Bubble

Bubble
TAHUN 1594, secara bertahap harga bunga tulip naik di Eropa. Naiknya harga bunga itu di dongkrak oleh banyaknya pemberitaan melalui media.

Karena bunga tulip masa tanamnya lama, sekitar 7-12 tahun, maka para pedagang mengeluarkan surat berharga yang dikeluarkan jauh sebelum masa panen. Surat berharga ini bisa digadaikan ke bank dan karena semakin diberitakan harga tulip semakin tinggi, maka nilai surat berharga itu naik berlipat-lipat. Hampir semua orang ber-investasi dengan membeli surat berharga ini, bahkan masyarakat kecil. Pada masyarakat di bangun sebuah ekspektasi - sebuah harapan yang besar akan hasil dari investasinya.

Hingga pada tahun 1637, disaat begitu banyak orang menanam dan panen besar, harga tulip pun jatuh. Pasar dibanjiri bunga tulip sehingga harganya jatuh pada titik terendah. Orang yg memegang surat berharga senilai ratusan miliar untuk sebatang bunga tulip, langsung miskin ketika harga tulip hanya berkisar ratusan ribu rupiah.

Para ekonom menggambarkan situasi ini seperti sebuah gelembung air sabun yang ditiup, semakin lama semakin besar, dan pada titik yang maksimal, gelembung itu pecah. Karena itulah situasi ini dinamakan "bubble" atau gelembung. Gelombang sistemiknya merusak ekonomi Belanda karena banyaknya orang jatuh miskin. Pabrik-pabrik djual, produksi melambat, hutang menggunung dan sebagainya.

Di Indonesia kita menemui situasi yang agak mirip dengan skala kecil, seperti bunga gelombang cinta atau anthurium, tokek sampai batu akik. 

Bubble itu diciptakan dan tidak terbentuk dengan sendirinya. Ada pemain-pemain besar di belakangnya yang melakukan investasi, memborong barang pada saat tidak berharga, menciptakan pasar, mem-publikasikan melalui media dan terakhir menjual barangnya pada harga yg sangat tinggi sehingga mendapat keuntungan sangat besar. Mereka pemain yang sabar, dengan dana yang sulit dihitung angka nol-nya dan mempunyai target yang jelas.

Mereka bermain psikologis pasar yang cenderung panik, panik beli dan panik jual. Dan masyarakat seperti ini dibentuk berdasarkan rumours - perkataan-perkataan yang tersebar, biasanya melalui media, sehingga membentuk keyakinan akan kebenarannya.

Bubble ini bukan hanya dilakukan di dunia ekonomi, tetapi juga di politik. 

Kita mengalami sejarah penting pada tahun 1960-an, dimana rumours dikembangkan tentang kekejaman PKI dan bahwa komunis itu adalah atheis. Dan pada 1965, pecahlah gelembung itu dalam bentuk pembantaian yang di perkirakan mencapai 1 juta jiwa. Situasi yang mirip dengan latar belakang berbeda, terjadi di Rwanda dan Bosnia.

Saya mencoba menggambarkan, darimana sebenarnya kebencian itu tiba-tiba datang mengepung kita sekarang ini.

Kebencian-kebencian itu ditiupkan sejak kita mengalami revolusi dalam pemerintahan, sesudah pilpres 2014. Kalau dalam masa pemerintahan SBY kita biasanya hanya tahap menyindir-nyindir, tapi di era sekarang kebencian itu tampak begitu nyata. Mulai dari hal remeh seperti dimasalahkannya kancing jas sampai distorsi informasi tentang mahalnya harga pangan, PHK besar-besaran, bangkitnya komunisme, banjir buruh China dan banyak hal.

Seorang teman yang hampir selalu berada di depan TV, membiarkan akalnya di perkosa dengan berita sepihak. Dan dia menumpahkan kebenciannya melalui medsos. Ia bergabung dengan komunitas yang memiliki kebencian yang sama. Ia sudah tidak lagi mencoba meng-klarifikasi berita yang datang kepadanya, karena apa yang sesuai dengan nafsu kebenciannya itulah yang benar. Ia selalu bertanya tentang situasi dan kondisi sekarang, tapi dengan nada marah-marah. Padahal seandainya ia mencoba tenang dan menggunakan rasionalitasnya dengan baik, ia bisa menemukan jawaban yang sehat terhadap apa yang dipertanyakannya.

Ia bertanya tentang lemahnya rupiah, tapi tidak mau membaca tentang dampak menguatnya dollar di dunia. Ia selalu bertanya tentang mahalnya harga pangan, tapi tidak pernah mau membaca tentang usaha pemerintah memberantas mafia. Ia selalu bertanya tentang apa yang akan dilakukan pemerintah terhadap situasi-situasi terpuruknya ekonomi sekarang ini, tapi menolak berita tentang pembangunan infrastruktur dimana-mana. Ia selalu bertanya, tapi juga selalu menolak jawabannya. Karena ia memang tidak membutuhkan jawaban, ia hanya ingin menyalurkan emosinya.

Siapa yang meniup bubble kebencian ini sehingga teman saya menjadi terperangkap karenanya ? Pada titik ini, banyak pihak yang mempunyai tujuan yang sama tapi dengan latar belakang berbeda. Ada kelompok politik yang ingin merebut simpati untuk pemilu berikutnya, ada mafia yang tidak ingin kehilangan lahan makannya, ada media yang ingin menaikkan ratingnya, ada negara-negara asing yang selalu mendapat fasilitas selama ini dan diganggu keberadaannya, bahkan sampai ada kelompok yang mempunyai misi membentuk negara khilafah.

Mereka menjatuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, meniupkan ketidak-puasan yang berlebihan dan berharap ujungnya adalah chaos dan disintegrasi bangsa. Ini adalah investasi jangka panjang dan dilakukan dengan penuh kesabaran.

Dalam menghadapi bubble kebencian yang ditiupkan sebesar-besarnya, di perlukan akal sehat yang memadai. Sama seperti akal sehat kita bekerja ketika melihat harga batu akik atau bunga gelombang cinta senilai harga satu rumah mewah ditengah kota Jakarta. Menolak segala bentuk pencucian akal melalui media searah dan lebih mengutamakan mencari berita pembanding melalui media sosial dua arah.

Temanku menjadi seperti warga Belanda di tahun 1600-an yang membeli surat berharga bunga tulip tanpa pernah melihat tulipnya. Sama seperti sekarang, membeli kebencian dengan begitu mahalnya, tanpa tahu wujud yang dibenci sebenarnya. Mereka hidup dengan panik dan emosional, mudah dibakar dan diarahkan.

Saat-saat beginilah kita butuh secangkir kopi untuk menenangkan emosi. Kita biarkan kafeinnya menyerap dan membuka ruang-ruang rasionalitas dengan selalu mem-filter berita yang datang. Karena seperti secangkir kopi pula, pahit dan manisnya apa yang nanti kita cecap, tergantung cara kita belajar menyeimbangkan unsur-unsurnya.

Kalau anda membenci tulisan ini, temanku.. saya mohon maaf, karena memang tulisan ini saya buat untuk mereka yang masih waras ditengah bangunan kegilaan yang diciptakan yang semakin membesar ini.

Ditulis Oleh :
Denny Seregar
Pengamat Sosial, Politik, dan Budaya

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »