Penjelasan Irwan Prayitno Untuk Mahdinal Agus

Penjelasan Irwan Prayitno Untuk Mahdinal Agus
DALAM beberapa kesempatan diskusi dengan Mahdinal Agus, salah seorang Aparatur Sipil Negera (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, penulis melihat Ia seakan antipati kepada Irwan Prayitno. Demikian juga dalam status-status yang Ia tulis di jejaring sosial, seakan selalu diarahkan kepada calon Gubernur Sumatera Barat yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini.

Antipati adalah rasa ketidaksukaan untuk sesuatu atau seseorang, kebalikan dari simpati. Antipati dapat dirangsang oleh pengalaman sebelumnya. Dengan demikian, asal antipati telah dikenakan ke berbagai penjelasan psikologis, yang beberapa orang merasa yakin dan orang lain anggap sangat spekulatif. Setidaknya demikian penjelasan Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Freud merupakan tokoh menonjol terkait dengan pendapat-pendapatnya di bidang psikologi. Banyak istilah-istilahnya yang digunakan oleh umum, misalnya: ego, super ego, dan kompleks Oedipus.

Lantas, apa sebab Mahdinal Agus antipati kepada Irwan Prayitno ? Bahkan, menurut hemat penulis, saat ini Ia merupakan ASN yang paling keras menyingkapi tindak tanduk Irwan Prayitno di jejaring sosial facebook. Tentu tidak elok rasanya menghakimi Mahdinal Agus tanpa tahu sebab akibat dia bersikap demikian. Nah, beberapa waktu lalu penulis menanyakan langsung kepadanya ketika Ia berkomentar tentan tulisan penulis dengan judul "Dimana Kantor Ayah" yang penulis share ke Group Bara Online Media (BOM).

Inilah alasan Mahdinal Agus :
"Soal jawaban beliau, Bang Yahya lah talambek, tingga replay se lai, krn beliau sdh curhat di tivi lokal tentang ini belum laka (mungkin maksudnya belum lama, red) ini. Jelas sekali dari jawaban beliau di tivi lokal beliau kurang memahami fungsi gubernur sbg pembina PNS beliau kurang menguasai UU ttg kepegawaian yg tidak boleh dikangkangi. Menurut PP 53 th 2010, ttg Disiplin PNS, pencopotan jabatan ini adalah merupakan hukuman berat yg diberikan kpd abdi negara yg melanggar aturan yg telah ditetapkan. Jika bersalah, harus ada peringatan yg diberikan dan diketahui oleh ybs. Dan jika tidak memiliki kinerja saat menjabat, harus ada berupa teguran atau disposisi dari atasan atas penolakan ide atau konsep ybs. Jika tidak ada, jgn asal terima alasan dari Kepala SKPD yg mengusulkan pencopotan dan diaminkan gubernur. Gubernur hrs perintahkan inspektorat utk periksa kebenarannya."

Dari sini kita mengetahui, rupaya Mahdinal Agus merupakan salah seorang pejabat eselon III yang pernah dinonjobkan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tempat dia bekerja. Ia tidak terima dinonjobkan, karena Ia merasa tidak bersalah. Ia mengatakan dengan berdalil pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, pencobotan jabatan merupakan hukuman berat yang diberikan kepada abdi negara yang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Jika bersalah, harus ada peringatakan yang diberikan dan diketahui oleh yang bersangkutan.

Ia pun menambahkan penjelasannya:
"Satu lagi, sbg pembina kepegawaian,.mnrt aturan kepala daerah berhak atas mutasi, pengangkatan dan pemberhentian dlm jabatan terhadap PNS. Artinya kebijakan pengangkatan dan pemberhentian eselon II, III & IV berada ditangan Gubernur. Menurut aturan perundangan, gubernur tidak seenaknya bicara bhw dia hanya menonjobkan 2 eselon saja. Sementara puluhan mantan eselon III & IV dibebankan kepada pimpinan SKPD yg mengusulkannya. Dsinilah letak kesalahan gubernur krn merwka tdk akan nonjob tanpa ada tanda tangan gubernur. Makanya sblm dicopot harus diperiksa dulu oleh inspektorat."

Nah, ini kunci kenapa Ia antipati. Menurutnya, sebagai pembina kepegawaian, kepala daerah berhak melakukan mutasi, pengangkatan, dan pemberhentian dalam jabatan terhadap PNS. Artinya kebijakan pengangkatan dan pemberhentian eselon II, III, dan IV berada DITANGAN GUBERNUR. Mereka tidak akan nonjob tanpa ada tandatangan gubernur.

Penjelasan Irwan Prayino

Penulis berjanji kepada Mahdinal Agus untuk menanyakan kenapa persoalan ini bisa terjadi. Walau dikatakan terlambat oleh Mahdinal Agus, namun penulis tetap menanyakannya. Bertempat di rumah orang tuanya, Jum'at (12/09/2015) di Taratak Paneh Kelurahan Koronggadang Kecamatan Kuranji Kenagarian Pauh IX, penulis menemui Irwan Prayitno dan menanyakan persoalan ini. Irwan Prayitno mengaku tidak mengenal Mahdinal Agus secara pribadi. Dan baru tahu siapa Mahdinal Agus setelah yang bersangkutan mengungkapkan kritik keras dan antipatinya kepada Irwan Prayitno dengan menanyakan langsung kepada mantan atasannya, Inspektorat, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan atasannya.
"Saya tidak kenal sama sekali dengan Mahdinal Agus. Wajahnya pun saya tidak kenal. Baru tahu tentangnya, setelah dia menyerang saya, saya bertanya BKD, baru dijelaskan siapa dia. Kebetulan tidak pula pernah bertemu, makanya saya tidak kenal. Dia tidak tepat menyalahkan saya selaku gubernur waktu itu. Coba Anda bayangkan, seluruh SK-SK eselon II se Sumatera Barat saya yang menekan, tapi tidak semua mereka yang saya kenal. Baru empat bulan terakhir, setelah keluar aturan ASN yang baru, tidak lagi. Kenapa Mahdinal Agus itu marah ke saya ? Saya pun kaget. Dia tidak pernah berurusan kepada saya, dia tidak pernah berkomunikasi dengan saya, bertemu pun tidak. Tidak pernah pula saya panggil. Tiba-tiba dia marah kepada saya. Sebab kenapa dia dinonjobkan saya baru tahu setelah saya tanya ke Inspektorat, BKD dan atasannya. Dan pergantian di eselon III itu banyak, dan tidak semuanya saya tahu orang-orangnya. Yang penting sudah memenuhi persyaratan dan prosedur, ya saya tandatangan."

Menurut Irwan Prayitno, selaku gubernur waktu itu, dia berusaha menegakkan otoritas masing-masing Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Mereka punya otoritas untuk melakukan managament kepemimpinan dia terhadap bawahannya, yaitu pada eselon III dan eselon IV. Sehingga gubernur itu cukup sebagai pemimpin yang mengendalikan sekda dan kepala dinasnya. Dengan demikian gubernur akan dapat mengendalikan seluruh pegawai pemprov dan seluruh Sumatera Barat
"Jadi dalam management itu kita harus menegakkan otoritas masing-masing kepala-kepala dinas dan juga masing-masing otoritas yang ada memegang struktural. Sebagai contoh misalnya, Sekretaris Daerah (Sekda). Sekda punya otoritas, kita perlu hargai otoritas dengan mengembangkan dan memberi peluang agar otoritasnya berjalan dengan baik dan sempurna, termasuk kepala-kepala dinas eselon IIA, dan kepala-kepala biro yang eselon IIB. Mereka punya otoritas untuk melakukan managament kepemimpinan dia terhadap bawahannya, yaitu pada eselon III dan eselon IV. Sehingga gubernur itu cukup sebagai pemimpin yang mengendalikan sekda dan kepala dinasnya. Dengan demikian gubernur akan dapat mengendalikan seluruh pegawai pemprov dan seluruh Sumatera Barat."

Tujuannya, menurut Irwan Prayitno lagi, agar eselon II memiliki tanggungjawab. Memiliki otoritas dan kemudian memiliki suatu kemandirian untuk mengantur kebawahannya. Karena dia setiap saat akan diminta pertanggungjawabannya oleh gubernur. Dan gubernur hanya satu orang yang dipegangnya, yaitu kepala dinas di SKPD yang bersangkutan, sehingga kepala SKPD bertanggungjawab pula mengelola unit masing-masing dengan otoritas yang dimiliki.
"Misalnya, eselon III bawahanya, supaya satu chemistry, supaya bisa bekerjasama, supaya kompak dan solid, kepala dinas itu yang mencari. Kita buat Pergub (Peraturan Gubernur, red) untuk mengatur tentang tata cara pola mutasi, pola promosi, dan bahkan sampai ke nonjob. Ada aturannya. Untuk promosi nilai 70, ada hasil testnya. Track record begini, kinerja minimal B. Itu ada semuanya, ada perangkat yang disiapkan. Dia siapkan melalui proses dengan persyaratan yang cukup, kemudian masuk ke Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan, red) segala macam, diparah-parah semuanya, sampai ke saya, saya tandatangani. Sehingga dengan demikian eselon II bertanggungjawab penuh terhadap orang yang dia usulkan dan bertanggungjawab terhadap hasil kinerja. Jelek kinerja, pertanggungjawabannya terletak padanya. Bagus kinerja, tanggungjawab kepadanya. Gubernur tinggal tanya kepada kepala SKPD yang bersangkutan. Misalnya kepala dinas pertanian, gubernur tinggal bertanya, "Kenapa kinerjanya seperti ini." Ia jawab, "Ya pak, saya yang bertanggungjawab pak." Gubernur, "Ya, selesaikan dengan baik." Ia tidak akan jawab, "Pak, anak buah saya eselon III tidak bisa kerja, kan bapak yang masukan. Eselon IV segala macam kan titip sianu." Tidak ada cerita semacam itu. Dan itu tidak dilakukan."

Sehingga dengan demikian, jelas Irwan Prayitno, pekerjaan itu efektif, efesien, mengena tepat sasarannya, dan bisa langsung menghasilkan kinerja, karena masing-masing SKPD bisa bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Eselon III dan IV bisa lapor kepada gubernur, tetapi harus izin atasannya dan Ia pun melapor kepada gubernur harus ada rekomendasi atasannya yang akan difollow aup bersama. Sehingga tidak ada eselon III dan IV yang mengadu-ngadukan atasannya. Sehingga akhirnya pimpinannya jadi goyang. Maka pimpinan eselon II ini di mata anak buahnya cayah, tidak berarti mata anak buahnya, sehingga kepemimpinannya tidak efektif.
"Kata kepala dinas, "Ini harus kalian kerjakan." Kata anak buahnya, "Ah, tidak itu, nanti kita lapor saja ke gubernur." Hal semacam itu tidak saya layani. Oleh karena itu, maka dalam praktek selama 5 tahun kepemimpinan saya sebagai Gubernur Sumatera Barat, saya tidak perlu kenal dengan eselon III dan IV. Saya cukup memegang kepala dinasnya, sehingga saya bisa bawa lari, makanya eselon II selama kepemimpinan saya, 7 hari x 24 hpnya tidak pernah mati. Bisa pagi, bisa siang, bisa malam, sabtu minggu pun bisa saya panggi jika saya perlukan. Ini untuk menjaga informasi langsung. Dan kepala SKPD dapat menemui saya kapan saja. Mau urusan dengan saya pakai SMS, WA, BBM, dan segala macam bisa saja. Izin-izin pun bisa saya buat pakai SMS dulu, baru kemudian birokrasi masuk, surat menyurat menyusul. Supaya efektif."

Selaku gubernur pada waktu itu, tegas Irwan Prayitno lagi, dirinya tidak kenal semua pejabat eselon III. Tidak boleh eselon III melapor ke inyadir, sebab eselon II yang harus lapor, karena mereka harus bertanggungjawab terhadap pekerjaanya kepada gubernur. Mereka harus punya kemampuan memimpin kebawahannya. Supaya kepala dinas tidak semena-mena memilih pejabat dibawahnya, ada hasil test, yaitu test kinerja, test potensi,  dan treck recordnya. Selaku gubernur, Irwan Prayitno kemudian membuat pergub, diproses Baperjakat, setelah memenuhi syarat dimasukan, tidak memenuhi syarat tinggalkan.
"Soal Mahdinal Agus ini, saya tanya ke atasan langsungnya waktu itu, Faisal Syarif. Baru tahu saya Mahdinal Agus ini anak buahnya, setelah Mahdinal Agus ini punya masalah, kenapa dia membenci saya. Saya chek ke mantan pimpinannya dan dia cerotakan masalahnya. Jadi, otoritas kepemimpinan itu harus kita jaga dan kita pelihara. Dan pemimpin seperti saya urusannya banyak. Urusan ke Jakarta, urusan ke Kementerian berapa kita dapat dana ? Urusan ke masyarakat, berapa yang bisa kita temui ? Urusan pemprov, sekda dan kepala dinas, itu yang pegang. Seperti halnya Presiden RI, dia cukup memegang gubernur 34 orang, dan memegang menteri 34 orang. Nah, itulah otoritas. Bagaimana mekanisme ke bawah supaya tertib dan teratur, saya buat aturan. Supaya kepala dinas tidak semena-mena memilih orang-orang, ada hasil test. Test kinerja ada hasil testnya, test potensi ada hasil testnya, untuk treck record ada hasil testnya, saya bikin pergub, diproses Baperjakat, setelah memenuhi syarat masuk, tidak memenuhi syarat tinggalkan."

Demikian penjelasan Irwan Prayitno Datuk Rajo Bandaro Basa secara panjang lebar. Semoga saja, Mahdinal Agus dapat memahaminya dengan arif bijaksana. Namun, tentu semuanya kita pulangkan kepada yang bersangkutan. Penulis tidak dalam posisi menjembatani antara Mahdinal Agus dengan Irwan Prayitno, cuma hanya berusaha menjelaskan bias informasi yang diterima publik selama ini. Tidak ada gading yang tak akan retak, semua manuasia, siapa pun itu, selagi dia manusia, maka pasti punya kelemahan dan kekurangan. 
“… Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (Al Maa-idah ayat 8). Rasulullah saw menjelaskan, “Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi no.1997 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178).

Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq, semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus dalam pemilihan Gubernur Sumatera Barat tanggal 9 Desember 2015 mendatang. Amin.

Ditulis Oleh :
Zamri Yahya, SHI
Wakil Ketua Forum Komunikasi Anak Nagari (FKAN) Pauh IX Kota Padang

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »