Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara

TAREKAT Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat utama dari ajaran tasawuf sunni. Namanya berasal dari Bahaudin al-Bukhari an-Naqsyabandi. 

Para guru Naqsyabandiyah menelusuri garis keturunan mereka hingga nabi Muhammad melalui Abu Bakar– khalifah pertama Islam– dan Ali bin Abi Thalib–khalifah keempat Islam. 

Tarekat Naqshbandiyah menekankan perjalanan spiritual yang bersifat batiniah dan penyucian hati sebagai cara untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan.

Mereka sangat menekankan untuk mengikuti ajaran dan teladan Nabi Muhammad, serta menjaga hubungan yang kuat dengan seorang guru spiritual atau pencerah, yang dikenal sebagai murshid. 

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau termasuk di antara ulama besar Indonesia yang paling produktif menulis.

Tulisannya sarat dengan kedalaman keilmuan penulisnya dan sebagian besar merupakan kritik dan bantahannya terhadap permasalahan keislaman yang berkembang di sebagian daerah di Nusantara. 

Menurut Umar Abdul Jabbar, jumlah karya yang ditulisnya mencapai 46, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Jawi.26 Sementara menurut Zainal Abidin Ahmad ada sekitar 49 kitab. 

Semua kitabnya, selain tersebar di Tanah Air juga di Syria, Turki, dan Mesir.27 Menurut catatan otobigrafinya, Syekh Ahmad Khatib menulis empat puluh tujuh karya dalam dua bahasa: Arab dan Jawi- 23 dicetak dan24 masih berbentuk manuskrip.

Pendapat ini sekaligus mereduksi semua pendapat-pendapat penulis biografi ulama Nusantara terkait jumlah karyanya yang selalu diperdebatkan.

Karya-karya tersebut akan dibicarakan berikut ini dilengkapi dengan alasan penulisan dan tempat pencetakan.

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau merupakan ulama Nusantara yang terkemuka di penghujung abad 19 dan awal abad 20.

Peran dan kontribusinya bagi perkembangan keilmuan keislaman tidak dapat diragukan. Banyak gelar dan amanah yang diemban selama hidupnya. 

Ia adalah ulama pertama asal Nusantara yang diangkat oleh penguasa Haramain untuk menjabat sebagai imam dan khatib di Mesjidil Haram.

Selain itu, ia banyak terlibat polemik dengan ulama-ulama semasanya. Namun polemik yang berkepanjangan adalah dalam masalah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau.

Praktik-praktik dalam Tarekat Naqshbandiyah meliputi dzikir (pengingatan akan Tuhan melalui pengulangan kalimat suci), meditasi, kontemplasi, dan introspeksi diri. 

Tarekat ini khususnya menekankan pengulangan diam dari frasa "La ilaha illallah" (Tidak ada tuhan selain Allah), bersama dengan latihan pernapasan yang dikenal sebagai "muraqabah".

Tarekat Naqshbandiyah telah menyebar ke berbagai belahan dunia dan memiliki cabang atau sub-tarekat yang berbeda. 

Setiap sub-tarekat mungkin memiliki praktik dan ajaran khususnya sendiri, namun tetap mempertahankan prinsip-prinsip inti dari jalan Naqshbandiyah.

Tarekat Naqshbandiyah juga memiliki pengikut dan keberadaan di perkotaan. Meskipun tradisionalnya tarekat-tarekat Sufi sering dikaitkan dengan kehidupan rural atau pedesaan, banyak pengikut Tarekat Naqshbandiyah yang tinggal di kota-kota besar di seluruh dunia. 

Di lingkungan perkotaan, praktik-praktik Tarekat Naqshbandiyah dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan urban. 

Meskipun suasana dan lingkungan perkotaan mungkin berbeda dengan lingkungan pedesaan tradisional, prinsip-prinsip inti tarekat, seperti introspeksi, meditasi, dan hubungan dengan guru spiritual, tetap relevan.

Pengikut Tarekat Naqshbandiyah di perkotaan biasanya terorganisir dalam komunitas-komunitas atau zawiya, tempat mereka dapat berkumpul untuk melaksanakan praktik-praktik spiritual, mendengarkan ceramah, dan berinteraksi dengan guru spiritual atau sesama pengikut tarekat.

Dalam konteks perkotaan, anggota tarekat juga dapat mengintegrasikan praktik-praktik spiritual mereka dengan kehidupan sehari-hari, termasuk bekerja, berkeluarga, dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

Dalam hal ini, tarekat dapat memberikan arahan dan panduan dalam menjalani kehidupan yang seimbang secara spiritual dan material.

Penting untuk dicatat bahwa setiap komunitas Tarekat Naqshbandiyah di perkotaan dapat memiliki karakteristik dan adaptasi yang berbeda, tergantung pada konteks lokal dan kebutuhan pengikutnya.

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau termasuk di antara ulama besar Indonesia yang paling produktif menulis.

Tulisannya sarat dengan kedalaman keilmuan penulisnya dan sebagian besar merupakan kritik dan bantahannya terhadap permasalahan keislaman yang berkembang di sebagian daerah di Nusantara. 

Menurut Umar Abdul Jabbar, jumlah karya yang ditulisnya mencapai 46, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Jawi 26 Sementara menurut Zainal Abidin Ahmad ada sekitar 49 kitab. 

Semua kitabnya, selain tersebar di Tanah Air juga di Syria, Turki, dan Mesir.27 Menurut catatan otobigrafinya, Syekh Ahmad Khatib menulis empat puluh tujuh karya dalam dua bahasa, Arab dan Jawi 23 dicetak dan 24 masih berbentuk manuskrip.

Pendapat ini sekaligus mereduksi semua pendapat-pendapat penulis biografi ulama Nusantara terkait jumlah karyanya yang selalu diperdebatkan.

Karya-karya tersebut akan dibicarakan berikut ini dilengkapi dengan alasan penulisan dan tempat pencetakan.

Pertama,al-NafahatHâsyiah al-Waraqât,sebuah kitab pertama dari Syekh Ahmad Khatib yang ditulis dalam bahasa Arab, sebagai penjelasan atas kitab al-Waraqât karya Imam Jalâluddîn al-Mahalli yang menjelaskan matan dasar karya Imam Juwainî.

Kitabal-Waraqâtdalam bidang usul fikih merupakan kitab yang cukup penting bagi dunia Islam, terutama Nusantara. 

Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat Sufi yang memiliki sejarah panjang dan pengikut yang luas di dunia, termasuk di Nusantara.

Seperti halnya dengan banyak organisasi keagamaan, Tarekat Naqsyabandiyah juga telah mengalami polemik dan kontroversi di beberapa tempat di Nusantara.

Polemik yang melibatkan Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara umumnya berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam bidang ajaran dan kepemimpinan dalam tarekat ini. Beberapa isu yang sering muncul antara lain:

Pemimpin dan Warisan Spiritual: Salah satu polemik yang muncul adalah terkait kepemimpinan dan pewarisan spiritual di dalam tarekat.

Setelah wafatnya seorang guru atau pemimpin tarekat, terkadang muncul perselisihan dalam menentukan siapa yang berhak menggantikan posisi tersebut dan meneruskan tradisi spiritual tarekat ini.

Perselisihan semacam ini dapat memunculkan konflik antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam tarekat tersebut.

Interpretasi Ajaran: Tarekat Naqsyabandiyah, seperti tarekat Sufi lainnya, memiliki ajaran-ajaran yang dalam banyak hal terbuka untuk interpretasi. 

Perbedaan dalam pemahaman dan interpretasi ajaran ini dapat menyebabkan perbedaan pendapat antara para pengikut tarekat.

Terkadang, perbedaan ini dapat berkembang menjadi perselisihan yang lebih besar.

Hubungan dengan Tarekat Lain: Di Nusantara, terdapat berbagai tarekat Sufi yang aktif dan memiliki pengikut yang kuat. 

Polemik terkadang muncul ketika Tarekat Naqsyabandiyah atau para pengikutnya memiliki perbedaan pendapat atau persaingan dengan tarekat lain. 

Persaingan ini bisa berhubungan dengan dukungan masyarakat atau pengaruh kekuasaan politik di dalam suatu wilayah.

Polemik yang melibatkan Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara tidak dapat dianggap sebagai representasi keseluruhan dari tarekat ini. 

Sebagaimana halnya dengan organisasi keagamaan lainnya, polemik dan kontroversi dapat muncul dalam konteks tertentu, namun banyak pengikut Tarekat Naqsyabandiyah yang menjalankan ajaran-ajarannya dengan damai dan menjalin hubungan harmonis dengan tarekat lain dan masyarakat umum.

*Ditulis Oleh: Loreza Tania Miranda Mahasiswa Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »