Kekerasan Pemicu Hancurnya Rumah Tangga

KEKERASAN Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan lagi masalah yang baru di tengah masyarakat Indonesia. Telah banyak pula kasus yang diangkat ke meja persidangan.

Beberapa lembaga perlindungan juga telah berdiri untuk menampung kesaksian dan memperjuangkan hak para korban. 

Ini bagus, karena menandakan kesadaran masyarakat pada penuntasan KDRT semakin tinggi. 

Namun, yang sedikit mengganjal dari KDRT ini ialah pemikiran yang mengidentikkan korban KDRT dengan perempuan, padahal laki-laki (suami) juga bisa menjadi korban.  

Seperti salah satu kasus  yang terjadi pada awal tahun 2018 dihebohkan dengan berita suami menginjak-injak perut istrinya yang sedang hamil tua. 

Suami yang menendang perut istrinya bernama Kasdi (21). Ia menginjak perut istrinya, Lina Rahmawati (21) yang sedang mengandung karena curiga dengan anak dalam kandungannya merupakan hubungan gelap dengan orang lain. 

Bayi dalam kandungan yang tidak diakui sebagai darah dagingnya itu terpaksa lahir sebelum waktunya atau sesar dan meninggal dunia.

Namun, masih banyak orang yang mengasosiasikan kata “korban” dengan sesuatu yang lemah, rapuh, kecil, dan rentan, maka laki-laki yang diidentikan dengan kekuatan, dominan, tidak terkalahkan dan maskulinitas lainnya jelas tidak memiliki tempat untuk menjadi korban. 

Maka ketika ia mendapat tindak kekerasan, alih alih mendapat perlindungan dan bantuan, orang-orang justru mempertanyakan kelaki-lakinya dan menganggap kekerasan yang mereka alami adalah lelucon.

Hal yang kemudian membuat para korban laki-laki enggan untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami. 

Dalam UU no 23 tahun 2004 menjelaskan bahwasanya ada 4 jenis kekerasan dalam rumah tangga yaitu sebagai berikut:

1. Kekerasan Fisik
2. Kekerasan Psikis
3. Kekerasan Seksual
4. Penelantaran Rumah Tangga.

Dalam perkembangan masyarakat saat ini, tindak KDRT baik berupa kekerasan secara fisik, psikis, seksual maupun penelantaran dalam kehidupan rumah tangga senyatanya memang terjadi, sehingga guna menghapus KDRT dibutuhkan suatu tindakan penanganan atau penegakan hukum yang efektif.

KDRT sendiri dapat terjadi pada suami, isteri, dan anak serta mereka yang berada dalam lingkup rumah tangga.

Masyarakat umum masih menganggap bahwa anggota keluarga itu merupakan milik “laki-laki” dan masalah KDRT adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. 

Sedangkan sistem hukum dan sosial budaya yang ada sejauh ini senyatanya dirasakan masih belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT.

Mengapa perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan?

Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. 

Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya control atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi. 

Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki.

Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh system social tadi yang kemudian melahirkan identitas jender yang membedakan laki-laki dan perempuan.

Seseorang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat dipengaruhi oleh Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan. Alasan Ekonomi. Ketidakmampuan mengendalikan emosi.

Sanksi Pidana dalam UU KDRT

UU Nomor 23 Tahun 2004 juga memuat sanksi pidana bagi pelaku KDRT.

Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan fisik dalam rumah tangga meliputi:

Pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta bagi setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga;

Pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban jatuh sakit atau luka berat;

Pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban meninggal;

Pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta jika kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.

Yang harus ditanamkan agar tercegah dari tindak KDRT Tanamkan Empati, Jujur dan Terbuka, dengan begitu, terapkan pola pikir ini kepada orang lain, dalam hal ini pasangan. Jika Anda tidak ingin disakiti, maka janganlah menyakiti pasangan.

Sebaliknya, bersikaplah untuk saling menghormati, menghargai, dan berempati satu dengan yang lain.

*Ditulis Oleh: Merisa Laras Putri, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andasalas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »