*** Sekapur Sirih ***
Tulisan ini bersumber dari karya C. Spat, Profesor di Universitas Utrecht, yang termuat dalam publikasi "De rijkseenheid; staatkundig economisch weekblad ter versterking van de banden tusschen Nederland en de Indiën" Volume 2, tahun 1931.
Profesor Spat menyajikan sebuah narasi sejarah yang epik, di mana arena adu ayam menjadi panggung bagi pertarungan nasib antara dua kekuatan besar maritim Nusantara.
Kisah yang diambil dari manuskrip kuno (seperti Silsilah Melayou dan Bouguis) ini mengisahkan pertemuan Raja Cholan dari Minangkabau melawan Opou Daeng ri Lacca, bangsawan Bugis dari Luwu, di Kamboja.
Peristiwa ini bukanlah sekadar perjudian, melainkan pertaruhan yang melibatkan kekayaan, kapal, dan bahkan keluarga, dipicu oleh keangkuhan dan diakhiri oleh kecerdasan yang memanfaatkan kekuatan magis dari sebilah taji.
Kisah ini menjadi cermin dinamika sosial, ekonomi, dan intrik kedaulatan yang membentuk interaksi antar-kerajaan di Asia Tenggara pada abad ke-18.
Berikut adalah artikel sejarah yang disusun dan disunting menurut aslinya tanpa penambahan ataupun penyisipan yang dapat merubah makna dan inti cerita.
** Sekilas latar tradisi adu Ayam
Di antara beberapa suku dari ras Melayu, dapat ditemukan banyak orang yang sangat gemar pada dadu dan taruhan. Terutama dalam adu hewan, sejumlah besar uang dipertaruhkan, dan dahulu sering kali diletakkan pada salah satu pihak, sama seperti yang dilakukan di negara-negara Barat untuk pacuan kuda. Dari semua jenis adu hewan, adu ayam selalu menjadi yang paling populer.
Tampaknya di masa lalu, adu ayam begitu mendalam, hingga di Bali, dan juga di tempat lain, pernah terjadi bahwa para penjudi yang bersemangat, setelah kehilangan semua harta benda mereka, akhirnya mempertaruhkan istri dan anak-anak agar setidaknya dapat ikut serta dalam permainan. Meskipun pertarungan adu ayam hari ini jauh lebih jarang daripada dulu karena pemerintah menentang hiburan yang kejam ini, jelas tidak mungkin untuk selalu dan di mana saja melaksanakan pengawasan yang diperlukan. Melalui sarana transportasi modern, terutama bus, dimungkinkan bahkan bagi mereka yang tinggal jauh untuk mudah mencapai "medan pertempuran." Tidak mengherankan, lebih dari satu penduduk Bali akan dengan senang hati mengeluarkan sedikit uang receh untuk memiliki kesempatan memenangkan sejumlah kecil uang dalam taruhan, di lokasi yang jauh dari rumahnya.
** Filosofi Ayam Aduan dan Aturan Pertarungan
Pemilik ayam aduan yang baik adalah sosok yang terpandang yang menjalankan semacam profesi yang menguntungkan. Namun, risikonya besar, sebab tindakan dalam usaha semacam itu adalah investasi yang sangat spekulatif. Nilai hewan tersebut bergantung pada banyak elemen yang diketahui oleh para ahli, terutama warna bulunya dan juga tempat kelahirannya—singkatnya, pada kualitas dan kekuatan rahasia serta magis. Oleh karena itu, sudah pasti bahwa hewan tersebut dirawat dan diperlakukan dengan prosedur khusus yang hanya diketahui oleh para ahli. Ayam jago tersebut tidak hanya harus lincah dan kuat, tetapi terutama harus **"panas,"** penuh semangat untuk bertarung!
Jika pemiliknya adalah seorang Muslim, ia akan melakukan operasi kecil pada jengger ayam, yang konon melambangkan sunat. Ayam yang beruntung akan memberikan keuntungan besar bagi tuannya; modal yang diinvestasikan akan segera kembali, dan bahkan memberikan dividen yang besar. Namun, semua modal ini dapat juga hilang dalam satu kali pukulan.
Ada beberapa aturan untuk pertarungan, yang memiliki kekhasan tersendiri bagi setiap suku. Hampir di mana pun, hewan yang akan bertarung tidak boleh ditempatkan dalam kondisi yang tidak setara secara buatan. Mereka dipasangi taji buatan berbentuk tombak tajam. Kondisi di mana pertarungan akan berlangsung ditetapkan di muka di hadapan saksi-saksi, dan wasit harus memastikan bahwa semuanya berjalan adil.
** Pertarungan yang Terkenal: Konflik Minangkabau-Bugis di Kamboja
Sekitar dua ratus tahun yang lalu, sebuah pertarungan adu ayam yang aneh dan menjadi terkenal terjadi di kota Kamboja. Peristiwa ini telah dijelaskan dalam beberapa manuskrip Melayu, dikenal dengan nama Silsilah Melayou dan Bouguis, Sejarah Raja Raja Riau" (Kronik Raja-Raja Riau), dan lain-lain.
Pemilik ayam aduan adalah Raja Cholan dari Minangkabau, di Sumatra Barat, dan Opou Daeng ri Lacca dari Luwu, negara Bugis di Sulawesi, sekitar Teluk Bone.
Waktu kejadian dapat ditentukan kira-kira dari data berikut: Pada awal abad ke-18, Sultan Johor, Abdou'l Jalil Ri'ayat Shah, memindahkan kediamannya dari Johor di Semenanjung Malaka, ke Pulau Riau, kemungkinan besar karena gangguan dari suku Bugis. Pada tahun 1719, Abdou'l-Jalil diusir dari Riau oleh Raja Kechik dari Siak. Raja Kechik ini menculik dua putra Sultan, Solaiman dan Abdou'l-Rahman. Ayah mereka, yang melarikan diri ke Malaka, dibunuh atas perintah Kechik. Raja Kechik pada gilirannya diusir dari Riau oleh suku Bugis, yang menempatkan Solaiman di takhta Johor, dengan Riau sebagai kediamannya. Daeng Maréwa dan Daeng Perani adalah pemimpin suku Bugis dalam usaha ini, dan mereka adalah putra dari Opou Daeng ri Lacca. Opou Daeng ri Lacca sendiri memiliki lima putra dari ibu yang sama dan silsilahnya dapat ditelusuri kembali hingga Ja Putri Balkis, Ratu Sheba yang legendaris, yang menurut Muslim menjadi istri Raja Sulaiman.
** Persiapan dan Senjata Rahasia Bugis
Opou Daeng ri Lacca berangkat bersama keluarganya ke barat untuk mencoba peruntungan. Ia mula-mula tinggal di daerah Topemane (?), dan di sana ia mendapatkan keris dan taji ayam aduan, yang ditempa dari sepotong besi yang ditemukan di dalam pohon. Besi ini memiliki kekuatan magis beracun sedemikian rupa sehingga luka terkecil yang ditimbulkannya bersifat mematikan. Selanjutnya para pelancong tinggal di Bone, Makassar, dan Batavia. Seorang saudara D. ri Lacca, yang telah membantu Kompeni (Hindia Belanda) melawan Surakarta, diangkat menjadi kepala koloni Bugis di Batavia dengan gelar "Mayor Bugis." Daeng ri Lacca meminjam uang dari saudaranya ini untuk membeli perahu. Kemudian ia berangkat ke pulau Siantan, tempat putranya Perani menikah.
Tidak lama kemudian, Perani bergabung dengan ayah dan saudara-saudaranya untuk pergi ke Malaka. Di sana, mereka menerima kabar bahwa seorang Raja Cholan dari Sumatra Barat—mungkin masih keturunan dari para pangeran kuno Deccan—telah berangkat ke Kamboja dengan ayam aduan dari Minangkabau. Ayam jago ini memiliki kekuatan sedemikian rupa sehingga ketika ia menegakkan bulunya dan mulai berkokok, tiang-tiang kapal layar (yacht) Cholan ikut bergetar. Tidak ada ayam jago lain yang bisa mengalahkan spesimen indah berbulu putih ini; bahkan tidak mungkin untuk meminta pengembalian taruhan!
Pemiliknya mencari seseorang yang berani menarungkan ayamnya melawan ayamnya, dengan syarat bahwa, seandainya Cholan kalah, kapal layarnya, termasuk awak dan muatannya, akan menjadi milik pemenang. Cholan sendiri dan istrinya akan meninggalkan kapal tersebut, hanya mengenakan ikat pinggang.
** Kecerdikan dan Peti Batu
Mendengar kabar ini, Opou Daeng ri Lacca berunding dengan putra-putranya. Mereka memutuskan untuk mengambil risiko: bukankah mereka memiliki taji yang mematikan itu?
Agar dapat memasang taruhan yang sepadan dengan Raja Cholan, mereka membuat selusin peti, masing-masing dengan panjang satu tombak dan lebar serta tinggi setengah tombak. Semua dua belas peti diisi dengan batu dan ditutup rapat. Ayah dan Anak sepakat untuk mengatakan bahwa peti-peti itu berisi emas, real, dolar, dan dukat. Ketika salah satu putra menyanggah, "jika mereka ingin melihat isinya terlebih dahulu?", sang ayah menjawab: "Kami tidak akan mengizinkannya. Jika mereka tidak percaya pada perkataan kami, kami akan mengatakan bahwa pertarungan tidak akan terjadi. Kami adalah bangsawan Bugis, dan adat kami tidak mengizinkan kami berurusan dengan orang yang menunjukkan ketidakpercayaan yang menghina. Lebih baik mati daripada menanggung penghinaan!"
Setelah mencapai kesepakatan, suku Bugis berlayar menuju Kamboja, meminta audiensi kepada raja. Raja Kamboja menanyakan tujuan kunjungan mereka. Mereka memberikan jawaban tradisional: "Kami tidak memiliki tujuan lain selain menawarkan layanan kami, karena telah mendengar tentang kejujuran Yang Mulia dan perlindungan Anda terhadap pedagang asing di negara Anda." Raja kemudian memerintahkan Syahbandar untuk memperlakukan orang asing itu sebagai tokoh penting.
** Penentuan Pertarungan dan Jaminan Kontrak
Dalam audiensi berikutnya, raja menceritakan kepada Opou Daeng ri Lacca tentang kehadiran Raja Cholan dan taruhannya. Suku Bugis menyatakan bahwa mereka mencari ayam jago untuk diadu melawan ayam Cholan, dan bahwa mereka mempertaruhkan perahu dan muatannya—dan muatan yang luar biasa!—melawan taruhan Cholan. Segera raja Kamboja memerintahkan Syahbandar untuk menilai perahu suku Bugis dan isinya. Nilainya dinilai tidak lebih rendah dari kapal layar Cholan, sehingga masalah taruhan telah diselesaikan!
Raja Cholan diundang untuk menunjukkan ayamnya keesokan harinya. Suku Bugis mempelajari ayam putih lawan mereka secara menyeluruh, lalu berhasil membeli ayam jago yang bagus seharga seperempat thail emas. Itu adalah hewan berwarna emas dan berbintik-bintik, dengan paruh kuning, memiliki bulu telinga putih di kiri dan kanan, dan dengan kaki biru.
Persyaratan taruhan diulang kembali. Suku Bugis meminta penundaan satu minggu lagi untuk mempersiapkan ayam mereka bertarung, yang segera dikabulkan Raja Cholan. Raja juga mengingatkan kembali aturan-aturan untuk adu ayam yang jujur yang berlaku di negaranya. Untuk memastikan tidak ada pihak yang melanggar kontrak di saat-saat terakhir, raja menugaskan Syahbandar untuk melepas kemudi dari kapal Cholan dan Daeng ri Lacca, dan menyimpannya.
** Klimaks: Kemenangan Taji Kerami
Pada hari yang ditetapkan, pukul 3 sore, pihak-pihak yang bertarung, wasit, saksi, dan kerumunan besar berkumpul. Raja Cholan dan Opou Daeng ri Lacca memperbarui janji taruhan mereka. Ikat biasa dipasang di sekitar kaki kedua ayam, dan masing-masing dilengkapi dengan taji buatan dari baja. Hewan-hewan itu ditempatkan saling berhadapan, dielus, dihidupkan, dan dilepaskan tepat pada saat yang sama.
Ayam putih Cholan, yang sangat bersemangat untuk bertarung karena telah diikat pada rantainya selama berhari-hari, segera memulai serangan. Ia menerjang musuhnya seperti binatang buas, dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga ayam berbintik-bintik tidak punya waktu untuk menghindar dan menerima pukulan bertubi-tubi dari paruh yang kuat. Hanya perlu sedikit waktu bagi salah satu sayapnya untuk terkulai, dan hasil pertarungan tampaknya pasti.
Namun, meskipun ayam berbintik-bintik hanya bisa mengepak dengan satu sayap, dan telah terlempar ke punggungnya, kakinya masih utuh dan kuat, sehingga ia menendang dengan panik. Ayam putih berputar-putar di sekitarnya, mendekat, mundur, mendekat lagi.
Di kedua kubu, para petarung disemangati. Suku Bugis berteriak: "Semangat! Ayam berbintik paruh kuning, bulu telinga putih dan kaki biru; kau membawa taji keberuntungan! Baja itu ditemukan di batang pohon, mereka menjadikannya keris dan taji ini. Namanya Kerami. Itu yang ada di kakimu. Semangat!"
Tiba-tiba, ayam putih terbang sekitar lima belas tombak tingginya; bulu-bulu berhamburan, dan seperti batu, ayam putih jatuh ke tanah, Mati!
Segera wasit berlari, mengambil ayam berbintik-bintik untuk menempatkannya di atas ayam putih. Tiga kali ia mematuk kepalanya. Pertarungan telah diputuskan; ayam berbintik-bintik adalah pemenangnya, suku Bugis telah memenangkan kekayaan. Raja Cholan memeriksa ayam putihnya, tidak ada luka, kecuali tanda berdarah kecil di tepi paruh; kulit di bawah bulunya kebiruan—sebuah petunjuk racun taji Kerami.
** Warisan Kemenangan
Persyaratan dipenuhi dengan cermat: Raja Cholan hanya menyimpan satu ikat pinggang untuk dirinya sendiri dan satu untuk istrinya. Suku Bugis tinggal di Kamboja hanya selama waktu yang benar-benar diperlukan. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada raja dan para pembesar negeri, mereka berlayar ke pulau Siantan. Di sana, Perani mengetahui bahwa istri mudanya telah memberinya seorang putra. Suku Bugis tinggal lama di Siantan, dan Perani kemudian dikaruniai seorang putri.
Dengan uang yang mereka menangkan, mereka membeli enam perahu. Dengan armada kecil ini, saudara-saudara itu kemudian beroperasi di bagian selatan Laut Cina, mengukuhkan basis kekuatan maritim mereka.
Sejarah tidak lagi banyak berbicara tentang ayah, Opou Daeng ri Lacca. Hanya dikatakan bahwa tidak diketahui apakah ia meninggal di Siantan, atau apakah ia meninggal dalam perjalanan kembali ke tanah airnya, atau apakah ia masih tiba di sana dalam keadaan hidup. Penulis menutup kisahnya tentang pria terkenal ini dengan istilah yang biasa: **wa'llahou a'lam** (hanya Allah yang Maha Tahu).
*** Epilog ***
Penutup dari kisah yang disajikan oleh Profesor C. Spat ini menggarisbawahi bahwa kemenangan Bugis di Kamboja atas Minangkabau adalah sebuah titik balik historis yang jauh melampaui keramaian arena adu ayam.
Opou Daeng ri Lacca, melalui taji magis yang disebut Kerami dan kecerdasan strategisnya, berhasil memenangkan kapal layar, awak, dan kekayaan yang signifikan. Harta ini kemudian diinvestasikan menjadi enam perahu, yang mengubah status keluarga Bugis tersebut menjadi kekuatan armada yang dominan. Armada inilah yang nantinya akan digunakan oleh putra-putranya untuk berintervensi dalam politik Kesultanan Johor-Riau, mengamankan takhta, dan menetapkan dominasi Lima Bersaudara Bugis di wilayah Selat Malaka.
Dengan mengakhiri kisah ini, Profesor Spat menawarkan kepada pembaca di Belanda pada tahun 1931 sebuah pemahaman bahwa sejarah Hindia Belanda dipenuhi dengan drama kepemimpinan, risiko besar, dan perubahan nasib yang cepat, yang semuanya membentuk kompleksitas hubungan antara Timur dan Barat. Akhir misterius Opou Daeng ri Lacca, ditutup dengan frasa *wa'llahou a'lam* (hanya Allah yang Maha Tahu), menegaskan perpaduan antara fakta sejarah dan legenda dalam narasi-narasi Nusantara.
Penulis : Marjafri - Jurnalis, pendiri dan ketua komunitas anak nagari Sawahlunto
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »