Pelabuhan Israel Ditutup Akibat Krisis Keuangan Imbas Serangan Houthi

Pelabuhan Israel Ditutup Akibat Krisis Keuangan Imbas Serangan Houthi
Pelabuhan Eilat di Israel akan menghentikan seluruh operasinya mulai Minggu imbas serangan Houthi terhadap jalur pelayaran di Laut Merah.
BENTENGSUMBAR.COM
- Pelabuhan Eilat di Israel akan menghentikan seluruh operasinya mulai Minggu setelah gagal membayar utang menyusul penurunan tajam pendapatan yang dipicu oleh serangan Houthi terhadap jalur pelayaran di Laut Merah.

Laporan koran ekonomi Israel The Calcalist dan dikutip Middle East Eye, Jumat, 18 Juli 2025 menyatakan bahwa pemerintah kota Eilat membekukan rekening bank pelabuhan senilai sekitar 10 juta shekel atau sekitar Rp48 miliar karena tunggakan pajak.

Krisis ini terjadi setelah volume pengiriman barang menurun drastis akibat aksi kelompok Houthi yang menargetkan kapal-kapal yang terkait dengan Israel.

Dalam pernyataan resmi pada Rabu, Otoritas Pengiriman dan Pelabuhan Israel menyebutkan bahwa pelabuhan Eilat menghadapi krisis keuangan akut akibat konflik yang sedang berlangsung. 

"Pemerintah kota Eilat telah menyita seluruh rekening bank pelabuhan karena utang pajak yang belum dibayar," kata otoritas tersebut.

Akibatnya, otoritas pelabuhan menyatakan bahwa Eilat akan menghentikan seluruh aktivitasnya mulai Minggu mendatang.

Pendapatan pelabuhan Eilat sepanjang 2024 tercatat hanya 42 juta shekel atau sekitar Rp203 miliar, turun hampir 80 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 212 juta shekel atau sekitar Rp1 triliun. 

Penurunan itu terjadi karena sebagian besar pengiriman dialihkan ke pelabuhan Ashdod dan Haifa di Laut Tengah.

Sumber internal pelabuhan mengatakan kepada The Calcalist bahwa penutupan ini akan menjadi "simbol kemenangan Houthi dan kekalahan bagi ekonomi Israel".

Kelompok Houthi juga dikenal sebagai Ansar Allah melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang menuju Israel sejak pecahnya perang Gaza. 

Mereka menyebut aksi tersebut sebagai bentuk protes terhadap agresi militer Israel di wilayah Palestina.

Hingga saat ini, serangan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 58.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 140.000 lainnya, mayoritas perempuan dan anak-anak. 

Menurut Save the Children, sekitar 21.000 anak-anak dilaporkan hilang.

Pemerintah dinilai gagal bertindak

Anggota parlemen Israel dari Partai Yisrael Beiteinu, Oded Forer, menyebut penutupan pelabuhan sebagai "aib nasional". 

Ia mengatakan bahwa pemerintah telah gagal melindungi jalur perdagangan di selatan negara itu.

“Kami sudah berkali-kali memperingatkan potensi keruntuhan pelabuhan Eilat karena kelambanan dalam menghadapi ancaman Houthi. Bukannya bertindak tegas, pemerintah malah membiarkan pelabuhan ini runtuh diam-diam,” ujar Forer yang juga menjabat Ketua Komite Penguatan dan Pengembangan Negev dan Galilea di Knesset.

“Setiap hari yang berlalu berarti kerugian tambahan bagi daerah pinggiran, perekonomian, dan kedaulatan negara ini,” tambahnya.

Sebelum perang, pelabuhan Eilat banyak memperoleh pendapatan dari aktivitas bongkar muat mobil baru yang diimpor ke Israel. 

Pada 2023, sekitar 150.000 unit kendaraan dibongkar di pelabuhan ini dari total 134 kapal yang merapat. 

Namun sepanjang 2024, tidak ada satu pun kendaraan yang dibongkar dan hanya 64 kapal yang tercatat bersandar.

Hingga Mei 2025, hanya enam kapal yang singgah di pelabuhan tersebut.

Bulan lalu, pemerintah Israel menyetujui hibah sebesar 15 juta shekel atau sekitar Rp72 miliar untuk membantu pelabuhan menutupi utangnya. 

Status pelabuhan Eilat bahkan sempat ditetapkan sebagai "aset nasional strategis".

Namun pihak manajemen pelabuhan menyebut dukungan tersebut tidak memadai.

Menurut pejabat pelabuhan, pemerintah berharap entitas swasta dapat bertahan selama hampir dua tahun tanpa dukungan berarti.

“Mereka melempar kami ke kawanan anjing. Ini menyedihkan. Ini adalah kemenangan bagi Houthi dalam perang melawan Eilat dan ekonomi Israel,” kata salah satu sumber internal kepada The Calcalist.

Dampak dari krisis keuangan ini juga dirasakan langsung oleh para pekerja. 

“Kami sempat memiliki 113 karyawan. Sekarang hanya tersisa 47 orang,” ujar ketua serikat pekerja pelabuhan. Ia menambahkan bahwa banyak pekerja kini tidak menerima gaji dan tidak memiliki tunjangan pengangguran. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »