BENTENGSUMBAR.COM - Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan kampanye di kampus/lembaga pendidikan diperbolehkan sepanjang tidak membawa atribut kampanye dan mendapatkan izin dari pengelola kampus.
Jauh sebelumnya, hakim konstitusi Saldi Isra sudah mendorong agar kampus tidak fobia politik dan menyambut baik kampanye di kampus.
Dalam catatan detikcom, Senin (21/8/2023), sikap dan pandangan Saldi Isra disampaikan dalam seminar di kampus pada Desember 2021.
"Kita terlalu fobia, tidak boleh politik di kampus. Di negara-negara maju pemimpin besar debatnya diadakan di kampus. Nggak apa-apa," kata Saldi.
Dalam mimbar debat itu, Saldi tidak mempermasalahkan bila akhirnya ada dosen yang pro-capres tertentu. Namun dalam batasan etika yang bisa dibenarkan.
"Oh misalnya dosen ini pro ke calon ini, dosen itu pro ke calon itu, sepanjang itu dalam perdebatan akademik, silakan saja. Yang tidak boleh adalah 'eh kamu harus pilih calon ini ya. Kalau tidak nilainya saya gagalkan'. Itu yang tidak boleh," ujar Saldi.
Debat capres yang berlokasi di kampus sempat menjadi perdebatan dalam Pilpres 2019. Kala itu, KPU dan Bawaslu menyatakan debat capres dan cawapres tidak boleh diselenggarakan di kampus. Argumennya Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu beserta penjelasannya.
Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu berbunyi:
Pelaksana, Peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Sementara itu, penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu berbunyi:
Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika Peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Kita terlalu fobia, tidak boleh politik di kampus. Di negara-negara maju pemimpin besar debatnya diadakan di kampus. Nggak apa-apaWakil Ketua MK Saldi Isra.
Sependapat dengan Saldi Isra, pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono juga tidak mempermasalahkan kampus jadi lokasi debat capres.
"Perguruan tinggi (kampus) jelas tidak terlarang sebagai tempat penyelenggaraan kampanye sepanjang memenuhi persyaratan," ujar Bayu pada 2018.
Persyaratan itu, pertama, kampanye dapat dilaksanakan di perguruan tinggi jika yang mengundang adalah dari pihak penanggung jawab perguruan tinggi seperti rektor.
Sepanjang peserta pemilu yang hadir tidak membawa atribut kampanye seperti bendera, kaus, dan atribut lainnya.
"Kedua kampanye dapat dilaksanakan di perguruan tinggi jika inisiatif untuk melaksanakan kampanye di kampus adalah dari penyelenggara pemilu (KPU)," ucap Bayu, yang kini Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej).
Larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h secara jelas ditujukan kepada pelaksana, peserta, dan tim kampanye.
Dengan demikian, larangan penggunaan perguruan tinggi sebagai tempat kampanye berlaku jika pemrakarsa/penyelenggara kampanye adalah pelaksana, peserta, dan tim kampanye.
"Padahal khusus untuk debat capres dan cawapres sebagai salah satu metode kampanye sesuai dengan Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 277 ayat (2) UU Pemilu secara jelas disebutkan difasilitasi dan diselenggarakan oleh KPU dan bukan oleh pelaksana atau tim kampanye," papar Bayu, yang juga Sekjen Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (AP HTN-HAN).
Secara sosiologis, pelaksanaan kampanye di kampus juga membawa manfaat bagi demokrasi. Sesuai Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, prinsip perguruan tinggi adalah pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika dan pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat.
"Melalui kampanye di kampus maka sivitas akademika baik dosen maupun mahasiswa dapat untuk menemukan kebenaran ilmiah atas berbagai visi misi dan program dari pasangan calon," kata Bayu menegaskan.
Hal ini pada akhirnya menyebabkan kalangan perguruan tinggi bisa berpartisipasi dalam pemberdayaan bangsa melalui fungsi kontrol akademik atas berbagai visi, misi dan program para calon dalam pemilu.
Dampak lanjutannya adalah para pemilih dalam Pemilu akan mendapat manfaat karena akan mendapat referensi yang cukup perihal kebenaran ilmiah program kerja calon yang mereka akan pilih dalam pemilu.
"Melalui kampanye di kampus makasivitasakademika baik dosen maupun mahasiswa dapat untuk menemukan kebenaran ilmiah atas berbagai visi misi dan program dari pasangan calon," beber Bayu.
Hal ini pada akhirnya menyebabkan kalangan perguruan tinggi bisa berpartisipasi dalam pemberdayaan bangsa melalui fungsi kontrol akademik atas berbagai visi, misi dan program para calon dalam pemilu.
Dampak lanjutannya adalah para pemilih dalam Pemilu akan mendapat manfaat karena akan mendapat referensi yang cukup perihal kebenaran ilmiah program kerja calon yang mereka akan pilih dalam pemilu.
"Terhadap kekhawatiran bahwa perguruan tinggi akan menjadi tidak netral maka hal tersebut bisa diantisipasi dengan menyerahkan kepada penyelenggara pemilu (KPU) untuk membuat pengaturan teknis yang secara ketat mencegah hal tersebut," kata Bayu.
Putusan MK
Pada Selasa, 15 Agustus 2023, MK memutuskan melarang total kampanye di tempat ibadah dan masih membolehkan 'kampanye'-dalam tanda kutip-di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintahan adalah Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023. Penggugatnya adalah Ong Yenni dan Handrey Mantiri.
Lewat putusan itu, MK menghapus Penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu. Adapun 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu direvisi. MK menyatakan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu diubah menjadi:
Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu
Sumber: detikcom
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »