![]() |
Jokowi di Pasar Tradisional |
AKHIR-akhir ini, banyak sorotan yang dialamatkan kepada para pemimpin di negeri ini. Mulai dari gaya hidup yang bermewah-mewahan di tengah-tengah keprihatinan bangsa ini terhadap berbagai bencana yang menimpa anak negeri sampai kepada perilaku seks menyimpang.
Setiap hari media massa, baik cetak maupun elektronik memberitakan dugaan korupsi yang dilakukan pejabat, kroni pejabat, anak bini pejabat, bahkan selingkuhan pejabat itu sendiri. Perilaku yang korup dan hedonis ini membuat masyarakat antipati kepada para pemimpin mereka. Mereka mempertanyakan, dimana letaknya moral pemimpin bangsa ini?
Berbeda dengan yang ditunjukan Joko Widodo (Jokowi). Sejak menjadi Walikota Solo, dan menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi selalu tampil merakyat dan penuh kesederhanaan. Kesukaannya melakukan blusukan ke pemukiman warga, semata-mata bertujuan untuk mengenatahui kondisi riil warganya. Dia tidak ingin menerima laporan anak buahnya saja, tetapi ingin melihat langsung kehidupan rakyatnya.
Blusukan melihat kondisi warga yang sebenarnya mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia. Ketua Umum PDI-P didesak agar mencalonkan Jokowi sebagai Presiden Indonesia pada pilpres 9 Juli 2014. Desekan tersebut membuahkan hasil, Megawati dengan penuh keikhlasan memberikan mandat dan menugaskan kader terbaiknya itu maju dalam pilpres berhadap-hadapan dengan Prabowo Subianto.
Jokowi dalam tema besarnya mengusung 'Revolusi Mental." Menurut Karlina Supelli (Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta), istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda dunia.
Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Masih menurut Karlina Supelli, karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
Jokowi melihat mental bangsa ini memerlukan revolusi total untuk membangun negara ini. Mental yang baik, akan menghasilkan anak bangsa yang baik dan memiliki pengabdian tulus dalam membenahi bangsanya sendiri tanpa tergantung kepada bangsa lain. Tak hanya mental pejabat yang doyan korup yang harus diperbaiki, tetapi juga mental rakyat yang selama ini menyambut pesta demokrasi dengan 'ogah' juga harus diperbaiki. Jokowi merubah cara berfikir rakyat tentang politik. Dia melibatkan rakyat untuk aktif berpolitik. Salah satunya dalam bentuk rekening sumbangan dana kampanye dirinya sebagai calon Presiden (Caprdes), berduet dengan Cawapres Jusuf Kalla.
Revolusi mental tentu saja berkutat pada moral (bahasa Latin Moralitas-pen). Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya.
Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dan lain sebagainya.
Moral sebagai produk budaya sangat ditentukan oleh nilai-nilai hukum adat yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Misalnya saja di Minangkabau, seseorang yang telah diangkat menjadi kepala suku atau datuk atau ninik mamak bajinih adat terikat dengan aturan adat dalam bertingkah laku. Mereka tak boleh marah menyentakan kaki ke bumi, apatah lagi sampai melempar HP ke lawan bicara. Tak boleh berkata-kata kotor. Tingkah laku, perkataan, dan perbuatan yang akan dilakukan harus selaras dengan nilai-nilai adat.
Moral sebagai produk agama acap disebut dengan istilah akhlaq. Agama Islam memberikan aturan yang cukup rigit soal akhlaq pemimpin ini. Seorang pemimpin dalam Islam hendaklah memiliki akhlaq seperti akhlaqnya Rasulullah SAW. Sifat-sifat Nabi Muhammad SAW pun wajib mereka teladani. Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam ala al-raiyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran. Firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).
Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas. Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.
Kedua, harishun alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.
Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”
Dalam kajian siyasah Islamiyah seorang pemimpin haruslah amanah (dapat dipercaya), fathonah, siddiq (berkata benar), tabliq (menyampaikan), dan memiliki al qudwah (memiliki kekuatan yang menunjukan kemampuan dia dalam memimpin).
Dalam istilah Imam Ali, menantu dan sahabat Rasulullah SAW, pemimpin itu harus bisa melihat dengan mata rakyat, harus mengerti bahasa rakyat dan merasakan perasaan rakyat. Memajukan kemakmuran rakyat adalah tugas setiap pemimpin. Pemimpin yang memiliki moral atau akhlaq yang kuat, tentu tidak akan melakukan pembohongan kepada rakyat.
Begitu pentingnya komitmen kejujuran seorang pemimpin kepada rakyatnya, sampai-sampai Allah melalui lisan Nabi Muhammad SAW mengharamkan syurga bagi pemimpin yang mati dalam keadaan menipu rakyat.
"Seorang hamba yang dipikulkan oleh Allah untuk memimpin rakyat sedangkan ia mati yang pada waktu kematiannya itu ia dalam keadaan menipu pada rakyatnya, maka Allah akan mengharamkan baginya memasuki syurga." (HR Muslim).
Rakyat pun diharamkan taat kepada pemimpin yang tak bermoral yang suka membuat kezaliman. Rakyat dilarang mematuhi perintah pemimpin dalam hal maksiat kepada Allah. "Tidak boleh seseorang itu taat terhadap perintah bermaksiat pada Allah, sesungguhnya taat itu hanyalah dalam kebaikan." (HR. Muslim).
Namun rakyat wajib taat kepada pemimpin yang memiliki moral yang baik sesuai ajaran agama. "Barang siapa yang taat padaku (Nabi) maka ia taat pada Allah. Barangsiapa yang tidak patuh padaku maka ia tidak taat pada Allah. Barangsiapa yang taat kepada Amir (pemimpin) maka sesungguhnya ia taat padaku. Dan barangsiapa yang tidak taat pada Amir maka ia tidak taat padaku." (HR. Muslim).
Pemimpin yang bermoral tentunya bekerja keras untuk kemakmuran rakyatnya. Dia melihat dengan mata rakyat, berbicara dengan bahasa rakyat, dan menangis ketika melihat rakyatnya kelaparan dan dihimpit kemiskinan.
Ditulis Oleh :
Zamri Yahya, SHI
Mantan Wakil Sekretaris GP. Ansor Kota Padang)
Setiap hari media massa, baik cetak maupun elektronik memberitakan dugaan korupsi yang dilakukan pejabat, kroni pejabat, anak bini pejabat, bahkan selingkuhan pejabat itu sendiri. Perilaku yang korup dan hedonis ini membuat masyarakat antipati kepada para pemimpin mereka. Mereka mempertanyakan, dimana letaknya moral pemimpin bangsa ini?
Berbeda dengan yang ditunjukan Joko Widodo (Jokowi). Sejak menjadi Walikota Solo, dan menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi selalu tampil merakyat dan penuh kesederhanaan. Kesukaannya melakukan blusukan ke pemukiman warga, semata-mata bertujuan untuk mengenatahui kondisi riil warganya. Dia tidak ingin menerima laporan anak buahnya saja, tetapi ingin melihat langsung kehidupan rakyatnya.
Blusukan melihat kondisi warga yang sebenarnya mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia. Ketua Umum PDI-P didesak agar mencalonkan Jokowi sebagai Presiden Indonesia pada pilpres 9 Juli 2014. Desekan tersebut membuahkan hasil, Megawati dengan penuh keikhlasan memberikan mandat dan menugaskan kader terbaiknya itu maju dalam pilpres berhadap-hadapan dengan Prabowo Subianto.
Jokowi dalam tema besarnya mengusung 'Revolusi Mental." Menurut Karlina Supelli (Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta), istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda dunia.
Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Masih menurut Karlina Supelli, karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
Jokowi melihat mental bangsa ini memerlukan revolusi total untuk membangun negara ini. Mental yang baik, akan menghasilkan anak bangsa yang baik dan memiliki pengabdian tulus dalam membenahi bangsanya sendiri tanpa tergantung kepada bangsa lain. Tak hanya mental pejabat yang doyan korup yang harus diperbaiki, tetapi juga mental rakyat yang selama ini menyambut pesta demokrasi dengan 'ogah' juga harus diperbaiki. Jokowi merubah cara berfikir rakyat tentang politik. Dia melibatkan rakyat untuk aktif berpolitik. Salah satunya dalam bentuk rekening sumbangan dana kampanye dirinya sebagai calon Presiden (Caprdes), berduet dengan Cawapres Jusuf Kalla.
Revolusi mental tentu saja berkutat pada moral (bahasa Latin Moralitas-pen). Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya.
Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dan lain sebagainya.
Moral sebagai produk budaya sangat ditentukan oleh nilai-nilai hukum adat yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Misalnya saja di Minangkabau, seseorang yang telah diangkat menjadi kepala suku atau datuk atau ninik mamak bajinih adat terikat dengan aturan adat dalam bertingkah laku. Mereka tak boleh marah menyentakan kaki ke bumi, apatah lagi sampai melempar HP ke lawan bicara. Tak boleh berkata-kata kotor. Tingkah laku, perkataan, dan perbuatan yang akan dilakukan harus selaras dengan nilai-nilai adat.
Moral sebagai produk agama acap disebut dengan istilah akhlaq. Agama Islam memberikan aturan yang cukup rigit soal akhlaq pemimpin ini. Seorang pemimpin dalam Islam hendaklah memiliki akhlaq seperti akhlaqnya Rasulullah SAW. Sifat-sifat Nabi Muhammad SAW pun wajib mereka teladani. Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam ala al-raiyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran. Firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).
Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas. Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.
Kedua, harishun alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.
Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”
Dalam kajian siyasah Islamiyah seorang pemimpin haruslah amanah (dapat dipercaya), fathonah, siddiq (berkata benar), tabliq (menyampaikan), dan memiliki al qudwah (memiliki kekuatan yang menunjukan kemampuan dia dalam memimpin).
Dalam istilah Imam Ali, menantu dan sahabat Rasulullah SAW, pemimpin itu harus bisa melihat dengan mata rakyat, harus mengerti bahasa rakyat dan merasakan perasaan rakyat. Memajukan kemakmuran rakyat adalah tugas setiap pemimpin. Pemimpin yang memiliki moral atau akhlaq yang kuat, tentu tidak akan melakukan pembohongan kepada rakyat.
Begitu pentingnya komitmen kejujuran seorang pemimpin kepada rakyatnya, sampai-sampai Allah melalui lisan Nabi Muhammad SAW mengharamkan syurga bagi pemimpin yang mati dalam keadaan menipu rakyat.
"Seorang hamba yang dipikulkan oleh Allah untuk memimpin rakyat sedangkan ia mati yang pada waktu kematiannya itu ia dalam keadaan menipu pada rakyatnya, maka Allah akan mengharamkan baginya memasuki syurga." (HR Muslim).
Rakyat pun diharamkan taat kepada pemimpin yang tak bermoral yang suka membuat kezaliman. Rakyat dilarang mematuhi perintah pemimpin dalam hal maksiat kepada Allah. "Tidak boleh seseorang itu taat terhadap perintah bermaksiat pada Allah, sesungguhnya taat itu hanyalah dalam kebaikan." (HR. Muslim).
Namun rakyat wajib taat kepada pemimpin yang memiliki moral yang baik sesuai ajaran agama. "Barang siapa yang taat padaku (Nabi) maka ia taat pada Allah. Barangsiapa yang tidak patuh padaku maka ia tidak taat pada Allah. Barangsiapa yang taat kepada Amir (pemimpin) maka sesungguhnya ia taat padaku. Dan barangsiapa yang tidak taat pada Amir maka ia tidak taat padaku." (HR. Muslim).
Pemimpin yang bermoral tentunya bekerja keras untuk kemakmuran rakyatnya. Dia melihat dengan mata rakyat, berbicara dengan bahasa rakyat, dan menangis ketika melihat rakyatnya kelaparan dan dihimpit kemiskinan.
Ditulis Oleh :
Zamri Yahya, SHI
Mantan Wakil Sekretaris GP. Ansor Kota Padang)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »