksi penculikan oleh oknum-oknum tertentu.

Aksi pencurian ikan di lubuk larangan memang sangat dimungkinkan karena sistem yang diterapkan dalam menjaga keamanan lubuk larangan hanyalah sistem saling mempercayai. 

Artinya, keamanan lubuk larangan lebih diserahkan kepada semua penduduk nagari. Berbeda dengan daerah-daerah lain yang memakai sistem uduah (disumpah), semua lubuk larangan di Sumpur Kudus hanya mengandalkan prinsip kepercayaan.

Tetapi, pada waktu-waktu tertentu (terutama pada saat akan dibuka), penjagaan di lubuk larangan akan lebih diperketat. 

Biasanya, pihak nagari atau jorong tempat lubuk larangan berada akan menunjuk beberapa orang hansip atau pemuda untuk menjaga lubuk larangan dari usaha pencurian.

Jika ada yang kedapatan mencuri ikan di kawasan lubuk larangan, maka ia akan dilaporkan ke ketua pemuda/wali jorong untuk kemudian ditindak sesuai kesepakatan yang berlaku. 

Sanksi biasanya berupa denda, yang besarnya berbeda menurut status seseorang di dalam adat. 

Seorang penghulu akan didenda lebih banyak ketimbang masyarakat biasa. Biasanya, tidak semua kawasan sungai Batang Sumpu yang dijadikan lubuk larangan. 

Penduduk sengaja ’membebaskan’ beberapa bagian sungai sebagai lokasi penangkapan ikan sehari-hari.

Jika ikan-ikan di lubuk larangan sudah dirasa cukup layak untuk ditangkap, maka lubuk larangan pun akan segera dibuka. 

Sebuah kawasan di sungai biasanya dilarang selama 6 bulan sampai satu tahun. Lamanya waktu pelarangan tergantung kepada kesepakatan bersama. 

Jika ada penduduk yang mengusulkan untuk mambubui (membuka) lubuk larangan, maka hal ini kemudian akan dimusyawarakan di mesjid kampung. 

Apabila forum setuju, maka waktu ’mambubui’ pun akan segera ditetapkan bersama.

Namun, biasanya lubuk larangan dibubui pada waktu setelah panen usai. Hal ini mengingat sebagian besar daerah aliran sungai berdekatan dengan areal persawahan penduduk.

Jadi, jika lubuk larangan dibuka pada musim padi, maka sawah pun akan rusak.Lubuk larangan ini juga dibuka setelah hari raya idul fitri. Karena pada hari itu sanak saudara yang berada dirantau akan pulang untuk menjalin silahturahmi. 

Tetapi karena adanya wabah covid-19 jadi masyarakat Sumpur Kudus belum membuka lubuk larangan ini, karena pemerintah sudah menetapkan peraturan agar menghindari perkumpulan untuk mencegah kasus ini. Jadi lubuk larangan akan dibuka setelah covid -19 menurun.

Ketika lubuk larangan dibuka masyarakat juga ambil bagian dalam penangkapan ikan di suatu kawasan lubuk larangan biasanya dikenai biaya masuk (karcis) sebesar Rp. 5000,- hingga Rp.15.000,- tergantung kesepakatan bersama. 

Penduduk setempat biasanya membayar lebih murah dibandingkan penduduk dari kampung lain. dari penjualan karcis lubuk larangan ini kemudian dibagi rata untuk pembangunan mesjid, pendapatan nagari, ninik mamak, dan khas pemuda. Jatah masing-masingnya berbeda.

Tidak semua alat penangkapan ikan diizinkan untuk dipakai dalam acara penangkapan ikan di lubuk larangan.

Alat ’berbahaya’ seperti potas (racun ikan) dan setrum listrik biasanya dilarang, mengingat alat-alat tersebut sangat berpotensial ’memunahkan’ spesies ikan mulai dari telur hingga ikan dewasa. 

Dulu, alat-alat tersebut dibolehkan – dengan konsekuensi yang memakainya membayar dua kali lipat lebih mahal dari harga karcis biasa. 

Namun, akhirnya penduduk sadar akan betapa berbahaya alat-alat tersebut.

Maka, penggunaannya pun kemudian tidak diperbolehkan sama sekali, tidak hanya di kawasan lubuk larangan, tapi juga di semua kawasan sungai yang ada di nagari.

Selain berfungsi ekonomis, tradisi lubuk larangan di Sumpur Kudus ini juga sangat baik dalam usaha pelestarian kekayaan hayati yang tersimpan di sungai. 

Ikan, udang, penyu, dan kepiting adalah beberapa contoh spesies penghuni sungai yang kelangsungan hidupnya terselamatkan karena adanya lubuk larangan ini. 

Selain itu, spesies ikan yang terncam punah bisa saja sangat ’terbantu’ untuk berkembang biak karena adanya lubuk larangan.

Memang, di antara sejumlah jenis ikan yang menghuni sungai Batang Sumpu, ada beberapa di antaranya yang bisa dikategorikan langka, antara lain lailan, si tuka, dan pantau ulu. 

Ikan-ikan ini jarang dijumpai di kawasan sungai biasa. Pantau ulu, bahkan sudah tak ada lagi di kawasan hulu sungai. Ikan ini hanya didapati di beberapa titik di daerah Mengganti dan Simawik (bagian hilir). 

Lubuk larangan, dengan demikian, sangat diharapkan dapat membantu kelangsungan hidup ikan-ikan tersebut.

Hampir semua nagari yang dilewati Batang Sumpu mempunyai kawasan lubuk larangan masing-masing.

Bahkan, Nagari Sumpur Kudus mempunyai tiga lubuk larangan, masing-masing berada di Koto, Calau dan Uncang Labuah.

Salah satu manfaat dari tradisi lubuk larangan yang dilakukan masyarakat sumpur kudus ini yaitu: (1) Untuk kelestarian alamTradisi lubuk larangan di Sumpur Kudus sangat dianjurkan untuk terus dipertahankan. 

Tradisi ini sangat baik untuk menjaga kelestarian kekayaan ekosistem sungai, khususnya di daerah sungai Batang Sumpu.

Keanekaragaman hayati yang ada di sungai tentu akan cepat punah jika tidak mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak. 

Lubuk larangan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam rangka memberikan tempat yang lebih leluasa bagi spesies yang ada di sungai untuk berkembang biak. 

Dengan adanya lubuk larangan, berbagai spesies ikan yang hidup di Batang Sumpu seperti baung, tilan, situka, ngongai, baghau, tilan, salimang, mansai, dan lain-lain bisa terselamatkan dari ancaman penangkapan besar-besaran yang berujung pada kepunahan.  

(2) Sebagai hiburan bagi warga masyarakat. Yaitu biasanya dibuka sekali setahun, selesai hari raya lebaran. Karena waktu lebaran para perantau pada pulang kekampung halaman. 

Dan supaya terjalin hubungan antara perantau dengan masyarakat dikampung. Yaitu biasanya di Minangkabau disebut dengan istilah "bakempiang (memasak dan makan bersama-sama di pinggir sungai)". 

(3)  Untuk dana pembangunan Surau atau Masjid. Dan juga untuk bantuan biaya pendidikan anak kemenakan yang mengaji di Surau atau di Masjid. 

Karena beberapa persen dana yang terkumpul dari lubuk larangan itu di anggarkan untuk pembangunan dan pendidikan. 

Seperti yg telah saya sebutkan diatas tadi. Karena memang dalam pembukaan lubuk larangan itu, setiap yang berminat untuk menangkap ikan harus membeli karcis yang telah disediakan panitia.

(4). sebagai wadah silaturahmi antara sesama warga masyarakat di kampung. Dan juga antara masyarakat dengan para perantau. 

Dimana ada semacam kerinduan yang megikat batin para perantau dengan kampung. Sehingga setiap tahun (lebaran), mereka pulang kekampung. Walaupun hanya beberapa hari. 

(5) Sebagai Warisan Budaya untuk Alam karena Manusia merupakan makhluk yang tak akan pernah terpisahkan dari alam. 

Adanya lubuk larangan, baik disadari atau tidak merupakan bentuk kearifan budaya yang bertujuan untuk melestarikan alam serta menjaga kelangsungan makhluk hidup di dalamnya. 

Secara ekologi dampak kearifan lokal budaya lubuk larangan adalah mencegah kerusakan lingkungan sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan air serta ekosistem air.

Ikan-ikan yang ada di lubuk larangan juga akan terus terjaga karena di lubuk larangan hanya diperbolehkan menangkap ikan satu kali dalam satu tahun. 

Selain itu, di lubuk larangan hanya dibenarkan menangkap ikan berukuran besar yaitu dengan ukuran sekitar minimal empat jari atau 250 gram/ekor.

Hal ini bertujuan agar ikan-ikan berukuran kecil tersebut diberi kesempatan untuk besar dan dapat bertelur agar ikan-ikan diperairan tersebut tidak habis atau terputus regenerasinya. Ikan yang besar juga memiliki daging yang lezat dan lebih gurih.

Peralatan yang digunakan dalam memanen ikan di lubuk larangan dapat memberikan dampak positif kepada lingkungan sekitarnya. 

Ikan ditangkap menggunakan peralatan tradisional seperti jaring (net) yang berukuran tiga jari. 

Hal ini bertujuan agar ikan-ikan berukuran kecil tidak tertangkap sehingga memiliki kesempatan untuk tumbuh dan bertelur.

Peralatan-peralatan yang digunakan tersebut sangat ramah terhadap lingkungan dan tidak akan memberikan dampak negatif pada sungai ataupun ikan-ikan yang ada.

Itulah salah satu dari sekian banyak tradisi masyarakat di Minangkabau.

Dimana tradisi ini sebenarnya untuk menyiasati, supaya seluruh masyrakat bisa bergembira, dan bercanda tawa.

Yang mana kita ketahui di kampung atau pedesaan penghidupan susah.

Bisa dikategorikan sebagian besar kehidupan masyarakat sumpur kudus perekonomiannya menengah kebawah yang bergelut dengan sawah dan ladang. 

Maka salah satunya dengan lubuk larangan itulah masyarakat bisa bergembira. Melupakan sejenak kelelahan dari rutinitas sehari-hari.

Mungkin hal yang seperti itu tidak akan bisa kita jumpai di kota-kota. Karena di kota setiap masyrakat telah larut dengan rutinitasnya masing-masing.

Akan tetapi di kota corak hiburannya telah banyak di dominasi oleh hiburan-hiburan masa kini.

Budaya ini menjadi bukti nyata bahwa jika manusia dengan benar-benar menjaga alam, maka alam akan menjadi sahabat terbaik bagi manusia dengan harapan  budaya ini terus didukung oleh semua pihak dan pemerintah sehingga dapat terjaga sampai ke generasi mendatang.

*Ditulis Oleh: Ayu Fazira, Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »