![]() |
Anak, Menantu, dan Kerabat Alm. Marthias Dusky Pandoe. |
BentengSumbar.com --- Siapa yang tak kenal dengan mendiang Marthias Dusky Pandoe. Lelaki kelahiran Agam ini adalah wartawan senior yang berkiprah di tiga zaman. Memulai karier jurnalistik sejak tahun 1953 hingga akhir hayatnya.
Pak Pandoe, demikian wartawan muda memanggilnya. Karyanya tak pernah lekang oleh waktu. Dua buku sudah pernah diterbitkannya, “A Nan Takana” (2001) serta “Jernih Melihat Cermat Mencatat” (2010). Saat tutup usia 84 tahun, Pak Pandoe masih tetap dikenang seluruh insan pers Sumatera Barat. Satu buku karya terakhirnya diluncurkan. Buku berjudul “Menanti Maut” terbitan Insan Mulia Publishing dilaunching 9 Mei kemarin, bertepatan dengan setahun kepergiannya.
Tak hanya dikenal hangat di kalangan wartawan, di lingkungan keluarga besarnya, Pak Pandoe juga demikian serta penuh ketegasan. Ini yang dirasakan Ir. Hj. Corri Saidan, M.Si, menantu Pak Pandoe. “Mendiang mertua yang luar biasa,” ujar Corri saat membuka cerita di Hotel Pangeran Beach Hotel Padang usai peluncuran buku “Menanti Maut”, Sabtu (9/5).
Corri Saidan merupakan isteri Zola Pandoe, putra Pak Pandoe. Corri yang bekerja di Pemerintah Kota Padang sebagai Asisten III Bidang Administrasi merasakan bagaimana luar biasanya Pak Pandoe dalam hidup dan di keluarga besarnya. “Selain pekerja keras, mendiang juga punya komitmen dan disiplin yang tinggi,” terangnya.
Sikap Pak Pandoe yang luar biasa inilah yang kemudian meneladani Corri dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bahkan, sedikit banyaknya, berkat itu pula Corri akhirnya mampu menjadi wanita karier yang terbilang berhasil di pemerintahan. “Sikap beliau yang sekarang menjadi contoh teladan bagi saya. Hal yang bisa saya ambil adalah kerjakerasnya, disiplin, tegas, cermat dan teliti,” terang Corri.
Hingga detik ini, Corri masih terngiang kata-kata yang pernah diucapkan Pak Pandoe kepadanya. Kata-kata yang selalu menjadi ‘pengingat’ bagi Corri yakni Jujur. “Mendiang kepada saya selalu mengingatkan untuk jujur dalam bekerja dan fokus saat menyelesaikan pekerjaan. Serta bertanggungjawab,” tambah Corri.
Mewakili keluarga besar, Corri mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh pihak, terutama kalangan pers. Karena hingga akhir hayat mendiang masih tetap dikenang. “Meski sudah tidak bersama kita lagi, kalangan wartawan memberikan penghargaan atas jasa beliau dalam bentuk buku. Semoga lewat tulisan terakhir beliau ini menambah allternatif bagi buku-buku yang ada dan kemudian memberikan motivasi pada anak-anak dan juga masyarakat. Semoga apa yang baik dari beliau bisa kita contoh,” ungkapnya.
Cukup banyak yang merasa kehilangan atas berpulangnya Marthias Dusky Pandoe. Keluarga besar dan seluruh sahabat mendiang merupakan orang-orang yang begitu kehilangan. Sebagaimana dikutip dari buku “Menanti Maut”, Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno menulis: “Beliau terkenal dekat dan akrab dengan pemimpin-pemimpin daerah dan tokoh-tokoh Sumatera Barat. Beliau banyak memberikan masukan atau nasehat. Termasuk mencarikan solusi untuk sejumlah masalah yang dihadapi Sumatera Barat”.
Seorang Rosihan Anwar juga menulis: “Kendati sudah pensiun, otak Pandoe masih aktif jalan, tangan masih gatal mengetik, panggilan menulis terus melambai-lambai,…”.
Tidak hanya itu, Ketua DPD RI, Irman Gusman dalam testimoninya menyebut bahwa Pak Pandoe adalah seorang ‘diplomat swasta’. “Marthias Dusky Pandoe (MDP) belum akan berarti apa-apa jika hanya dilihat dari sosok seorang jurnalis sejati. Beliau sesungguhnya seorang diplomat dengan kemampuan yang sangat luar biasa dalam merumuskan berbagai persoalan Sumatera Barat dan mengkomunikasikannya ke pusat-pusat kekuasaan secara efektif dan efisien.”
Sumatera Barat telah kehilangan seorang pewarta hebat. Tulisannya tak akan pernah luntur digerus perubahan zaman. Pak Pandoe telah menginspirasi pewarta penerus. Selamat jalan Pak Pandoe, teruslah ke surga. (Charlie Ch. Legi)
Pak Pandoe, demikian wartawan muda memanggilnya. Karyanya tak pernah lekang oleh waktu. Dua buku sudah pernah diterbitkannya, “A Nan Takana” (2001) serta “Jernih Melihat Cermat Mencatat” (2010). Saat tutup usia 84 tahun, Pak Pandoe masih tetap dikenang seluruh insan pers Sumatera Barat. Satu buku karya terakhirnya diluncurkan. Buku berjudul “Menanti Maut” terbitan Insan Mulia Publishing dilaunching 9 Mei kemarin, bertepatan dengan setahun kepergiannya.
Tak hanya dikenal hangat di kalangan wartawan, di lingkungan keluarga besarnya, Pak Pandoe juga demikian serta penuh ketegasan. Ini yang dirasakan Ir. Hj. Corri Saidan, M.Si, menantu Pak Pandoe. “Mendiang mertua yang luar biasa,” ujar Corri saat membuka cerita di Hotel Pangeran Beach Hotel Padang usai peluncuran buku “Menanti Maut”, Sabtu (9/5).
Corri Saidan merupakan isteri Zola Pandoe, putra Pak Pandoe. Corri yang bekerja di Pemerintah Kota Padang sebagai Asisten III Bidang Administrasi merasakan bagaimana luar biasanya Pak Pandoe dalam hidup dan di keluarga besarnya. “Selain pekerja keras, mendiang juga punya komitmen dan disiplin yang tinggi,” terangnya.
Sikap Pak Pandoe yang luar biasa inilah yang kemudian meneladani Corri dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bahkan, sedikit banyaknya, berkat itu pula Corri akhirnya mampu menjadi wanita karier yang terbilang berhasil di pemerintahan. “Sikap beliau yang sekarang menjadi contoh teladan bagi saya. Hal yang bisa saya ambil adalah kerjakerasnya, disiplin, tegas, cermat dan teliti,” terang Corri.
Hingga detik ini, Corri masih terngiang kata-kata yang pernah diucapkan Pak Pandoe kepadanya. Kata-kata yang selalu menjadi ‘pengingat’ bagi Corri yakni Jujur. “Mendiang kepada saya selalu mengingatkan untuk jujur dalam bekerja dan fokus saat menyelesaikan pekerjaan. Serta bertanggungjawab,” tambah Corri.
Mewakili keluarga besar, Corri mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh pihak, terutama kalangan pers. Karena hingga akhir hayat mendiang masih tetap dikenang. “Meski sudah tidak bersama kita lagi, kalangan wartawan memberikan penghargaan atas jasa beliau dalam bentuk buku. Semoga lewat tulisan terakhir beliau ini menambah allternatif bagi buku-buku yang ada dan kemudian memberikan motivasi pada anak-anak dan juga masyarakat. Semoga apa yang baik dari beliau bisa kita contoh,” ungkapnya.
Cukup banyak yang merasa kehilangan atas berpulangnya Marthias Dusky Pandoe. Keluarga besar dan seluruh sahabat mendiang merupakan orang-orang yang begitu kehilangan. Sebagaimana dikutip dari buku “Menanti Maut”, Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno menulis: “Beliau terkenal dekat dan akrab dengan pemimpin-pemimpin daerah dan tokoh-tokoh Sumatera Barat. Beliau banyak memberikan masukan atau nasehat. Termasuk mencarikan solusi untuk sejumlah masalah yang dihadapi Sumatera Barat”.
Seorang Rosihan Anwar juga menulis: “Kendati sudah pensiun, otak Pandoe masih aktif jalan, tangan masih gatal mengetik, panggilan menulis terus melambai-lambai,…”.
Tidak hanya itu, Ketua DPD RI, Irman Gusman dalam testimoninya menyebut bahwa Pak Pandoe adalah seorang ‘diplomat swasta’. “Marthias Dusky Pandoe (MDP) belum akan berarti apa-apa jika hanya dilihat dari sosok seorang jurnalis sejati. Beliau sesungguhnya seorang diplomat dengan kemampuan yang sangat luar biasa dalam merumuskan berbagai persoalan Sumatera Barat dan mengkomunikasikannya ke pusat-pusat kekuasaan secara efektif dan efisien.”
Sumatera Barat telah kehilangan seorang pewarta hebat. Tulisannya tak akan pernah luntur digerus perubahan zaman. Pak Pandoe telah menginspirasi pewarta penerus. Selamat jalan Pak Pandoe, teruslah ke surga. (Charlie Ch. Legi)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »