Inilah Sanksi Bagi Penimbunan Barang dan Pangan Menurut UU dan Agama

Inilah Sanksi Bagi Penimbunan Barang dan Pangan Menurut UU dan Agama
BentengSumbar.com --- Selama ini diatur soal menahan stok atau penimbunan dalam UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Dalam UU Pangan, pasal 53, pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.

Sedangkan Pasal 54 mengatur soal sanksi:

a) Pelaku Usaha Pangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenai sanksi administratif.
b) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; dan/atau, denda, pencabutan izin.

Sementara itu, dalam, Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga disebutkan pada Pasal 107 soal penimbunan yang berbunyi yaitu:

"Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)."

Pada tanggal 5 Maret 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1999, tentang larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan pada pasal 1 disebutkan bahwa Monopoli adalah:

“Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha”.

Agama Islam sebagai agama yang rahmatal lil 'alamin, melarang keras sistim monopoli dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa agama, monopoli dikenal dengan istilah “al-Ihtikar“, yaitu secara bahasa adalah menyimpan makanan. Adapun secara istilah adalah seseorang membeli makanan ketika harganya tinggi untuk diperjualbelikan, tetapi dia tidak menjualnya pada waktu itu, justru malah ditimbunnya agar menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. (Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim : 10/ 219).

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

        وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
 
“ Dan barang siapa yang bermaksud di dalamnya ( Mekkah ) melakukan kejahatan secara lalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (Qs al-Hajj : 25)

Berkata ath-Thobari di dalam tafsirnya (9/13 ) : “ Yang dimaksud melakukan kejahatan di dalamnya adalah melakukan monopoli makanan di Mekkah. “

Dalil Kedua : Hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا ضرر ولا ضرار، من ضار ضاره الله، ومن شاق شق الله عليه
 
“ Tidak boleh memberikan madharat kepada diri sendiri dan kepada orang lain, barang siapa yang memberikan madharat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan madharat kepadanya, dan barangsiapa yang memberikan beban kepada orang lain, maka Allah akan memberikan beban kepadanya.“ (HR. Daruquthni (3/ 77) , lihat juga Bulughul Maram, hadits : 910).

Berkata Ibnu Sholah : "Hadist ini dinisbatkan kepada Daruquthni dari berbagai jalan yang kesemuanya menguatkannya dan menjadikan hadist ini hasan. Mayoritas ulama menerimanya dan dijadikan sebagai sandaran dalam hukum."

Dalil Ketiga : Hadist Ma’mar bin Abdullah radhiyallahu 'anhu bahwa  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
 
“ Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa.” (HR Muslim (1605).  (***)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »