Sosialisasi Putusan MK ini waktunya hampir bersamaan dengan momentum Peringatan Peristiwa Bali I yang diperingati setiap 12 Oktober setiap tahun. |
Putusan MK itu memperpanjang batasan jangka waktu permohonan bantuan medis, psikologis, psikososial dan kompensasi bagi korban terorisme masa lalu.
Tak ingin buang waktu, duet institusi pelaksana perlindungan korban terorisme ini langsung menggelar pertemuan dengan sejumlah pemangku kepentingan di Bali.
Pertama, sosialisasi Putusan MK kepada jajaran kepolisian, organisasi perangkat daerah di lingkungan pemerintah provinsi dan beberapa perwakilan rumah sakit, yang digelar di kantor Pemprov Bali, Kamis (10/10-2024).
Keesokan harinya, Jumat (11/10-2024, sosialisasi dilanjutkan dengan sasaran wartawan dari sejumlah media massa di Bali.
Dari acara bertajuk, “Ngobrol sambil Ngopi (NGOPI) bersama LPSK dan BNPT itu, diharapkan informasi mengenai putusan MK yang memperpanjang batasan jangka waktu permohonan bagi korban terorisme masa lalu, dapat tersiar lebih luas ke publik.
Sosialisasi Putusan MK ini waktunya hampir bersamaan dengan momentum Peringatan Peristiwa Bali I yang diperingati setiap 12 Oktober setiap tahun.
Korban terorisme masa lalu sendiri, dimaknai mulai dari Peristiwa Bali I pada 2002 hingga peristiwa terorisme lainnya sebelum tahun 2018, atau pada saat UU No. 5 Tahun 2018 diundangkan.
Wakil Ketua LPSK Mahyudin mengatakan, setelah adanya putusan MK itu, LPSK dan BNPT memiliki waktu hingga 2028 untuk menjangkau korban terorisme masa lalu yang belum mengajukan bantuan, baik medis, psikologis, psikososial dan kompensasi dalam kurun waktu 2018-2021 sebagaimana mandat UU No.5 Tahun 2018.
“Batasan jangka waktu yang cukup singkat menyebabkan masih ada korban yang belum mengajukan haknya,” kata Mahyudin.
Menurut Mahyudin, korban ingin disamakan haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (1) UUD 1945, yang menyebutkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”.
Batasan jangka waktu itu cukup singkat mengingat peraturan pelaksana baru terbit pada 2020 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2020.
“Efektif hanya tersedia waktu satu tahun untuk melakukan sosialisasi, penetapan korban, perhitungan dan penetapan kompensasi,” jelas Mahyudin.
Sementara itu, Direktur Perlindungan BNPT Imam Margono menyatakan, korban terorisme wajib dilindungi negara dan pelaksanaannya dilakukan oleh BNPT dan LPSK.
“Aturan lama (memberikan batasan jangka waktu) tiga tahun untuk identifikasi penyintas terorisme. Karena singkatnya waktu, belum semua penyintas berhasil diidentifikasi dan mendapatkan bantuan. Setelah uji materiil dikabulkan MK, BNPT dan LPSK langsung bergerak,” ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian terhadap uji materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme).
Dalam sidang pengucapan putusan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Kamis (29/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK itu, mahkamah menilai frasa “3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku” dalam Pasal 43L ayat (4) UU No. 5 Tahun 2018 adalah inkonstitusional secara bersyarat. Sehingga batasan jangka waktu diperpanjang menjadi 10 tahun terhitung sejak tanggal UU tersebut mulai berlaku.
Kolaborasi dan Proaktif LPSK dalam Penanganan Perkara TPPO di NTT
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Wawan Fahrudin menggelar pertemuan dengan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka koordinasi penanganan perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada Kamis (10/10/2024).
Dalam pertemuan tersebut, koordinasi dalam upaya pemenuhan hak saksi dan korban dan proaktif menjangkau korban TPPO dalam proses penegakan hukum dilakukan.
Ditemui oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT Zet Tadung Allo beserta Wakajati Ikhwan Nul Hakim dan Aspidum, Wawan menyampaikan perlunya kolaborasi dalam penguatan pemenuhan hak saksi dan korban dan koordinasi sejumlah penangan perkara TPPO di wilayah NTT.
“Kejaksaan adalah mitra strategis LPSK dalam mewujudkan pemenuhan hak saksi dan korban. Sejumlah penanganan TPPO dan TPKS di NTT kami koordinasikan dengan Kejaksaan Tinggi NTT,” ungkap Wawan.
LPSK pada 2024 (Januari-September) menerima 134 permohonan perlindungan dari wilayah NTT. Sedangkan pada 2023 LPSK menerima 231 permohonan perlindungan dari NTT, dengan tertiggi dalam perkara TPPO berjumlah 179 permohonan perlindungan.
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan kinerja dan pelayanan penyelenggaraan perlindungan saksi dan korban, Wawan juga melakukan pertemuan dengan Pj. Gubernur NTT Andriko Susanto membahas persiapan kantor Perwakilan di NTT.
“Kehadiran kantor Perwakilan LPSK di NTT penting dalam rangka memperluas jangkauan layanan LPSK. Sejumlah praktik baik pemerintah daerah yang membuat Perda perlindungan saksi dan korban juga kami diskuskan,” jelas Wawan.
Sebelumnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 13 September 2023 telah menyetujui pembentukan Perwakilan LPSK pada 3 (tiga) Provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, perkembangan informasi penanganan TPPO di NTT juga dikoordinasikan Wawan bersama Kepala BP3MI NTT Suratmi Hamida. Selanjutnya dilakukan upaya proaktif menjangkau permohonan perlindungan perkara TPPO kasus MK.
Korban mengajukan permohonan Pemenuhan Hak Prosedural, Bantuan Medis, Psikologis dan Fasilitasi Restitusi.
Dalam kesempatan tersebut, LPSK juga melakukan koordinasi dengan Polda NTT, fasilitasi penghitungan restitusi dalam perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual disabilitas intelektual dan sidang penetapan restitusi di Pengadilan Negeri Kupang. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »