Catatan Pinto Janir : Sajak Kekuasaan Lenyap (Risalah Lelaki Risau)

ORANG-orang dekat dan orang yang merasa dekat dengannya dulu, kini telah memilih dan mencari jalan selamat sendiri-sendiri. Dulu ia adalah pelabuhan 'besar' untuk menjawab salam, namun kini ia adalah dermaga usang yang dilambaikan banyak orang dari kejauhan.

Kini ia menjadi lelaki yang kehilangan sekali. Orang yang dulu ramai mengitarinya, satu persatu pergi meninggalkannya. Takterdengar lagi bunyi gitar yang dulu menggitari dan mengitari hari-harinya.

Ia semula berharap benar dan meyakini arti sebuah kesetiaan, kudian ia baru tahu bahwa kesetiaan ternyata tak lebih pada harapan mengharap pangkat dan pada harapan mengharap jabatan dan pada harapan bertahan pada pangkat dan pada jabatan itu sendiri.

Orang-orang dekat dan orang yang merasa dekat dengannya dulu, kini telah memilih dan mencari jalan selamat sendiri-sendiri. Dulu ia adalah pelabuhan 'besar' untuk menjawab salam, namun kini ia adalah dermaga usang yang dilambaikan banyak orang dari kejauhan.

Dulu, mulai dari biduk hingga kapal tengker menyandar mesra di pundaknya atau bergayut di saku-sakunya dan berharap di tanda tangannya; kini semua itu lenyap. Kano saja di pelabuhannya tak hinggap.

Pelabuhannya adalah pelabuhan yang ada karena kekuasaannya. Nyaris 99 persen dari kehidupannya hidup di bawah atap pelabuhan. Aktivitasnya berlabuh di sana. Ia merasa menjadi jendral. Tapi mana mungkin merasa seperti Jendral Sudirman yang dalam keadaan sakit sekalipun ditandu namun tetap mengabdi untuk negeri. Sekalipun telah lama tiada, Jendral Sudirman hingga kini tetap dihormati. Daya hormat anak negeri kepada Pak Dirman tak pernah lenyap-lenyapnya.

Kepadanya daya hormat itu seperti cepat terkikis habis. Bahkan daya hormat itu seperti berada di tangan seorang tukang sulap. Sekali "sim". Ia berlambin. Sekali "sa" ia ditinggal massa dan masa. Sekali "la" ia lapeh, sekali "bim", ia mendarat darurat dan tambin.

Yang berlambim itu kekuasaannya karena direbut oleh waktu. Yang lapeh itu lambang pangkat yang memang sering ia tinggalkan di rumah yang kini ia rindukan untuk dibawa-bawa kemana perlu. Yang tambin itu mentalnya, karena belum siap 'kehilangan waktu".

Dulu banyak orang yang menghiburnya. Di mana ada ikurnya di sana pula banyak  orang mengikur padanya, menumpang pada rasa bangga dan tahtanya yang ada. 

Musik kebanggaan tiada pernah berhenti menghiburnya. Parak atau hutan rimba ia terabas penuh rasa bahagia dalam sorak sorai segala rupa.Tepuk tangan membahana. Sungai-sungai ia sebrangi seperti seorang hero atau seorang zoro di atas kuda. Yang lain memberi menabik salam di seberang sana. Ketika ia hanyut, orang-orang rela pula menghanyutkan diri bersamanya. Bahkan berpacu-pacu menyeburkan diri. 

Kini, kemana orang-orang hanyut dengannya dulu?

Sekarang ingin benar ia berjalan-jalan sekedar melihat-lihat dermaga atau pelabuhan yang pernah ia tuani dulu.

Tapi, pelabuhannya itu kini sudah diisi oleh orang lain.

Ia tak sanggup. Ia tak mampu membayangkan segala 'kehormatan'...kekuasaan...penyanjungan....yang pernah ia rasakan di situ.

Bahkan, ia trauma membayangkannya. Berdekat-dekat ke jalan itu saja ia merasa tak mampu.

Tak mampu ia menghadapi segala sesuatu yang cepat benar berubah dan berlalu. Akibatnya, ia menjadi lelaki yang gugup dan kaku. Gugup kehormatan. Kecanggungan telah menganiaya dirinya bak duduk di atas kursi penuh paku.

Ia ingin berontak. Ia paksakan dirinya menjadi seolah-olah. Seolah-olah bahagia. Seolah-olah kembali senang kepada keadaan semula. Seolah-olah kembali sabar. Seolah lepas dari beban berat. Padahal, di balik itu ia adalah orang yang paling tak sabar untuk kembali menjemput mimpinya yang sudah tertutup kabut.

Sementara, ruang dan waktu adalah masa. Orang dan kepentingan adalah 'insani' yang sudah merasa bahwa ia bukan lagi insang yang sanggup dan mampu memberi nafas untuk hidup. 

Ia kini telah menjadi orang lengang. Kalaupun seolah-olah ramai, itu hanyalah sisa-sisa keramaian yang masih ia miliki sepeninggal sepi.

Ketika ia teken gas, ada yang tak beres di busi motornya. Bunyi knalpotnya menembak-nembak tak stabil. Bunyinya keras.Larinya merepet-repet, terhangguk-hangguk. Ia menggerutu, padahal ia merasa menjadi guru yang paling pantas didengar dan wajib digugu dan ditiru.

Dulu bila melihat motornya mengalami gangguan mesin seperti ini, tanpa dipanggil banyak montir yang membawa segala kunci. Kini? Tak satupun montir itu datang sekalipun sudah ia telpon berkali-kali. Akhirnya, ia ambil segala kunci, ia coba perbaiki sendiri, tangannya bergomok sendiri, namun nan motor tak juga kunjung baik.

Ia ingin tampak seolah-olah baik, seolah-olah tak ada yang berubah pada kehidupannya. Ia ciptakan seolah-olah itu ke tengah publik. Namun, ia dapat bisik-bisik. Ah, tak asik....disebut seolah-olah.

Untuk menjaga badan yang baik, ia ingin main bulu-ayam. Tapi apa yang hendak dipukul di saat bulu-ayamnya lenyap pula. Ingin benar ia menyusun bulu itu sendiri sehingga  menjadi bola, namun bagaimana caranya? Ayam di kandang yang dulu tanpa diberi kandang sekalipun berkotek-kotek rami saban hari, kini hilang serentak. Bulu apa yang hendak dicabut?

Ah, ia merutuk-rutuk dalam hati.

Kemudian ia bantai ke luar sendiri. Ia berlari-lari. Kadang seperti seorang jagoan dalam filem aksi. ia bikin kuda-kuda, belum kuda-kuda terbikin, lututnya berderak. Kreeek. Ada yang terkilir tampaknya. Ketika ia melajangkan kaki...."Kreeek"....pisak serawanya cabik pula.

Ia tak mungkin kehilangan akal menciptakan permainan. Masih banyak hiburan dan permainan lain. Sungguh, ia benar-benar ingin menghibur diri. ia coba bawa bernyanyi, belum apa-apa mik yang ia pakai korslet pula. Begitu ujung mik menyentuh bibir, apa yang terjadi? Mulutnya mengerenyam akibat sengatan listrik. Muncungnya menjadi hitam terbakar. Dalam keadaan begini, dendang apa juga yang hendak dilantunkan kembali?

Ia lihat, ember-ember yang dulu penampung air hujan sudah mulai berlumut. Ia serakkan air dalam ember itu. Ia balikkan segala ember. Ia pukul-pukul seperti gendang, tapi pada pukulan kesekian kali pangkal lengannya berdatuk.

Berdatuk itupun membawa masalah. Ia terkilir lagi.

Satu yang diharapkannya tak terkilir adalah pikiran dan doa.

Ternyata dunia bukan "dunianya". Ia mulai sadar bahwa dunia telah menaklukkan dirinya.Ia tak ingin menjadi penghamba dunia. Ia tak ingin terjebak dalam lingkup dunia yang jauh dari lubuk hatinya bukanlah dunianya.

Ia pandang langit siang, tampak matahari garang. Matanya perih. Ia pandang langit malam, tampak bulan. Dari bumi ia pandang bulan, di mata bulan ada gambar seperti orang solat.

Ia diam. Diam sediam-diamnya.

Lekas ia ambil wudhu. Ia ingin mengulang wudhu dari awal. Ah, ini dunia. Ia tak ingin merusak wudhunya, ia ingin mengadu padaNya.

Ia cari tempat yang benar-benar sunyi untuk bercakap-cakap denganNya kembali.

Ia tinggalkan masa dan massa serta ia jemput rasa, ia datangi suraunya.

Ketika ia hendak melemparkan kekuasaannya masuk bandar, beberapa tangan menghambatnya; "Jangan tuan....!"

Lelaki itu lemas. Ia ditandu, namun bukan tandu seperti tandunya Jendral Sudirman.

Ia kembali 'dimake-over'. Ia dibedaki. Ia dicalak. Ia didandani.

Kini ia bermimpi lagi, bermimpi kembali!

Namun niscaya, mimpinya tak akan pernah balik dengan sempurna, karena mimpinya sudah direbut oleh masa dan massa.

Kalau ia datang, kedatangannya bukan di ruang dan waktu yang tepat.

(Kini ia sedang menunggu proses waktu untuk duduk di ruang kesalahan di kursi kekalahan !) 

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »