![]() |
Oleh: Zamri Yahya* |
DIALAM demokrasi, semua orang bebas untuk menentukan pilihan politiknya. Apatah lagi, pilihan-pilihan politik tersebut berkaitan langsung dengan karir atau usaha yang dijalani.
Di era pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, bukan rahasia lagi, jika Aparatur Sipil Negara (ASN) terlibat politik praktis dalam mendukung seorang calon kepala daerah. Dukungan yang diberikan kebanyakan secara tidak langsung, walau ada sebagian yang terang-terangan memberikan dukungan, misalnya dalam bentuk pendanaan dan mobilisasi masa.
Padahal, aturan yang ada secara tegas melarang ASN terlibat politik praktis. Jika kedapatan memberikan dukungan kepada calon kepala daerah tertentu, ASN tersebut bisa-bisa mengalami sanksi pemecatan. Namun masih saja ada yang melanggar aturan tersebut dengan memberikan dukungan nyata kepada calon kepala daerah tertentu.
Sebalik, ASN yang mendukung calon kepala daerah tidak terpilih berusaha mencari peluang untuk dekat dengan kepala daerah terpilih. Semua jalur dan simpul politik yang ada mereka memanfaatkan demi bertahan pada jabatan yang mereka pegang dan tidak diparkir oleh kepala daerah terpilih.
Apalagi menjelang mutasi pejabat, ASN yang tidak mendukung kepala daerah terpilih 'mati kecemasan' karena takut tak mendapat jabatan alias diparkir. Namun, ASN yang mendukung kepala daerah terpilih merasa berada pada posisi 'aman' dan berpeluang besar untuk menduduki posisi jabatan tertentu.
Apakah pilkada langsungnya yang salah? Tentu saja tidak. Kesalahan terdapat pada ketegasan dalam menerapkan aturan di negara ini. Kalau aturan pelarangan ASN terlibat politik praktis dalam dukung mendukung calon kepala daerah pada pilkada ditegakan dengan benar dan Bawaslu sebagai alat negara dalam mengawasi pilkada benar-benar bekerja sesuai tupoksinya, maka persoalan ini tidak akan muncul.
Ironisnya, kenyataan yang ada adalah seakan ASN yang 'tercium' terlibat politik praktis dalam mendukung calon kepala daerah tertentu, "tidak tersentuh" oleh Bawaslu sebagai wasit dalam pelaksanaan pilkada. Bawaslu pun terkesan mandul dalam hal ini, sehingga terjadilah persoalan tersebut. Jika Bawaslu bertindak tegas, tentulah ASN tak berani bermain "api" politik praktis tersebut.
(Penulis adalah mantan Ketua Bidang Kajian Stategis KAMMI Komisariat IAIN Imam Bonjol Padang)
Di era pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, bukan rahasia lagi, jika Aparatur Sipil Negara (ASN) terlibat politik praktis dalam mendukung seorang calon kepala daerah. Dukungan yang diberikan kebanyakan secara tidak langsung, walau ada sebagian yang terang-terangan memberikan dukungan, misalnya dalam bentuk pendanaan dan mobilisasi masa.
Padahal, aturan yang ada secara tegas melarang ASN terlibat politik praktis. Jika kedapatan memberikan dukungan kepada calon kepala daerah tertentu, ASN tersebut bisa-bisa mengalami sanksi pemecatan. Namun masih saja ada yang melanggar aturan tersebut dengan memberikan dukungan nyata kepada calon kepala daerah tertentu.
Ironisnya, setelah pilkada usai, gesekan antar ASN pun terjadi. ASN yang mendukung kepala daerah terpilih merasa lebih berhak diutamakan pada jabatan tertentu daripada ASN yang tidak mendukung calon kepala daerah yang tidak terpilih.
Sebalik, ASN yang mendukung calon kepala daerah tidak terpilih berusaha mencari peluang untuk dekat dengan kepala daerah terpilih. Semua jalur dan simpul politik yang ada mereka memanfaatkan demi bertahan pada jabatan yang mereka pegang dan tidak diparkir oleh kepala daerah terpilih.
Apalagi menjelang mutasi pejabat, ASN yang tidak mendukung kepala daerah terpilih 'mati kecemasan' karena takut tak mendapat jabatan alias diparkir. Namun, ASN yang mendukung kepala daerah terpilih merasa berada pada posisi 'aman' dan berpeluang besar untuk menduduki posisi jabatan tertentu.
Apakah pilkada langsungnya yang salah? Tentu saja tidak. Kesalahan terdapat pada ketegasan dalam menerapkan aturan di negara ini. Kalau aturan pelarangan ASN terlibat politik praktis dalam dukung mendukung calon kepala daerah pada pilkada ditegakan dengan benar dan Bawaslu sebagai alat negara dalam mengawasi pilkada benar-benar bekerja sesuai tupoksinya, maka persoalan ini tidak akan muncul.
Ironisnya, kenyataan yang ada adalah seakan ASN yang 'tercium' terlibat politik praktis dalam mendukung calon kepala daerah tertentu, "tidak tersentuh" oleh Bawaslu sebagai wasit dalam pelaksanaan pilkada. Bawaslu pun terkesan mandul dalam hal ini, sehingga terjadilah persoalan tersebut. Jika Bawaslu bertindak tegas, tentulah ASN tak berani bermain "api" politik praktis tersebut.
(Penulis adalah mantan Ketua Bidang Kajian Stategis KAMMI Komisariat IAIN Imam Bonjol Padang)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »