Pak Jokowi Benar! Ketimbang AS, China Kini 'Bahaya' Bagi RI

BENTENGSUMBAR.COM - Dua raksasa ekonomi di dunia sedang mengalami pelambatan ekonomi, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China. 

Jika dilihat lebih rinci, maka situasi China akan lebih berbahaya bagi perekonomian nasional yang turut disadari oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Oleh sebab itu 2023 betul-betul kita harus waspada saya setuju harus optimis tapi harus tetap hati-hati dan waspada. Yang pertama itu ekspor Indonesia tahun ini tahun lalu melompat jauh tapi hati-hati tahun depan bisa turun," ujar Jokowi saat berpidato di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) Rabu (30/11/2022).

Hal ini mengacu terhadap situasi China yang makin memburuk. Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976.

Kepala ekonom China di Nomura, Ting Lu, bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China lebih dalam lagi.

Nomura memangkas proyeksi PDB China 2022 menjadi 2,8% saja. Untuk tahun depan, PDB diperkirakan tumbuh 4%, dipangkas dari proyeksi sebelumnya 4,3%.

Memang ada kenaikan PDB di tahun depan, tetapi tetap saja rendah, apalagi jika melihat low base di tahun ini. 

Kemudian jika melihat sejak 1989 rata-rata PDB China sebesar 9,05%, melansir Trading Economics

Artinya, ini menjadi masa ekonomi "tergelap" bagi Xi Jinping yang menjabat Presiden China sejak 2013 lalu.

Ekonom Senior Chatib Basri, mengatakan Indonesia perlu khawatir dengan China sebab merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia. 

China merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia, nilainya sepanjang Januari - Oktober sebesar US$ 51,5 miliar dan berkontribusi 22,3% dari total ekspor.

"Saya itu sebetulnya, lebih khawatir dengan (dampak) ekonomi China, dibandingkan dengan ekonomi Amerika Serikat terhadap kita karena kalau China kena itu ekspor kita (Indonesia) kena beneran," kata Chatib pertengahan Oktober lalu.

Menurutnya, dalam jangka panjang ekonomi China akan mengalami new normal atau tidak akan tumbuh tinggi lagi.

"Mungkin long term growth-nya di sekitar 4%, jauh, (tapi) itu yang harus diantisipasi. Saya gak bicara tahun ini, tapi long term growth-nya bisa ke arah sana," ungkapnya.

Dengan demikian, ada risiko permintaan komoditas dari China dalam jangka panjang tidak lagi setinggi saat ini.

Dampak pelambatan ekonomi sudah terasa di dalam negeri, khususnya industri yang berorientasi ekspor.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi yang pertama menderita. Pelambatan ekonomi dari negara-negara tujuan ekspor memicu penurunan dan pembatasan order ke pabrik-pabrik TPT di Tanah Air.

Akibatnya, terjadi penurunan kapasitas produksi. Hingga menyebabkan efisiensi karyawan, dengan merumahkan bahkan PHK.

"Perumahan karyawan masih terus terjadi," kata Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta kepada CNBC Indonesia.

"Pengurangan karyawan sudah di atas 100 ribu. Ada yang dirumahkan, dikurangi jam kerja, pemutusan kontrak, hingga PHK," tambahnya.

Kondisi itu, ujarnya, terjadi di industri tekstil dari hulu ke hilir.

"(Lokasinya) Jawa Barat dan Jawa Tengah," kata Redma.

Gejala merumahkan karyawan ini sudah berlangsung sejak bulan lalu. 

Redma mengatakan, kapasitas produksi pabrik TPT terus turun bahkan sampai 50% dan dikhawatirkan berlanjut sampai tahun 2023.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »