![]() |
Keluarga Ini Terlihat Bahagia Saat Memilah Jamur Sawit. |
BentengSumbar.com --- Semenjak berhenti bekerja sekitar 5 tahun lalu, sebagai buruh panen Tandan Buah Segar (TBS) di salah satu perusahaan perkebunan di Kabupaten Mukomuko. Pasangan suami istri (Pasutri), Rakiman (50) dan Suparni (49), perantau asal Jawa Tengah yang tinggal di Pasar Sebelah, Kabupaten Mukomuko terpaksa harus bekerja serabutan. Pasangan ini terpaksa bertahan hidup dari hasil berburu jamur sawit. Hasil dari penjualan jamur sawit, sekedar cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan 3 orang putranya.
Yuyun Wahyu Oprianti putra pertamanya, sebentar lagi akan menamatkan pendidikan, saat ini sudah duduk di bangku kelas IX SMPN 3 Mukomuko. Tentu akan mengeluarkan biaya besar untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SLTA. Karena tak ingin anaknya putus sekolah, Pasutri ini mulai menyisihkan sisa uang belanjaan harian keluarga, sebagai tabungan untuk biaya masuk sekolah anaknya. Selain itu, putra keduanya, Sapriani, masih di bangku kelas V SD Pasar Sebelah dan Aris kelas I SD Pelokan.
Keluarga yang hidup pas-pasan ini, tinggal di gubuk ukuran 6 x 6 meter yang dibangun di atas tanah pinjam pakai milik salah seorang dermawan. Harus bagaimana lagi, tak khayal ingin membeli lahan dan membangun rumah bagus, untuk makan saja masih untung terpenuhi. Namun semakan Pasutri ini, tak pernah pudar. Saban hari mereka selalu bersama untuk menyisiri kawasan perkebunan sawit untuk mencari sumber penghasilan.
Jamur sawit hasil pencariannya, dibersihkan satu per satu. Kemudian dibagikan dalam kantong asoi sebelum dijaja keliling kampung. Jangan harap mendapatkan hasil yang banyak dari penjualan jamur sawit ini. Tergantung dengan banyaknya pendapatan jamur yang terjual. Terkadang, dari penghasilan mereka berdua perharinya, hanya membawa pulang uang Rp 100 ribu perharinya. Mulai dari pagi hari hingga menjelang magrib, baru berkumpul kembali bersama anak-anak mereka di rumah.
Yuyun Wahyu Oprianti putra pertamanya, sebentar lagi akan menamatkan pendidikan, saat ini sudah duduk di bangku kelas IX SMPN 3 Mukomuko. Tentu akan mengeluarkan biaya besar untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SLTA. Karena tak ingin anaknya putus sekolah, Pasutri ini mulai menyisihkan sisa uang belanjaan harian keluarga, sebagai tabungan untuk biaya masuk sekolah anaknya. Selain itu, putra keduanya, Sapriani, masih di bangku kelas V SD Pasar Sebelah dan Aris kelas I SD Pelokan.
Keluarga yang hidup pas-pasan ini, tinggal di gubuk ukuran 6 x 6 meter yang dibangun di atas tanah pinjam pakai milik salah seorang dermawan. Harus bagaimana lagi, tak khayal ingin membeli lahan dan membangun rumah bagus, untuk makan saja masih untung terpenuhi. Namun semakan Pasutri ini, tak pernah pudar. Saban hari mereka selalu bersama untuk menyisiri kawasan perkebunan sawit untuk mencari sumber penghasilan.
Jamur sawit hasil pencariannya, dibersihkan satu per satu. Kemudian dibagikan dalam kantong asoi sebelum dijaja keliling kampung. Jangan harap mendapatkan hasil yang banyak dari penjualan jamur sawit ini. Tergantung dengan banyaknya pendapatan jamur yang terjual. Terkadang, dari penghasilan mereka berdua perharinya, hanya membawa pulang uang Rp 100 ribu perharinya. Mulai dari pagi hari hingga menjelang magrib, baru berkumpul kembali bersama anak-anak mereka di rumah.
"Jika gigih, mungkin hanya Rp 100 ribu perharinya. Itu pun kalau semuanya terjual. Kalau sedang malangnya, jamur sawit yang sudah terkumpul, tak laku dijual,’’ kata Rakiman di sela-sela membersihkan jamur sawit hasil pencariannya.
Sejak menikah, pasangan ini tinggal dan menetap di Mukomuko sejak 1995. Sebelumnya pernah tinggal di kawasan tranmigrasi di Linggau Sumatera Selatan (Sumsel). Mereka meninggalkan kawasan tranmigrasi, berencana untuk merubah nasib di Mukomuko dengan menumpang bekerja sebagai buruh panen di perusahaan perkebunan. Semenjak merantau, mereka jarang pulang ke kampung halamannya, karena terkendala biaya.
Sejak menikah, pasangan ini tinggal dan menetap di Mukomuko sejak 1995. Sebelumnya pernah tinggal di kawasan tranmigrasi di Linggau Sumatera Selatan (Sumsel). Mereka meninggalkan kawasan tranmigrasi, berencana untuk merubah nasib di Mukomuko dengan menumpang bekerja sebagai buruh panen di perusahaan perkebunan. Semenjak merantau, mereka jarang pulang ke kampung halamannya, karena terkendala biaya.
"Kami sekeluarga datang dari Jawa, awalnya pernah tinggal di tranmigrasi daerah Linggau Sumatera Selatan. Karena tak betah, maka kami pindah ke Mukomuko untuk mencari pekerjaan. Semenjak di Mukomuko, jarang pulang kampung. Karena biaya ongkos pulang kampung cukup besar, sedangkan untuk makan saja sulit terpenuhi,’’ paparnya.
Dia bersama istrinya, tak bisa berharap banyak. Ia mengakui, dari penghasilan yang didapatkan cukup untuk makan dan biaya pendidikan anak-anak sudah lebih dari cukup.
Dia bersama istrinya, tak bisa berharap banyak. Ia mengakui, dari penghasilan yang didapatkan cukup untuk makan dan biaya pendidikan anak-anak sudah lebih dari cukup.
"Ya bagaimana lagi, cukup untuk makan saja sudah lumayan. Yang penting anak-anak semuanya bisa sekolah,’’ ujarnya. (IR Rajo Bungsu)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »