| Yuli Wetri yang akrab disapa Mak Wet baru saja selesai menunaikan salat subuh. Sajadah dilipatnya. Hatinya tak tenang. |
Kota Padang memang dilanda hujan deras berkepanjangan ketika itu. Sudah hampir sepekan hujan turun tak henti. Namun Jumat subuh, 28 November 2025 itu merupakan hari yang mencekam bagi Mak Wet dan seluruh warga Kampung Apar, Koto Panjang, Koto Tangah.
Usai melipat sajadah, Mak Wet terus memandang ke luar jendela. Langit masih gelap. Air sungai yang berada tepat di belakang rumahnya perlahan mulai naik.
"Tiba-tiba air masuk rumah dengan kencang," ujar Mak Wet kepada Diskominfo saat diwawancarai di Rumah Khusus,tempat hunian sementara di Kecamatan Koto Tangah, Padang, Minggu (14/12/2025).
Derasnya air membuat Mak Wet kaget. Dirinya tak panik. Kedua anaknya, Serli dan Aura dipanggilnya. Melihat debit air semakin tinggi di dalam rumahnya, Mak Wet berusaha menyelamatkan diri.
Tujuannya ketika itu menyelamatkan anak-anaknya ke Musala yang letaknya tak jauh di arah depan rumahnya. Berbekal kasur, Mak Wet meletakkan anaknya yang masih berusia sebelas tahun, Aura, di atas kasur. Kasur itu didorongnya di atas air banjir yang semakin tinggi. Sementara anak satunya lagi, Serli mencoba berenang ke arah Musala.
Derasnya air banjir dilawan Mak Wet. Tangannya berpegang erat ke kasur. Tak lama suara seperti guruh terdengar jelas. Mak Wet terkejut dan melihat ke arah belakang. Terekam jelas di matanya, rumah tempatnya berteduh selama ini hanyut dibawa arus sungai.
Akibat kaget, kasur yang didorongnya terbalik. Anaknya, Aura jatuh ke dalam air dan megap-megap. Mak Wet mencoba menolong. Kuatnya arus membuatnya kewalahan.
Beruntung, di depannya ada dua batang pohon kelapa. Air berputar di kedua batang pohon kelapa yang berdekatan. Arus membawanya ke arah pohon tersebut. Satu batang didekapnya. Begitu juga Aura yang memeluk batang satu lagi.
"Kami berpegangan di masing-masing pohon kelapa waktu itu," kenang Mak Wet.
Air terus naik ke arah dada. Mak Wet kemudian memanjat pohon kelapa. Melihat ibunya memanjat pohon, Aura juga begitu. Dipanjatnya setinggi-tingginya.
Sehabis-habis nafas Mak Wet naik ke atas pohon. Begitu juga Aura. Dari atas pohon kelapa, Mak Wet melihat langsung keganasan air sungai yang menghondoh apa saja. Tidak saja air yang datang, gelondongan kayu juga menerjang rumah hingga hancur.
"Saya lihat langsung bagaimana derasnya air menghantam rumah, seperti mau kiamat rasanya," ujar Mak Wet.
Mak Wet dan anaknya berteriak minta tolong. Sekuat hati meminta tolong, namun tak ada satupun yang datang menolong. Karena warga lain sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Pohon kelapa didekapnya erat-erat. Tergelincir sedikit, Mak Wet bisa saja terjatuh dan dibawa arus. Tangannya kuat mencengkram. Sesekali Mak Wet menatap ke arah pohon sebelah tempat anaknya berpegang kuat.
"Saya selalu berdoa kepada Allah, diselamatkan dan air cepat surut," sebut wanita yang sudah lama ditinggal mati suaminya itu.
Hujan terus turun meski tak sederas tadi. Mak Wet dan anaknya masih berada di atas pohon kelapa. Dingin menyergapnya.
Kurang lebih tiga jam bertahan di atas pohon kelapa, akhirnya air menyusut. Tenaganya hampir habis. Perlahan Mak Wet turun dari pohon kelapa. Anaknya juga begitu dan dirangkulnya sambil menangis.
"Saya mengucap Hamdallah berkali-kali. Allah telah menyelamatkan kami," ungkap wanita yang bekerja di Pondok Pesantren Arrisalah itu.
Mak Wet lantas teringat Serli. Bergegas dirinya menuju Musala mencari anaknya yang tadi sempat berenang. Setiba di Musala, Mak Wet mendapati Serli. Didekapnya anaknya itu dan menangis sejadi-jadinya.
Seluruh warga Kampung Apar kemudian dibawa mengungsi ke Masjid Al Hijrah. Posko pengungsian didirikan. Begitu juga dapur umum bagi warga.
Mak Wet memang punya saudara. Rumahnya bersebelahan. Kedua saudaranya juga ikut selamat saat banjir bandang. Namun mereka sama-sama tak memiliki rumah.
Dua pekan lebih di pengungsian, akhirnya Mak Wet dan saudaranya memilih menetap di hunian sementara (Huntara) yang disiapkan Pemko Padang. Di Kampung Nelayan, Kecamatan Koto Tangah, Mak Wet merasa tenang. Huntara menjadi rumahnya menetap sementara, sebelum pemerintah menyiapkan rumah tetap bagi seluruh korban banjir yang rumahnya hanyut terbawa arus.
"Alhamdulillah ada tempat menetap sementara, terimakasih kepada Pemko Padang," ungkap Mak Wet.
Pemko Padang memang telah menyiapkan 80 unit rumah bagi korban banjir. Rumah dua kamar itu lengkap dengan perabotan. Penghuni dijamin betah berada di sana. Kesehatan mereka dijaga.
Kini Mak Wet dan anaknya sudah tenang di Huntara. Banjir tak meluluhkan semangatnya. Dirinya berharap segera mendapatkan rumah baru pengganti rumahnya yang hanyut. Semoga.(Charlie Ch. Legi)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »