Catatan Racheal Rahayu Hendriyani: Bahasa Caruik Maruik Di Minangkabau

MANUSIA adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individual. Untuk memenuhi kebutuhan hasratnya sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa untuk berinteraksi dan bekerja sama baik antar individu maupun antar kelompok. Proses sosialisasi antar manusia hanya dimungkinkan karena adanya bahasa. 

Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya supaya ia dapat memenuhi dua hasrat sosial yakni; Pertama, hasrat bergabung dengan manusia sekelilingnya, yang dalam sosiolinguistik, manusia sekeliling ini disebut speech community (masyarakat ujaran). Kedua, hasrat bergabung atau menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Karena itu, manusia dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan.

Bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, dapat dikaji secara internal dan eksternal. 

Kajian secara internal ini akan menghasilkan varian-varian bahasa itu saja tanpa adanya kaitan dengan masalah lain diluar bahasa.

Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur yang ada dalam disiplin linguistic saja.

Sedangkan kajian secara eksternal akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat. 

Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen. 

Penutur yang berbeda latar belakang sosial dan kebiasaan, maka bahasa tersebut menjadi beragam baik dalam segi fonologis, morfolgis, sintaksis maupun leksikon. 

Setiap bahasa itu memiliki ciri khas masing-masing yang menjadi suatu ketertarikan dalam mempelajarinya. Namun, tidak semua hal yang menarik itu dapat dipelajari. 

Ada kalanya hal yang menarik itu hanya sebatas pengetahuan saja, tidak perlu dikaji lebih dalam. 

Salah satunya yaitu bahasa “caruik” Minangkabau yang ada di kehidupan masyarakat Minangkabau.

Bahasa “caruik” 

Carut” Minangkabau adalah tipe bahasa Minangkabau yang mengandung kata-kata kotor, cabul dan keji yang sering digunakan kebanyakan masyarakat Minangkabau dalam kesehariannya.

Maka dari pada itu walaupun bahasa ini menarik dan cukup populer di kalangan masyarakat Minang tetapi tidak pantas untuk ditiru maupun dicontoh. 

Begitu pula dengan bahasa “caruik” Minangkabau dapat kita ketahui karakteristiknya melalui fungsi bahasa diatas. 

Dilihat dari segi penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi.

Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya.

Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya.

Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.

Bahasa “caruik” Minangkabau merupakan salah satu sarana untuk menunjukkan emosi ataupun perasaan.

Salah satu contohnya yaitu pada kata “kalera”  menunjukkan si penutur sedang megumpat karena ada sesuatu hal yang menganggu kegiatannya. 

Dan ada juga kalanya si penutur merasa marah kepada seseorang bisa jadi kepada anaknya dengan mengatakan “Anak kalera kau mah!” “ Dasar anak tidak berguna kamu!”.

Secara psikologi itu sangat tidak baik untuk kejiwaan anak. 

Dalam studi yang dilangsungkan terhadap ratusan orang tua anak berusia 13 tahun di Filadelfia, Amerika Serikat itu para peneliti menanyakan frekuensi berteriak, memaki atau melabeli anak dengan kata-kata seperti “bodoh” atau “tidak berguna”. 

Diketahui, banyak dari 900 orang tua pernah menggunakan kata-kata itu. Sebanyak 45% ibu mengaku pernah melakukannya dan 42% ayah mengaku pernah melakukannya. 

Ketika dibandingkan dengan tingkah anak berusia 13 tahun yang sering dimarahi dengan kata-kata kasar di bahasa “caruik” tersebut cenderung menunjukkan bertingkah nakal dan mengalami masalah serius sampai depresi berat. 

Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan. 

Sebagai contoh pemakaian bahasa “caruik” yaitu “Woi Baruak! Biaso se lah ang ngecek ndak. Ndak usah baurek lo” “Woi Monyet! Bisa tidak kalau bicara biasa saja. Tidak usah emosi”. 

Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa di sini berfungsi untuk menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial.

Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah bepola tetap, seperti pada saat berjumpa, pamit, membicarakan cuaca atau menanyakan keadaan keluarga.

Sebagai contoh sederhana, masyarakat Minangkabau sering menggunakan bahasa ”caruik” dalam ungkapan-ungkapan yang dimaksud diatas pada saat berjumpa. 

Seperti yang dilakukan sesama sopir angkutan umum, mereka saling menyapa dengan mengatakan “Woi Anjiang! Kama ang?” “Woi Anjing! Mau kemana kamu?”.

Di sini bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek  atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. 

Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran tentang bagaimana pendapat si penutur tentang dunia disekelilingnya. 

Sebuah contoh dalam bahasa “caruik” sebagai bukti fungsi bahasa dari segi topik ujaran yaitu pemakaian kata benda “poyok” yang berarti “wanita jalang yang tidak punya harga diri”.

Biasanya kosakata ini ditujukan kepada seorang gadis yang secara susila tidak pantas untuk dicontoh. 

Seperti kalimat berikut ini “Tu ha, alah laruik malam baru ka pulang si poyok tu” “Itu dia, sudah larut malam baru mau pulang si Jalang itu”.

Kalau dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri.

Memang tampaknya agak aneh. Biasanya bahasa itu digunakan untuk membicarakan masalah lain, seperti masalah politik, ekonomi, atau kemiliteran. 

Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. 

Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa dimana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa.

Begitu juga dengan bahasa “caruik” di Minangkabau, akan terasa aneh jika penggunaan kosakata “caruik” dalam membahas masalah yang butuh kajian dalam dan pengetahuan tinggi. 

Sebab bahasa “caruik” itu tidak pantas untuk menjadi morfem yang berkelas sosial tinggi. 

Bahasa “caruik” cenderung dipandang tidak berpendidikan karena mengandung kata-kata kotor. 

Pada dasarnya, bahasa itu digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan baik yang sebenarnya maupun sebatas imajinasi (rekayasa).

Fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya. 

Sebagai contoh dalam bahasa”caruik” yaitu pada kalimat berikut ini, “Ang kampuang baa ko. Sajak tadi sibuk se jo HP baru. Bantuak Baruak diagiah bungo ang tu. Mambuek den iri se ang Kanciang!” “ Kamu ini seperti orang kampungan saja. Dari tadi sibuk dengan HP baru. Seperti monyet dikasih bunga. Membuat saya iri saja kamu sialan!”. 

Pembahasan selanjutnya ialah konotasi bahasa “caruik”. Konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seorang ketika berhadapan dengan sebuah kata.

Konotasi sering dipahami sebagai makna yang ditambahkan pada makna denotasi. 

Denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif.

Dalam beberapa kata bahasa “caruik” Minangkabau itu terdapat konotasi yang unik walaupun mempunyai makna yang sama. 

Seperti yang diketahui sendiri, bahwasannya bahasa itu beragam.

Begitu pula dengan bahasa ”caruik” Minangkabau yang memiliki beragam kata dan makna tergantung pola dan kebiasaan masyarakat di suatu wilayah.

Ada sebuah contoh kosakata yang berbeda namun mempunyai makna yang sama tetapi bernilai rasa yang berbeda. Kata dalam bahasa “caruik” seperti “pantek” dan “kanciang”. 

Pada kata “pantek”  mempunyai nilai rasa yang ‘tinggi’ sedangkan “kanciang” mempunyai nilai rasa yang lebih ‘rendah’ dari kata “pantek”.

Padahal kedua kata tersebut mempunyai makna denotasi yang sama yaitu “sialan” tetapi dewasa ini kedua kata itu mempunyai nilai rasa yang berbeda.

Kebanyakan dari kosakata yang dipakai dalam bahasa “caruik” Minangkabau itu memakai nama hewan seperti “anjiang”, “baruak gadang”, “babi” dan sebagainya. 

Bila dilihat secara makna yang diungkapkan, konotasi kata-kata tersebut bukan berarti mengatakan orang tersebut “anjiang”, “baruak gadang”, “babi” dan sebagainya itu tetapi berarti sebagai makna tambahan yang melambangkan orang yang dituju.

Namun ada kalanya jika itu hanya sebatas lelucon belaka tanpa dipikirkan terlebih dahulu. 

Dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi sifat manusia untuk selalu memperhalus pemakaian bahasa seperti kata-kata pada bahasa “caruik” Minangkabau di atas. 

Oleh karena itu, usahakanlah membentuk kata atau istilah baru untuk mengganti kata atau istilah yang dianggap sebagian besar orang berkonotasi negatif. 

Sehingga budaya dalam bertutur kata kita dapat dipahami secara halus sebab tidak samua istilah bahasa “caruik” dimengerti oleh orang Minangkabau.

*Ditulis Oleh: Racheal Rahayu Hendriyani, Jurusan Sastra Daerah Minangkabau Universitas Andalas

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »