![]() |
| Oleh: Denny Siregar, Pengamat Sosial, Politik, Budaya dan Agama. |
PERNAHKAH anda meledak dengan kemarahan ? Marah karena dikhianati ? Marah karena kehilangan ? Marah kepada situasi ?
Fase meledak itu seperti gunung yang memuntahkan lahar. Rasa perih di dada seperti akar yang dicabut dari hati dengan paksa. Kita menamakannya dengan emosi.
Sesudah itu muncul fase bertanya yang memenuhi kepala. Kenapa ? Kenapa dia melakukan itu ? Kenapa dia tega ? Kenapa dia begitu ? Kenapa dan kenapa...
Dan telunjuk hati selalu mengarah kepada dia. Kita menuntut jawaban. Ketika pertanyaan itu akhirnya terlontar melalui bibir, kita semakin meledak mendengar jawaban. Kita menuntut jawaban yang lebih dengan pertanyaan yang kembali datang.
Lihat, bahwa emosi itu membentuk kita menjadi manusia egois. Kita menuntut semua jawaban mampu mendinginkan hati, tapi ternyata tidak pernah bisa. The truth is, kita tidak perlu jawaban. Apapun itu. Kita hanya ingin diri kita nyaman.
Masuk pada fase diam, kita bercermin dan melihat diri kita. Tidak seharusnya kita bertanya kepadanya, karena kita sebenarnya tidak membutuhkan jawabannya.
Peristiwa meledaknya diri adalah sebuah guncangan keras untuk menyadarkan diri kita bahwa terjadi retakan dalam diri yang merubah segalanya. Tuhan mendewasakan kita melalui sebuah guncangan. Retakan itu membentuk parut didalam jiwa yang menanda-kan bahwa kita tumbuh.
Tidak perlu melihat orang lain, karena itu adalah urusannya dengan Tuhannya. Ketika kita mampu menemukan diri kita melalui guncangan-guncangan itu, maka dia juga akan melalui proses yang sama.
Lihat, betapa indahnya karya Tuhan dalam melukis masalah dan menyapukan solusinya. Ah, kenapa tidak kita serahkan saja semua pada-Nya ?
Pagi ini kopi terasa nikmat sekali saat bibir mengucap "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.." sebelum menghirup nikmatnya. Begitulah tauhid bekerja, selalu nikmat pada akhirnya.
Fase meledak itu seperti gunung yang memuntahkan lahar. Rasa perih di dada seperti akar yang dicabut dari hati dengan paksa. Kita menamakannya dengan emosi.
Sesudah itu muncul fase bertanya yang memenuhi kepala. Kenapa ? Kenapa dia melakukan itu ? Kenapa dia tega ? Kenapa dia begitu ? Kenapa dan kenapa...
Dan telunjuk hati selalu mengarah kepada dia. Kita menuntut jawaban. Ketika pertanyaan itu akhirnya terlontar melalui bibir, kita semakin meledak mendengar jawaban. Kita menuntut jawaban yang lebih dengan pertanyaan yang kembali datang.
Lihat, bahwa emosi itu membentuk kita menjadi manusia egois. Kita menuntut semua jawaban mampu mendinginkan hati, tapi ternyata tidak pernah bisa. The truth is, kita tidak perlu jawaban. Apapun itu. Kita hanya ingin diri kita nyaman.
Masuk pada fase diam, kita bercermin dan melihat diri kita. Tidak seharusnya kita bertanya kepadanya, karena kita sebenarnya tidak membutuhkan jawabannya.
Peristiwa meledaknya diri adalah sebuah guncangan keras untuk menyadarkan diri kita bahwa terjadi retakan dalam diri yang merubah segalanya. Tuhan mendewasakan kita melalui sebuah guncangan. Retakan itu membentuk parut didalam jiwa yang menanda-kan bahwa kita tumbuh.
Tidak perlu melihat orang lain, karena itu adalah urusannya dengan Tuhannya. Ketika kita mampu menemukan diri kita melalui guncangan-guncangan itu, maka dia juga akan melalui proses yang sama.
Lihat, betapa indahnya karya Tuhan dalam melukis masalah dan menyapukan solusinya. Ah, kenapa tidak kita serahkan saja semua pada-Nya ?
Pagi ini kopi terasa nikmat sekali saat bibir mengucap "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.." sebelum menghirup nikmatnya. Begitulah tauhid bekerja, selalu nikmat pada akhirnya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »
