Para Pemberani

Para Pemberani
TEMANKU berkata, "Sekarang ini, kalau ingin dilihat oleh rakyat, berjuanglah untuk mereka. Mereka sudah pintar, bisa memilih mana yang tulus dan mana yang fulus."

Sudah berapa puluh tahun kita harus mengikuti arus besar kemunafikan, perampokan, pencitraan dan kebusukan atas nama rakyat. Kita dibawa-bawa atas nama kemiskinan, sehingga harus berhutang dan dicairkan dalam bentuk dana bantuan yang disunat berkali-berkali sampai tidak jelas itu penis apa bukan. Kita diadu-adu antar Kristen dengan Islam, Hindu dengan Islam bahkan sampai Islam dengan Islam, supaya aparat tetap terjaga dengan uang kesejahteraan yang lagi-lagi disunat, sehingga makin tidak jelas dulunya itu penis apa bukan.


Muak, itu salah satu kata kuncinya. Kemuakan ini menciptakan orang-orang pemberani yang mengajak orang-orang untuk melawan arus besar yang hanya mengalir ke satu tempat. Momen itu datang, ketika para pemberani itu menjadi pimpinan.


Menentang arus sangatlah berbahaya, jika tidak kuat bisa tenggelam. Tapi, dasar mereka pemberani, mereka tidak perduli karena mereka tidak punya hutang budi maupun hutang uang kepada orang yang mau memanfaatkan.

Maka kita melihat, sebagian kecil arus mulai berjalan ke arah sebaliknya dari arus besar. Mereka menyadarkan kita bahwa keberanian haruslah dimulai dari diri sendiri.

Tapi banyak juga yang awalnya berani tapi kemudian mereka menentang. Kenapa ? Karena mereka pikir pemberani itu haruslah seseorang yang secara fisik gagah, mantan tentara dan diperkokoh oleh tunggangan kuda. Begitulah ciri-ciri satria piningit yang mereka harapkan.

Mereka menolak keras model pemberani yang bertubuh kurus dan bukan dari trah siapa-siapa. Mereka semakin menolak ketika ada pemberani lain yang bermata sipit, beragama lain dan berasal dari pulau antah berantah. Mereka menolak itu semua. Apa yang mereka tolak sebenarnya adalah bagian dari kekecewaan karena runtuhnya bayangan pemberani berupa sosok. 

Mereka terlalu banyak membaca Marvel's Comic yang menggambarkan sosok pahlawan berdada bidang, bisa terbang, dan sekali wuss selesai kejahatan. Buat mereka, sosok pemberani itu yang celana dalamnya di luar bukan di dalam.

Mereka tidak paham bahwa celana dalam diluar hanyalah aksesoris kejantanan yang sengaja ditampakkan untuk menipu mata awam. Mereka tidak paham bahwa keberanian itu adanya di dalam, di mental, bukan di seragam.

Akhirnya mereka pun kembali bersama arus besar sambil mengejek-ngejek para pemberani yang sosoknya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Mereka yang tadinya ingin melawan arus, malah terbawa arus besar lebih dalam.

Meski begitu, para pemberani tidak mau tahu. Mereka terus melawan arus dengan menerjang. Bukan saja melawan, bahkan arus baru mereka ciptakan. Arus baru yang bernama pemberontakan. Pemberontakan terhadap banyak ketidak-adilan, kemunafikan, ketamakan dan manipulasi atas nama rakyat untuk kepentingan golongan.

Para pemberani pasti banyak lawan. Tapi memang itu gunanya lawan, bukan ? Untuk melatih dan memantapkan kuda-kuda supaya makin kokoh di medan pertarungan. Setahap demi setahap melangkah, dan mulai terlihat bahwa perubahan sudah dimulai.

Para pemberani itu ibarat secangkir kopi. Mereka tidak peduli dibilang pahit, karena dibalik semua yang mereka bawa, didalamnya ada kenikmatan.

Ditulis Oleh:
Denny Siregar
Pengamat Sosial, Politik, Agama, dan Budaya

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »