Kotak Suara Pilpres 2024 Kembali Pakai Kardus, Pakar: Modus Kecurangan Pilpres 2019 akan Terulang Lagi

BENTENGSUMBAR.COM - Pakar IT, Agus Maksum memprediksi modus kecurangan Pilpres 2019 akan kembali terjadi pada Pilpres 2024 mendatang.

Hal itu dilihat dari pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyatakan akan tetap menggunakan kotak suara kardus pada Pilpres mendatang.

Agus Maksum pun menilai modus kecurangan serupa akan kembali terjadi, karena Pilpres 2024 menggunakan Undang-Undang yang sama.

"Saya sebenarnya juga agak kaget ketika membaca berita tentang kotak suara kardus dulu, dan kemudian saya menjadi ingat beberapa hal yang terkait dengan Pilpres," ucapnya, Rabu, 25 Mei 2022.

"Kotak kardus ini sebenarnya pemicu, kotak kardus itu diproduksi karena Undang-Undang pemilu yang dipakai pada waktu itu dan itu cukup menjadi perdebatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Nah di dalam Undang-Undang 2017 itulah yang melahirkan akhirnya kotak kardus digembok itu," tutur Agus Maksum menambahkan.

Dia pun mengaku kaget dengan keputusan itu, bahkan dirinya mempertanyakan permasalahan tersebut kepada banyak pakar.

"Itu ternyata undang-undang ini tetap dipakai dan tidak ada perubahan," kata Agus Maksum.

"Di mana undang-undang itu kan melahirkan segala macam kecurangan-kecurangan dan berbagai hal di tahun 2019, salah satu di antaranya adalah kotak kardus di gembok," ucapnya.

Agus Maksum kemudian mengungkapkan alasan mengapa kotak suara kardus rawan dengan kecurangan.

"Kotak kardus digembok itu kan menjadi persoalan, Kenapa? karena penghitungan suara itu kan lambat sekali. Jadi 1 bulan, 17 April baru selesai 21 Mei, itu kan satu bulan lebih," ujarnya.

"Nah dalam perjalanan kardus itu kan dari TPS sampai ke sana itu kalau dia bentuknya kardus itu kan kemudian ternyata, Silakan dicek di Youtube, begitu banyak sekali berbelok arah ke mana-mana dulu sebelum akhirnya ke tempat itu dan itu kan sangat mudah dibongkar dan diganti, pertama itu banyak sekali terjadi dan ini kok tetep dipakai," tutur Agus Maksum menambahkan.

Kemudian modus kecurangan kedua adalah terkait dengan presidential threshold atau PT 20 persen yang juga ada di dalam Undang-Undang tersebut.

Ketentuan PT 20 persen ini sudah berkali-kali digugat oleh berbagai tokoh, akan tetapi Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten menolak.

"Sehingga berarti PT 20 persen yang memungkinkan terjadinya pasangan capres itu hanya dua, ini akan terulang lagi Undang-Undang di situ," kata Agus Maksum.

Sedangkan yang ketiga adalah adanya puluhan juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) abal-abal yang akan kembali memberikan suara pada Pilpres 2024.

"DPT abal-abal itu DPT yang sesungguhnya tidak ada orangnya tetapi dimasukkan ke dalam DPT sehingga kemudian DPT nya itu nanti ada suara-suara yang tercetak namun tidak ada pemilihnya dan itu jumlahnya puluhan juta," tutur Agus Maksum.

"Dan itulah nanti surat suara yang akhirnya kemudian digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kecurangan, itu terulang lagi," ucapnya.

"Daftar pemilih tetap ini kan di dalam Pemilu dan di dalam Pilpres, itu yang akan berubah menjadi suara, suara yang menentukan siapa pemenangnya," ujarnya menambahkan.

Agus Maksum membebeberkan bahwa terdapat puluhan juta DPT yang tidak ada orangnya, tetapi ada di dalam daftar pemilih sehingga surat suaranya tetap dicetak dan suaranya juga masuk.

"Yang keempat, itu adalah dengan undang-undang itu, KPU itu kalau melakukan kecurangan atau bahkan namanya tindak pidana di dalam Pemilu itu dia tidak bisa ditindak oleh polisi atau Kejaksaan," kata Agus Maksum.

"Dia hanya bisa ditindak oleh Bawaslu, sehingga kemudian banyak sekali laporan-laporan yang kita lakukan kepada Bawaslu itu tanggapannya cuman simple aja," ucapnya.

"Saya melaporkan berbagai banyak hal itu kepada Bawaslu, ketika kemudian menjelang hari-H Kok tidak ditanggapi saya datang 'ini bagaimana' lah kok jawabannya tuh cuma simple 'Saya nggak bisa baca datanya' loh kalau nggak bisa baca datanya kok baru sekarang bilang?," tuturnya menambahkan.

Agus Maksum pun membeberkan lubang-lubang kecurangan mana saja yang akan kembali terjadi pada Pilpres 2024 mendatang.

"Jadi saya melihatnya dari sisi undang-undang, saya agak kaget ternyata undang-undang yang dipakai sama, karena Undang-Undang yang dipakai itu sama, maka dari Undang-Undang itulah lahir kotak suara kardus," kata Agus Maksum.

"Lalu kemudian sudah menjadi berita bahwa KPU tetap akan menggunakan kotak suara kardus, dan itu berarti udah Jelas kan kotak suara kardus yang terulang disebabkan oleh undang-undang yang dipakai sama," ucapnya menambahkan.

Selain itu, modus KPU yang tidak bisa digugat secara pidana juga akan kembali terulang.

"Yang kedua yaitu tadi modus KPU yang tidak bisa digugat pidana, Kenapa? Karena hanya kepada Bawaslu," ujar Agus Maksum.

"Sementara Bawaslu itu subordinat, lemah sekali. Sikap Bawaslu ke KPU itu seperti satu tim, jadi apa-apa dikoordinasikan gitu," ucapnya.

"Jadi itu pasti akan terulang, siapapun akan melakukan gugatan kecurangan, pidana Pemilu, itu pasti akan mentok di Bawaslu karena posisinya menurut saya lemah dalam undang-undang itu terhadap KPU," tuturnya menambahkan.

Terakhir, akan kembali digunakannya DPT pada Pilpres 2019 yang sudah jelas terdapat kecurangan jumlah pemilih.

"Yang ketiga, DPT itu sudah pasti karena DPT disusun berdasarkan undang-undang itu, bunyinya begini, jadi DPT tahun sebelumnya itu digunakan sebagai sumber utama DPT karena dianggap ini valid. Kenapa kok valid? iya secara hukum kan sudah sudah diputuskan itu dipakai kemudian digunakan untuk sebuah perhelatan dan hasilnya diakui," kata Agus Maksum.

"(DPT ini) sumber utamanya itu DP4 Dukcapil, data penduduk potensial pemilih pemilu, ini biasanya diserahkan oleh Depdagri dan itu jumlahnya biasanya hampir sama dengan jumlah DPT," ujarnya menambahkan.

Akan tetapi, dengan UU Nomor 7 tahun 2017 dan PKPU, praktik yang terjadi adalah DPT sebelumnya dianggap valid.

"Lalu kemudian DP4 dukcapil yang jumlahnya 196 juta itu, kalau tahun sekarang yang berarti hampir 200 juta itu, hanya diambil dua item, yaitu pemilih pemula, itu terjadi 2 item, satu mereka yang berusia 17 tahun Pada saat Pemilu, itu diambil," tutur Agus Maksum.

"Lalu kemudian mereka yang pensiun dari PNS, TNI, dan Polri, itu kemudian diambil datanya. Itu kira-kira dari seluruh data Dukcapil itu kurang dari 10 persen, lalu ditambahkan ke DPT sebelumnya. Ini DPT yang kemudian akan jadi itu, inilah yang lalu dilakukan coklit dan pemutakhiran. Nah celakanya coklit dan pemutahiran itu ternyata tidak dilakukan menyeluruh, random," katanya menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari kanal Youtube Hersubeno Point, Kamis, 26 Mei 2022.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »