![]() |
Oleh: Tommy TRD, S.STP. |
SEPERTI tidak ada habisnya fenomena demi fenomena baru dilahirkan pemilihan langsung kepala daerah. Kali ini saya akan menyorot peranan timses dalam pra pilkada, pilkada dan pasca pilkada. Ya, timses ! Alias tim sukses, pasca periode 1998, nama itu menjadi sebuah kosa kata baru yang sangat sering digunakan, ya setidaknya setiap pelaksanaan pemilihan akan mengenal nama timses ini. Pemilihan apa saja, mulai dari pemilihan presiden sampai ke pemilihan wali nagari dan pemilihan ketua organisasi.
Apakah timses ini sebenarnya ? Secara harfiah timses ini bisa dikatakan sebagai sekelompok orang yang memiliki tujuan untuk memenangkan pemilihan untuk salah satu pasangan calon. Isinya ? Macam-macam pastinya, dimulai dari Profesor universitas terkemuka, insan pers, kepala dinas sampai komandan regu di lapangan alias tukang hoyak atau tukang sorak. Dalam kenyataannya, perjalanan timses ini menjadi sangat panjang, jauh melebihi misi awal memenangkan suatu pasangan calon. Setelah pilkada usai, maka timses kembali berperan dalam menentukan susunan kabinet yang akan dibentuk oleh pemerintah baru. Fenomena seperti ini terjadi hampir di seluruh daerah dan hampir di setiap lapisan. Salah ? Tentu tidak bisa divonis begitu saja, karena di satu sisi hal tersebut bisa dipahami. Pilkada yang membutuhkan biaya tinggi tentu juga membutuhkan banyak donatur, yang kemudian tentu harus memiliki peran serta dalam perjalanan pemerintahan ke depan.
Fenomena ini tidak saja terjadi di tingkat kabupaten, kota ataupun propinsi, bahkan pola pemerintahan di tingkat nasional pun tidak luput dari serbuan fenomena sejenis. Namun seperti yang saya katakan di atas, fenomena ini tidak bisa begitu saja dianggap salah, karena memang mau tidak mau, suka tidak suka timses ini tentu berperan besar dalam sebuah kompetisi ataupun pemilihan. Walaupun tentu tidak bisa dipastikan semua dari mereka “berjasa” namun kalau sudah tergabung dalam sebuah timses, ya semua mereka pasti menganggap diri berjasa. Sayang pemerintah belum mengatur tentang pemberian tanda jasa kepada mereka, sehingga pemerintah harus memikirkan jalan lain untuk membalas jasa mereka.
Timses bisa terdiri dari individu-individu yang berpikiran logis dan memiliki nurani yang bersih serta pengetahuan yang memadai tentang sebuah sistem pemerintahan, atau juga bisa berisi tukang sorak yang akan selalu membenarkan apapun yang dilakukan oleh pasangan calon yang diusung, walaupun dari sudut pandang lain yang tidak dapat dibenarkan. Namun orang-orang seperti inilah yang akan “menyelamatkan” muka para politisi dari kekeliruan yang mereka buat, sehingga mereka tidak perlu mengakui kesalahan mereka layaknya seorang yang sportif atau dalam bahasa kerennya gentleman, sehingga benarlah kiranya seperti apa yang dikatakan oleh salah seorang dosen pengajar saya yang mengatakan “Seorang dosen boleh salah tapi tidak boleh bohong, politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah”.
Sepak terjang timses seperti ini tentunya bukan barang baru dalam percaturan politik baik tingkat nasional hingga tingkat di bawahnya seperti propinsi, kabupaten dan kota. Tidak sulit untuk menemukan sepak terjang timses seperti ini, anda cukup membuka media sosial, dan kemudian coba berikan kritik kepada seorang yang saat ini berkuasa, tunggu beberapa saat, anda akan menerima banyak respon dari sesama pengguna media sosial. Selanjutnya anda bisa menilai sendiri respon atau tanggapan yang mereka berikan.
Tentu saja anda tidak perlu berdebat panjang lebar dengan mereka yang memang nyata-nyata tidak bisa menerima kebenaran yang ada dalam pikiran anda, karena mereka memiliki kebenaran dalam pikiran mereka sendiri, walaupun ada adagium yang menyatakan tidak ada kebenaran yang mendua. Namun bagi orang-orang seperti mereka kebenaran adalah setiap titah dan tindakan yang dilakukan oleh calon yang mereka usung, lain daripada itu ? kelliru, salah dan salah besar. Brutalisme yang seperti ini sudah membawa bangsa, kabupaten dan kota di Indonesia menjadi sangat mundur, karena pemerintahan seperti itu katanya sih dilakukan oleh orde baru, celakanya lagi orde baru telah lengser, dan fenomena ini terjadi pada masa sekarang yang katanya sangat demokratis. Tapi ya bisa saja demokrasi hanya untuk pemenang, untuk yang kalah ada sebuah sistem yang lain, yaitu sebuah sistem anti kritik yang kemudian berujung kepada pemerintahan yang berkedok demokratis namun sesungguhnya tirani yang terselubung.
Banyak yang menganggap bahwa Indonesia sudah sangat berkembang demokrasinya dengan menerapkan pemilihan langsung, ya katanya sih belajar ke Amerika Serikat yang selalu dianggap sebagai nenek moyangnya demokrasi. Namun banyak orang melupakan bahwa historis dan karakteristik Indonesia sangat berbeda dengan Paman Sam. Kenapa ? mereka cenderung dididik dan dibesarkan dengan mengutamakan sebuah rasa tanggung jawab individu yang besar, hal itu memberikan mereka kematangan berpikir dalam bertindak, menghadapi dan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya. Belum demikian dengan Indonesia. Kita masih hobi melepaskan tanggung jawab, menuding sana-sini dan enggan mengakui keunggulan orang lain, apalagi belajar kepada kompetitor. Kita baru anak-anak yang mendapatkan mainan baru bernama demokrasi, yang kemudian kita lupa bahwa ada tanggung jawab dan resiko dari sebuah yang kita dapatkan. Sebagian besar mereka yang berkuasa saat ini menolak sebuah kondisi yang sudah merupakan niscaya tersebut, dengan apa ? berbagai cara, termasuk melalui timses. Tentu tidak semua timses yang bertindak “brutal”, namun bisa dikatakan masih sangat sedikit dari mereka yang berpikiran lurus, jujur, apalagi objektif. (***)
Apakah timses ini sebenarnya ? Secara harfiah timses ini bisa dikatakan sebagai sekelompok orang yang memiliki tujuan untuk memenangkan pemilihan untuk salah satu pasangan calon. Isinya ? Macam-macam pastinya, dimulai dari Profesor universitas terkemuka, insan pers, kepala dinas sampai komandan regu di lapangan alias tukang hoyak atau tukang sorak. Dalam kenyataannya, perjalanan timses ini menjadi sangat panjang, jauh melebihi misi awal memenangkan suatu pasangan calon. Setelah pilkada usai, maka timses kembali berperan dalam menentukan susunan kabinet yang akan dibentuk oleh pemerintah baru. Fenomena seperti ini terjadi hampir di seluruh daerah dan hampir di setiap lapisan. Salah ? Tentu tidak bisa divonis begitu saja, karena di satu sisi hal tersebut bisa dipahami. Pilkada yang membutuhkan biaya tinggi tentu juga membutuhkan banyak donatur, yang kemudian tentu harus memiliki peran serta dalam perjalanan pemerintahan ke depan.
Fenomena ini tidak saja terjadi di tingkat kabupaten, kota ataupun propinsi, bahkan pola pemerintahan di tingkat nasional pun tidak luput dari serbuan fenomena sejenis. Namun seperti yang saya katakan di atas, fenomena ini tidak bisa begitu saja dianggap salah, karena memang mau tidak mau, suka tidak suka timses ini tentu berperan besar dalam sebuah kompetisi ataupun pemilihan. Walaupun tentu tidak bisa dipastikan semua dari mereka “berjasa” namun kalau sudah tergabung dalam sebuah timses, ya semua mereka pasti menganggap diri berjasa. Sayang pemerintah belum mengatur tentang pemberian tanda jasa kepada mereka, sehingga pemerintah harus memikirkan jalan lain untuk membalas jasa mereka.
Timses bisa terdiri dari individu-individu yang berpikiran logis dan memiliki nurani yang bersih serta pengetahuan yang memadai tentang sebuah sistem pemerintahan, atau juga bisa berisi tukang sorak yang akan selalu membenarkan apapun yang dilakukan oleh pasangan calon yang diusung, walaupun dari sudut pandang lain yang tidak dapat dibenarkan. Namun orang-orang seperti inilah yang akan “menyelamatkan” muka para politisi dari kekeliruan yang mereka buat, sehingga mereka tidak perlu mengakui kesalahan mereka layaknya seorang yang sportif atau dalam bahasa kerennya gentleman, sehingga benarlah kiranya seperti apa yang dikatakan oleh salah seorang dosen pengajar saya yang mengatakan “Seorang dosen boleh salah tapi tidak boleh bohong, politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah”.
Sepak terjang timses seperti ini tentunya bukan barang baru dalam percaturan politik baik tingkat nasional hingga tingkat di bawahnya seperti propinsi, kabupaten dan kota. Tidak sulit untuk menemukan sepak terjang timses seperti ini, anda cukup membuka media sosial, dan kemudian coba berikan kritik kepada seorang yang saat ini berkuasa, tunggu beberapa saat, anda akan menerima banyak respon dari sesama pengguna media sosial. Selanjutnya anda bisa menilai sendiri respon atau tanggapan yang mereka berikan.
Tentu saja anda tidak perlu berdebat panjang lebar dengan mereka yang memang nyata-nyata tidak bisa menerima kebenaran yang ada dalam pikiran anda, karena mereka memiliki kebenaran dalam pikiran mereka sendiri, walaupun ada adagium yang menyatakan tidak ada kebenaran yang mendua. Namun bagi orang-orang seperti mereka kebenaran adalah setiap titah dan tindakan yang dilakukan oleh calon yang mereka usung, lain daripada itu ? kelliru, salah dan salah besar. Brutalisme yang seperti ini sudah membawa bangsa, kabupaten dan kota di Indonesia menjadi sangat mundur, karena pemerintahan seperti itu katanya sih dilakukan oleh orde baru, celakanya lagi orde baru telah lengser, dan fenomena ini terjadi pada masa sekarang yang katanya sangat demokratis. Tapi ya bisa saja demokrasi hanya untuk pemenang, untuk yang kalah ada sebuah sistem yang lain, yaitu sebuah sistem anti kritik yang kemudian berujung kepada pemerintahan yang berkedok demokratis namun sesungguhnya tirani yang terselubung.
Banyak yang menganggap bahwa Indonesia sudah sangat berkembang demokrasinya dengan menerapkan pemilihan langsung, ya katanya sih belajar ke Amerika Serikat yang selalu dianggap sebagai nenek moyangnya demokrasi. Namun banyak orang melupakan bahwa historis dan karakteristik Indonesia sangat berbeda dengan Paman Sam. Kenapa ? mereka cenderung dididik dan dibesarkan dengan mengutamakan sebuah rasa tanggung jawab individu yang besar, hal itu memberikan mereka kematangan berpikir dalam bertindak, menghadapi dan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya. Belum demikian dengan Indonesia. Kita masih hobi melepaskan tanggung jawab, menuding sana-sini dan enggan mengakui keunggulan orang lain, apalagi belajar kepada kompetitor. Kita baru anak-anak yang mendapatkan mainan baru bernama demokrasi, yang kemudian kita lupa bahwa ada tanggung jawab dan resiko dari sebuah yang kita dapatkan. Sebagian besar mereka yang berkuasa saat ini menolak sebuah kondisi yang sudah merupakan niscaya tersebut, dengan apa ? berbagai cara, termasuk melalui timses. Tentu tidak semua timses yang bertindak “brutal”, namun bisa dikatakan masih sangat sedikit dari mereka yang berpikiran lurus, jujur, apalagi objektif. (***)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »